15

1.8K 241 17
                                    

Alby masih berdiri mematung, ucapan kedua orang tuanya madih terngiang di kepalanya. Mungkin sudah saatnya dia mengatakan apa yang selama ini dia rahasiakan. Alby berbalik, kembali menatap kedua orang tuanya di ruang makan. Di sana Hansa masih menangis di pelukan Faris. Alby tidak tahu bagaimana perasaan Hansa, Alby benar-benar tidak tega.

Alby dengan ragu melangkah, menghampiri Faris dan Hansa. "Nda, Pa." Suara lirih Alby mengagetkan Faris dan Hansa. Tampak Hansa yang buru-buru membersihkan air matanya.

"Sayang, kamu baru pulang?" Ujar Hansa. "Kita makan ya, sekarang." Hansa segera beranjak menuju dapur, ia menyiapkan beberapa piring untuk makan.

Alby yang melihat Hansa berjalan menuju dapur segera menyusul Hansa. Apa yang Hansa rasakan saat ini, membuat Alby benar-benar gundah. Alby tidak tahu apa yang ada di pikiran orang yang sangat ia sayangi ini. Apakah benar, jika Alby akan mengatakan semuanya sekarang. Apakah benar, jika Alby membawa ibunya itu pergi menemui sebuah kebenaran. Apakah benar, jika apa yang selama ini Alby rahasiakan akan diterima begitu saja oleh ibunya itu. Bagaimana kalau ada penolakan, Alby benar-benar galau, resah.

Tapi sekali lagi, Alby pun tidak bisa hanya berdiam. Menunggu sampai orang suruhan papanya membongkar semuanya, di hadapan kedua orang tuanya dan Alby. Jika itu semua terjadi, apa Alby bisa dimaafkan? Bukankah sama saja, selama ini Alby membohongi kedua orang tuanya.

Bayangan dia, yang masih terbaring di rumah sakit, membuat Alby semakin galau. Apa yang akan dia jelaskan nanti, lalu apakah mereka akan menerima begitu saja saat tahu kesayangannya disakiti, bahkan sampai tidak sadarkan diri. Sampai berbulan-bulan menutup matanya.

Atau yang lebih parah lagi, saat semua ini terbongkar. Maka keluarganya akan hancur, sama seperti yang dikatakan oleh Fara, semua akan kembali seperti dulu. Tidak ada kata keluarga, lagi. Semua keputusan ada di tangan Alby saat ini. Semuanya benar-benar membuat Alby pusing, ini semua terjadi di luar dugaan Alby. Semakin melebar.

* * *

Hanya ada suara piring beradu, Faris, Hansa dan Alby sedang menikmati makan malam mereka. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut masing-masing. Bahkan Alby tidak berani untuk menatap ke arah Faris. Rasa takut seolah lebih dominan di dalam diri Alby. Bukan salah Alby, sebenarnya ini semua bukan salah Alby. Hanya waktu saja yang mempermainkan mereka.

"Alby selesai, Alby ke kamar dulu." Alby menaruh sendok dan garpunya di atas piring. Ia beranjak dari tempat duduknya. Faris hanya mengangguk mendengar ucapan Alby, sedangkan Hansa hanya diam sembari terus menatap Alby.

"Apa yang kamu pikirin, mas?" Hansa kini menatap Faris.

"Dan apa yang kamu lihat dari Alby yang sekarang?" Faris balik bertanya pada Hansa.

Hansa menghembuskan nafasnya kasar, pikirannya benar-benar terfokus pada anak yang bernama Aldy Fahreza. Saudara kembar Alby Fahreza, anak lelaki kesayangan Hansa. Bagaimana dia sekarang, dengan siapa dia tinggal, apakah dia hidup layak atau tidak.

"Han, nggak tahu, mas. Han, nggak tahu." Hansa kembali menangis, untuk ukuran lelaki, dia memang lelaki yang cengeng. Entah kenapa perasaannya begitu sakit. Kenapa ia harus menunggu enambelas tahun, hanya untuk tahu, kalau dia tidak melahirkan satu bayi laki-laki tapi dua bayi laki-laki. "Kenapa semuanya jadi kaya gini, Mas. Kenapa. Tega-teganya mereka pisahin seorang anak dengan keluarganya. Tanpa mikir gimana masa depan anak itu."
Telapak tangan Hansa menutupi wajahnya, mencoba menyembunyikan air mata yang tidak berhenti keluar. Ia ingat, bagaimana dulu Alby menangis tengah malam, meminta susu. Apakah saudara Alby juga bisa langsung mendapatkan apa yang dinginkannya, bagaimana jika tidak. Hansa benar-benar merasa bersalah. "Andaikan dulu Han nggak koma, andaikan dulu Han sadar, andaikan dulu-"

REPLAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang