#22 : Partner

283K 22K 1.1K
                                    

Aku terhenyak dan berhenti tertawa saat dua mata elang milik Mas Wildan menatapku dan mendekat perlahan. Aku baru menyadari bahwa sedari tadi dia sudah berada di pojok seberang dari Cafe ini.

Aku tadi melakukan apa ya? Apa dia melihat?

"Mekom, Ukhti...." salam Aryan sekenanya.

"Mekom, mekom, kamu pikir bebek komkom!" hardik Aisyah.

"Terus apa dong? Abang diajarin atuh, Dek," goda Aryan kepada Aisyah.

"Adek, adek... kapan Umiku ngelahirin kamu? Jangan sok akrab deh," kata Aisyah dengan nada sengit.

Aisyah dan Aryan memang punya kisah yang tidak bisa disusun lalu mudah diceritakan. Mereka sama rumitnya dengan kisahku dan Mas Wildan. Hanya saja, perbedaannya Aisyah dan Aryan sama-sama menyimpan rasa, sedangkan di antara aku dan Mas Wildan, hanya aku saja yang menyimpan rasa.

Perbedaan keyakinanlah yang membuat mereka rumit. Aryan yang beragama non-muslim membuat Aisyah tidak bisa apa-apa dengan perasaannya. Aisyah berharap rasa yang dimilikinya itu tenggelam dan mati seiring berjalannya waktu. Berbeda dengan Aryan yang terus menginginkan perasaan itu tumbuh dan berkembang.

"Naira...."

Aku terhenyak ketika Mas Wildan memanggil namaku. Senyum yang mengembang menyaksikan perdebatan Aryan dan Aisyah pun meredup. Menjadi tegang dan kaku. Aku merasakan aneh dengan perasaan ini. Setiap Mas Wildan mendekat, berbicara di dekatku, aku merasa ada rantai yang mengikat tubuhku. Aku menjadi sulit bergerak dan canggung.

"Kamu sudah makan?" tanyanya.

Astagfirullahaladzim, terbuat dari apa sih hatinya? Kenapa mudah sekali berubah? Masih ingat bagaimana tadi dia bersikap di ruang isolasi Aids. Dingin dan acuh. Kenapa sekarang tiba-tiba perhatian?

Aku menggeleng pelan, "Belum," jawabku, detik selanjutnya,

"Mas udah dari tadi di sini?"

"Lumayan sih sebelum kamu datang."

Aku menelan ludah, agak sedikit terkejut. Jangan sampai dia melihat tingkah konyolku. Aku tadi ngapain aja ya? Sikapku tadi kayak gimana ya?

"Mumpung lagi ngumpul, pesan makan yuk!" cetus Aryan.

"Traktir ya?" sahut Aisyah antusias.

"Boleh...."

"Yee, jangan bosan-bosan traktir ya.. kamu baik deh," puji palsu Aisyah.

"Abang bisa traktir Adek seumur hidup Adek," kata Aryan, jeda tiga detik, "kalo Adek jadi istri Abang gimana?"

"Iih ogah. Weeek!"

Aisyah langsung bergidik ngeri sambil menjulurkan lidahnya geli, padahal aku tahu hatinya kini berbunga karena perkataan Aryan barusan.

Wanita memang pintar menyembunyikan perasaannya.

"Aku aja yang traktir," sahut Mas Wildan tiba-tiba.

"Eits, jangan...." sigap Aryan menolak, "tapi kalo lo maksa juga boleh deh," lanjutnya dengan gelak tawa di akhir kalimat.

Aku sedikit terkekeh melihatnya, aku juga melihat senyum Mas Wildan mengembang. Detik ini dia begitu adem banget dilihatnya. Tidak seperti beberapa jam yang lalu tatapannya seperti bongkahan es di kutub utara. Dingin dan datar.

Kami makan bersama, meskipun agak sedikit canggung. Tetapi Aryan dan Aisyah bisa mencairkan suasana dengan perdebatan khas mereka seperti anak SMA. Mereka saling meledek padahal sebenarnya dalam diam mereka saling memikirkan. Lucunya.

Di tengah acara makan siang kami, ponsel Mas Wildan berbunyi. Dia berdiri dan berjalan menjauh sambil menempelkan ponsel itu ke telinga kanannya. Setiap detik dia menjauh aku terus memperhatikannya. Siapa yang meneleponnya? Kenapa menjauh? Segala bentuk model pertanyaan dari hal yang positif sampai negatif memenuhi pikiranku.

[DSS 1] Dear Allah [NOVEL VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang