10

1.9K 272 42
                                    

Rasanya seharian ini Alby lupa dengan segala macam perkara yang menimpanya. Bebannya seolah berkurang. Makan, jalan-jalan, atau cuma nongkrong bersama teman, nyatanya bisa menghilangkan penat yang Alby rasakan.

Alby menatapi ponsel yang ada di atas meja belajarnya, Alby sengaja mengaktifkan ponsel itu. Barang kali ada yang mengirim pesan atau menelfon.

Ting!

Alby segera loncat dari ranjang dan mengambil ponsel itu. Nama Eza tertera di sana.

Bisa ketemu?

Alby membaca pesan itu dan segera membalasnya. Ia menyetujui ajakan Eza untuk bertemu. Mungkin saja Eza akan membicarakan hal tadi siang saat mereka berdua ada di perpustakaan.

* * *

Karena ini sudah pukul tujuh lewat, Alby lebih memilih untuk bertemu dengan Eza di kafe di dekat apartemen.

"Lo udah lama nunggu?"

Alby hanya menggeleng, kemudian mempersilahkan Eza untuk duduk. Eza masih memakai seragam sekolahnya, padahal ini sudah malam.

"Kenapa lo ngajak ketemu gue?"

"Gue mau jelasin sesuatu ke elo. Soal buku dan kejadian di tempat kemah dulu."

Alby menelan ludahnya dalam-dalam, ia mencoba untuk tetap tenang agar ia bis mendapatkan informasi sedetail mungkin.

"Apa lo lupa kalo kita pernah deket?"

Alby masih heran, apa yang sedang Eza bicarakan.

"Waktu di tempat kemah itu, bukannya elo yang ngajarin gue soal tali-temali?"

Tunggu, jadi Alby pernah deket sama Eza. Gimana bisa ceritanya Alby deket sama Eza. Sial, pikir Alby. Kenapa Alby tidak pernah tau sedetail ini. Kenapa Alby melewatkan hal penting yang seharusnya bisa ia cegah.

"Ah, itu ..."

"Tapi gue tau, lo bukan Alby yang deket sama gue." Ujar Eza tanpa dosa.

* * *

"Alby!"

Alby yang baru saja keluar dari kelas menoleh ke arah suara, Alby tahu itu suara siapa. Tumben sekali pikir Alby, mau menyapa dengan terang-terangan.

"Bisa kita bicara?" Esa mengucapkan kata-kata itu dengan begitu tenang, Esa tidak mencari ribut, Esa hanya ingin bicara baik-baik.

"Bisa."

"Ok, ikut gue."

Alby hanya diam, mengikuti ke mana arah Esa melangkah. Mungkin kantin menjadi tujuan Esa, tapi sepertinya tebakan Alby salah. Esa berjalan ke arah toilet, untuk apa.

"Rezaldy Fahreza." Nama itu keluar begitu saja dari mulut Esa, mereka berdua baru saja sampai di toilet. Alby yang mendengarnya segera menghentikan langkahnya. Esa kini berbalik, kini ia menatap Alby dengan senyum sinis di wajahnya. "Apa yang elo pikir, waktu elo denger nama itu?"

Alby masih diam, Alby menunggu apa yang akan dikatakan oleh Esa. Alby tidak ingin terpancing. "Hm ... elo kan, Rezaldy Fahreza, adik kembar Alby Fahreza."
Esa seolah menang dengan mengucapkan kata-kata itu. Ya, sebuah rahasia yang mampu menyingkirkan seorang Alby Fahreza dan jelas adik kembarnya itu, penghalang Esa untuk mendapatkan seorang Eka Satria. "Oh, atau sekarang elo lagi tuker posisi?" Esa kini mendekat ke arah Alby. Kedua tangan Esa kini meraih kerah baju Alby. "Jawab!"

Tiba-tiba salah satu pintu bilik kamar mandi terbuka, ternyata itu Eza. Sedari tadi tidak hanya ada Alby dan Esa di sana tapi ada Eza, juga. Eza mencuci tangannya sebentar di wastafel. Ia menatap ekspresi Esa dari kaca besar yang ada di hadapannya saat ini. Entah kenapa, Eza merasa kesal. Kenapa wajahnya harus terbagi dengan Esa, kenapa Esa harus menjadi saudara kembarnya, yang terpenting kenapa Esa harus jahat pada Alby, orang yang Eza sayangi.

REPLAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang