Prolog

217 55 65
                                    

Aura pagi yang berbeda mencekam erat SMA Queen Margareth, yang terasa sangat jelas berada dalam jiwa-----bagi orang-orang tertentu. Kaki langit nampak rutin menoreh senyum cemerlangnya, ditambah lagi cercahan hangat sinar fajar yang menyapa semua orang. Tanpa terkecuali di sana, di dalam ruang kelas antah-berantah telah melahirkan sebuah aktivitas yang berisikan riuhnya pekikan murid-murid yang saling bersahutan.

Nun, empat gadis tengah duduk meromok bak kumpulan semut. Mereka sedang membicarakan hal penting. Mungkin?

"Mendaki gunung? Hm," gadis berambut Dark Blonde sebahu yang sedikit mengikal itu berdeham seraya berpikir. Namanya ialah Tiffani.

"Ya, bagaimana?" timpal gadis di sebelah kanan Tiffani sambil menganggukan kepala, Mikha.

"Tidakーtidakーtidak. Kita harus pikirkan matang-matang tempat yang akan dituju nanti. Aku yakin, masih banyak tempat yang jauh lebih menyenangkan dan bagus daripada itu, Mikh," cecar gadis bernama Alenna dengan datarnya. Telapak tangannya melambai, menyiratkan kalau ia tidak setuju.

Oh. Usut punya usut, mereka sedang membicarakan rencana liburan sekolah di musim semi saat bulan Juli nanti, yang kiranya akan datang sekitar tiga hari lagi. Mereka berunding, mencerocos dan saling menukas ide satu sama lain. Hingga akhirnya, terjadilah suatu perdebatan sengit nan dahsyat yang dapat berpotensi menyebabkan terjadinya perang dunia ke-3.

Kathe, gadis yang berada di sebelah kiri Tiffani coba untuk ikut menimbrung. Wajahnya selalu nampak berseri, tetapi tidak untuk kali ini. "Ah, aku tidak setuju. Spot gunung di sini lumayan jauh, pastinya akan memakan biaya yang besar. Lagipula aku amat sayang pada kakiku ini, aku tak ingin ia pegal hanya karena mendaki gunung."

Dan Mikha, raut wajahnya kini mulai sayu kala mendengar jawaban tidak setuju dari kedua temannya itu. Mungkin, ia masih punya harapan mendengar jawaban Tiffani. Karena kalau sesosok Tiffani setuju, maka yang lain juga akan ikut setuju. Tapi sayang, jawaban Tiffani untuk Mikha adalah, Tidak.

"Ya, terserah kalian saja. Eh, kau bagaimana Stiff? Apa kau setuju?" ujarnya mulai tak memedulikan Alenna dan Kathe, harapannya sekarang hanya berpaut pada Tiffani.

"Tidak." balas Tiffani singkat. Yang mungkin saja sudah membuat hati sanubari Mikha hancur berkeping-keping kala itu.

"Ha. Kalian ini, selera liburannya pasaran sekali!" dengus Mikha sebal.

"Justru kau yang punya selera rendahan!" cemooh Alenna, lebih terdengar seperti senda gurau. Ucapnya itulah yang menjadi genesis awal perdebatan sengit nan dahsyat antara Mikha vs Alenna. Dan Kathe, ia ikut andil di dalamnya, berlakon sebagai penghasut. "Diantara kami, bukannya kau yang memiliki selera rendahan, Mikh?" ketus Kathe melanjutkan.

Mereka berdebat, atau lebih cocok menyebutnya debat kusir. Dan mencerocos tak henti-hentinya. Sedangkan Tiffani lebih memilih untuk mengabaikan mereka para temannya itu, pikirannya malah tergiur untuk Browsing Google, alih-alih ia mencari tempat wisata yang cocok di kunjungi saat musim semi. Satu-persatu ia mencermati tempat wisata yang tertera, termasuk mencermati biaya juga jarak tempuhnya. Jika biayanya mahal dan jaraknya jauh, tentu ia akan menolaknya. Tetapi, bagaimana kalau biayanya murah namun jaraknya jauh? Ya, ia akan kembali memikir-mikirkannya lagi. Ia terus-menerus menggulir layar ponsel pintarnya, hingga jari jemarinya berhenti melakukan hal itu.

Di saat sengit-sengitnya perdebatan teman-temannya itu. Ia malah tersenyum girang, artinya ia mempunyai kabar bagus.

"Kalian, berhenti!" seruannya itu bergemaーmelengking memantul ke seluruh sudut kelas. Membuat berpasang-pasang telinga yang mendengarnya akan merasa bising saat itu juga. "Tidak bisakah kalian berhenti berperilaku layaknya anak kecil?"

Pertanyaan barusan membuat ketiga temannya bergeming seketika. Kecuali Kathe, wajahnya malah tampak seperti orang yang tengah menahan bab.

Tiffani menghirup udara sedalam mungkin, lalu mengembuskannya perlahan. "Sudahlah, hentikan debat kalian itu. Aku sudah menemukan lokasi wisata yang cocok untuk kita berlibur. Pasti kalian akan langsung setuju," jelasnya, kini wajahnya nampak berseri-seri.

"Apa? Kau sudah menemukan tempat yang cocok?" Alenna memijat pelipisnya memamerkan raut wajah keheranan. "Tempat apa itu?"

Tiffani tersenyum datar sambil mengangguk kepala.

"Di mana itu, Stiff? Beritahu kami," tanya Mikha kini badannya tegap, setegap pohon pinus.

Ia menyodorkan layar ponselnya ke depan jungur ketiga temannya itu.

"Hu-tan Happi-ness," ujar mereka kompak melafalkan ejaan.

"Hutan Happiness?" tanya Mikha bingung, yang langsung di sergah oleh Kathe, "Oh, aku tahu hutan ini! Stiff, kau memilihnya dengan tepat!"

"Oh, hutan yang katanya tempat persemayaman para Peri itu, ya?" ujar Alenna melantur jauh dari topik pembicaraan.

"Sesuka dirimu saja, Alen." jawab Tiffani kembali mematikan ponsel dan memasukannya ke dalam saku. "Jadi, bagaimana? Apa kalian setuju?

"Setuju tentunya," balas Kathe antusias. "Aku juga, deh. Aku belum tahu di mana hutan itu, aku penasaran," lanjut Mikha.

Sementara Alenna hanya menyenggut setuju sambil melucuti senyum manisnya.
Jadi, mereka semua sudah semufakat akan berkunjung ke hutan Happiness dalam kurun waktu tiga hari ke depan.

"Yap! Jadi kita semua sudah sepakat, ya! Kita akan datang dan berkemah tiga hari di sana." tukas Tiffani menepuk kedua telapak tangannya.

***

Hoho, cerita pertama di genre fantasy. Gimana prolognya? Maaf kalo kaku, karena saya masih newbie😂 : v

Oiya di cerita ini saya jadiin Tiffani Florench Joán sebagai tokoh utama. Dan cerita mengambil latar tempat di Skotlandia, jadi jgn galfok ya.

Leaves vote and comment guys.

-haikalsp19

Vacation On Raa (Fight For The Truth)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin