Prolog.

654 54 2
                                    

November 11, 2017.

Aku meletakkan sepiring waffle dan secangkir teh hangat yang masih mengepul di atas meja makan. Kusambar selembar memo dari dalam tas beserta bolpoinnya. Kutulis pesan singkat di atasnya, kemudian menempelkannya di samping piring.

Setelah selesai, aku langsung memakai sepatu boots yang terbuat dari kulit kuda asli dan anti-air. Kakekku yang memberikannya kepadaku saat ulang tahunku yang ke-17, sebelum keberangkatanku ke Louisville. Kata kakek, sepatu ini akan membantu menghangatkan kakiku dari tajamnya cuaca di sini.

Kupakai mantel tebal berwarna merah hati dengan cepat seraya tangan menggapai payung yang ada di belakang pintu. Saat aku melangkahkan kakiku keluar, tetesan-tetesan air hujan yang deras langsung menyambutku, bersamaan dengan angin yang entah kenapa terasa menembus kulitku, meskipun aku memakai pakaian serba tebal.

Namun, bagaimanapun juga, hujan tak bisa menghentikanku. Aku harus ke toko buku untuk membeli beberapa novel. Setelah itu, aku akan pergi ke minimarket untuk membeli beberapa bungkus mie instan, kopi kalengan, dan pasta rebus. Dan, aku tak peduli dengan apa pun yang terjadi nanti. Tapi, kuharap juga tak akan terjadi apa-apa.

Aku berjalan pelan di atas trotoar agar tidak terpeleset. Kupegang erat payung Minnie Mouse yang sedang kupakai. Sebenarnya, payung ini cukup berarti bagiku. Saudara kembarku, Aliandorexa Nathansyah, yang memberikannya langsung di ulang tahun kami yang ke-16. Dia yang Mickey Mouse, dan aku yang ini. Jujur, selama 18 tahun aku hidup, baru saat itulah ia memberikan sebuah barang kepadaku. Dia orangnya antara pelit dan tidak suka menghambur-hamburkan uang. Entahlah, hanya dirinya sendiri yang tahu.

Beralih dari lamunanku, aku memandang sekitarku. Tak ada banyak orang yang berjalan kaki di saat hujan deras seperti ini. Kebanyakan orang di sini sepertinya memilih untuk naik kendaraan pribadi ataupun umum. Hanya ada satu atau dua orang lebih yang mempunyai pilihan untuk berteman bersama hujan.

Toko buku sudah nampak di depan mata. Itu terlihat dari cahaya remang-remang kekuningan dari lampu pijar. Aku agak mempercepat langkahku, tentunya ditambah rasa antusias yang berapi-api. Namun, saking antusiasnya, aku sampai tak memperhatikan seorang pria yang aroma parfumnya begitu familiar bagi hidungku.

Itu Bang Ali, saudara kembarku yang waktu kelahirannya itu hanya beda tiga menit denganku.

Bang Ali yang berdiri tepat di depanku, membuatku langsung menghentikan langkah. Aku menengadahkan kepala, menatap dia yang beberapa sentimeter lebih tinggi dariku. Ekspresi wajahnya terlihat tak bersahabat.

Kuberanikan diri untuk bertanya kepadanya. "Ada apa, Bang?"

"Lo bukannya lagi sakit, ya?" tegurnya. Pandangannya terasa menusuk.

Aku menundukkan kepalaku. Tak sanggup menatap wajahnya yang jujur menyeramkan.

"Bang, aku cuma pengen-"

"Gue gak nerima alesan apa pun. Seharusnya, lo izin sama gue langsung. Bukannya, nulis memo doang." ujarnya. Nadanya dingin sekali.

"Maaf." Mataku berkaca-kaca saat kutengadahkan lagi kepalaku.

Dia menghela napas panjang. Ia kemudian berjongkok di hadapanku. Aku segera memayunginya, karena payungnya sendiri ditutup.

Dia menoleh ke arahku yang ada di belakangnya. "Naik."

"Hah?"

"Biar lo gak capek."

Aku menganggukkan kepalaku, pelan. Aku naik ke atas punggungnya. Dia lalu berdiri dan berjalan pelan. Kuusahakan agar payungku tetap memayungi kami berdua.

"Lo mau apa beli novel lagi? Kan di rumah juga udah banyak." ucapnya, tiba-tiba, memecah keheningan di antara suara rintikan hujan.

"Kan bosen, Bang, kalo baca novel yang udah tamat." Aku menjawab dengan sejujurnya dan seriang mungkin.

"Seharusnya, lo gak usah bela-belain jalan kaki ke toko buku. Lo bisa 'kan minta tolong sama gue."

Aku menempelkan pipi kananku di telinga kirinya. "Emang kamu mau belain-belain ke toko buku sama minimarket?"

Dia membungkam untuk beberapa saat. Hela napasnya terasa dingin di kulit tanganku.

"Lo kan saudara kembar gue. Mama juga nitipin lo buat gue jaga." jawabnya. "Tangan lo panas banget."

Aku tertawa kecil. "Ih, gak nyambung banget sih."

"Gue serius, Prilliendra Nataliansyah."

"Kalo gitu, aku sayang banget sama Bang Ali." Aku mengeratkan peganganku, sekaligus memeluknya.

Dia terkekeh pelan. Apanya yang lucu?

"Emang ada yang lucu?" tanyaku, akhirnya.

"Gak sih. Tumben banget saudara gue ini sayang sama gue. Biasanya waktu masih sekolah di Indonesia, kerjaannya lo ngehukum gue mulu." jawabnya, panjang lebar.

Langkah dia mengarah ke lantai depan toko buku. Aku langsung turun dari punggungnya dengan cepat. Aku menutup payungku, kemudian meletakannya di keranjang payung samping pintu toko. Sedangkan, dia membuka payungnya.

Aku mengernyitkan alis kiriku, heran. "Loh, Bang. Kamu mau ke mana?"

"Mau ke minimarket. Biar lo gak usah capek dua kali gitu." Dia melengang pergi begitu saja dengan cepat. Kupandangi punggungnya yang perlahan hilang di tikungan.

Aku menghela napas panjang. Entah mengapa, bibirku tertarik untuk membentuk sebuah senyuman.

Aku tahu, jika dia bukan tipikal saudara yang peduli. Termasuk, waktu aku dan dia masih tinggal di Indonesia. Dia orangnya masa-bodoh, juga menyebalkan. Namun, sikapnya mendadak berubah 180° saat kembali ke Louisville. Tak tahu apa penyebabnya.

Di bagian cerita selanjutnya, aku akan menceritakan kepada kalian bagaimana menyebalkannya dia selama kami menginjak masa SMA di Indonesia satu setengah tahun lamanya.

Ngomong-ngomong, selamat datang di duniaku, Prilliendra Nataliansyah. Dan di dunianya, Aliandorexa Nathansyah.

×÷×

New story, ayeee! Jangan lupa buat vote & comment, okay ^_^ ?
Love u, guys ❤ Salam damai dari saya✌

twins?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang