25. Eunah dan Tetangga Baru

Start from the beginning
                                    

Morgan melirik ke arah air terjun mini yang terletak di ujung sel Eunah. "Nah, kau juga punya air di sini." Dia mengedikkan bahu. "Dua bulan mungkin juga bisa." Cowok itu berjongkok, menyamakan tinggi dengan Si Gadis Permukaan yang melantai sedari tadi. "Hei, bagaimana keadaan cincinmu?" Ditunjuknya dada, isyarat bahwa ia membicarakan tentang jantung Eunah.

Eunah terkesiap. Dia merasa menyesal memberitahu kondisinya pada Morgan. Setelah menyebabkan Eunah berada di tempat ini, sekarang Morgan malah bersikap sok pengertian yang memberi dia satu alasan lain untuk membencinya. Akhirnya, gadis itu memilih untuk tidak menjawab dan hanya memberi cowok itu tatapan tertajam yang dapat dikeluarkannya.

Morgan sepertinya tidak terlalu menganggap pandangan itu serius. Cowok itu hanya menghela napas, lalu mencengkeram jeruji tanah penjara sebelum kembali berdiri. Lantas, dia membalikkan badan dan berkata, "Sungai di bawah itu terhubung dengan muara di permukaan. Kalau kau mampu, kau bisa keluar lewat sana." Kemudian, dia menjauh dengan langkah berat, hampir seperti kakinya dirantai oleh bola besi yang biasanya menahan para budak zaman dahulu.

Bahu Eunah baru dapat rileks setelah hampir setengah jam berlalu dan tak ada tanda-tanda dia akan dikunjungi oleh orang lain. Dia bersandar pada jeruji tanah, dan mulai memikirkan perkataan Morgan tentang sungai di bawah tanah. Dia ingin percaya dan mengikuti saran itu. Namun, bila lantai penjara ini juga hanya dapat dirusak dengan kekuatan mistis penghuni bumi, bukankah mustahil untuk membobolnya? Lagi pula, Morgan sudah pernah sekali menipunya. Rasanya sulit untuk mengenyampingkan hal tersebut begitu saja.

"Apapun yang kaupikirkan, aku menyarankanmu untuk tidak mencoba."

Suara bass itu terdengar familiar di telinga Eunah. Dia memutar tubuhnya dan mendapati sang pemilik yang ternyata berada dalam penjara di depan sel Eunah. Pria itu muncul dengan terseok, sepertinya salah satu kakinya sedang tak berfungsi dengan baik. Dia terlihat persis dengan sosok penjahat dalam film-film sewaktu keluar dari keremangan. Hanya saja, kondisinya yang seperti gelandangan menambah kesan tak mengenakan.

Rambut cokelat terangnya sangat kusut dengan panjang kira-kira sebahu. Dia punya janggut dan kumis yang cukup tebal, membuatnya terlihat seperti sarang semut berjalan. Pakaiannya yang berupa kemeja kotak-kotak dan celana kain panjang robek di sana-sini, walau ada beberapa bagian yang dijahit seadanya. Pria ini mungkin hanya punya satu pasang pakaian sepanjang hidupnya, terlihat dari warnanya yang kusam.

Namun, dari semua itu, Eunah terfokus pada mata si pria. Dia punya tatapan Dae, atau mungkin Dae yang punya tatapannya. Entah mengapa, berhasil menghangatkan dada Eunah. Lagi pula, nada saat ia berbicara mengingatkan dia pada masa-masa ketika keluarganya masih utuh. Tanpa sadar, gadis itu melirih, "Ayah."

"Ayah" mengernyitkan dahi. Wajah pucatnya seolah bertambah keriput. "Apa kau mengatakan sesuatu?"

Eunah menggeleng kuat-kuat.

Pria itu tersenyum. Eunah menahan air matanya agar tak menetes, terutama ketika si pria bersusah payah untuk duduk. Rintihan pelan yang keluar dari mulutnya membuat Eunah turut merasakan sakit. "Kau tak bisa percaya kata anak tadi begitu saja." Eunah tersentak ketika diajak mengobrol. "Dia berada di bawah kendali monster-monster itu."

"Maksud Anda, Morgan melakukan semua itu tanpa sadar?"

"Oh, namanya Morgan?"

Eunah mengangguk, walau sedikit kesal karena nama Si Pengkhianat lebih menarik perhatian pria yang mungkin ayahnya itu. Setelah bertahun-tahun keluarga mereka didera kesedihan karena ditinggal sang kepala keluarga, Eunah malah menemukannya di sini, terkurung di dalam penjara bawah tanah yang tak memberi sedikit pun sinar matahari. Dia ingin menyapa ayahnya, memberi tahu bahwa anaknyalah yang sedang berbicara. Namun, Eunah juga tak ingin mengambil risiko kalau dia sebenarnya salah orang, sekalipun keyakinannya berkata sebaliknya.

"Aku tidak tahu punya tetangga di sini," kata pria itu untuk kedua kalinya dengan senyuman yang membuat jantung Eunah seakan hendak meledak bahagia. "Sudah berapa lama kau menghuni tempat ini?"

Sebab masih menghapus rasa tak sukanya, Eunah pun menggeleng untuk menjawab.

Pria itu mengangguk, seakan paham dengan maksud gerakan kepala itu. "Ini pertama kali aku melihat Morgan. Sepertinya, dia orang baru."

Orang baru. Eunah mengulang dalam hati. Berarti ada pengkhianat lain yang bekerja sama dengan penghuni bumi. "Apa maksud Anda?"

Pria itu menerawang ke arah datangnya cahaya. "Aku sudah lama sekali berada di sini, tanpa tahu siapa aku atau dari mana aku berasal. Para penghuni bumi pun hanya memanggilku dengan 'kau' atau dia'." Dia mengambil sebuah kerikil, meletakkannya di atas tangan kanan dan mulai memainkannya. "Aku hanya yakin kalau mereka menahanku karena aku mempunyai sesuatu yang istimewa sebab mereka terus memaksaku melakukannya, sekalipun aku tak mengerti apa yang mereka maksudkan."

Eunah mengernyitkan dahi. Ayahnya memang selalu menjadi orang yang istimewa, terutama di mata keluarganya. Lelaki itu penuh rasa tanggung jawab, dia akan melakukan apa pun agar kebutuhan mereka berempat dapat terpenuhi. Ibunya bercerita bahwa Pak Kincaid tak berpikir suatu pekerjaan itu berat atau di luar batasnya asal ia bisa membiayai pengobatan Eunah dulu, sewaktu anak perempuan itu dilahirkan dan divonis punya jantung yang tak akan bertahan lama.

Benar. Eunah merasa dialah yang paling merepotkan di dalam keluarganya. Namun, dia juga tak bisa memungkiri sangat menghargai segala yang telah dilakukan untuknya. Mengingat kalau pria ini punya perawakan seperti ayahnya membuat Eunah berharap, terutama ketika ia ternyata mengalami amnesia. Alih-alih merasa turut berduka, dia malah malah senang.

Eunah menepis ingatan masa lalunya dengan menggeleng. Ayahnya yang sekarang tak punya ingatan, jadi dia akan membantu mengembalikan ingatan itu. Dan, jika ia bisa, Eunah ingin sekali membalas apa yang telah para penghuni bumi itu perbuat.

"Lama di sekitar penghuni bumi," Eunah berjengit saat pria itu mulai kembali bercerita, "membuatku menghafal aura sihir mereka, sangat bau dan menjijikkan. Jadi, itulah kenapa aku bisa yakin soal Morgan sedang berada di bawah kendali mereka."

"Anu," Eunah mencengkeram jeruji tanah penjaranya, "kenapa Anda baru tahu ada orang lain di sini. Maksud Eunah, bila Anda sudah lebih dulu berada di sini dibanding Eunah ..."

Pria itu tak langsung menjawab. Dia tertawa renyah. "Telingaku sebenarnya agak tuli." Dia mengangkat rambut bagian kirinya, menunjukkan apa yang seharusnya berupa daun telinga di sana hanya suatu lubang dangkal yang telah tertutupi oleh kulit. "Selain itu, sering sekali berdegung. Jadi, terkadang aku tak bisa membedakan bunyi-bunyian yang ada di sekitarku."

Prihatin, Eunah menangkupkan tangannya ke wajah. "Oh, Tuhan." Eunah meremas ujung sweternya. "Maafkan Eunah, Pak." 

"Tak perlu begitu. Aku sudah terbiasa."  

Keheningan mengisi kekosongan interaksi di antara keduanya. Hanya bunyi percikan air yang terdengar. Tak lama berselang kemudian, pria itu menyeret tubuhnya ke samping, agar ia dapat bersandar pada dinding batu.

"Omong-omong, namamu Eunah, ya?"

"Iya. Itu benar."

Raut wajahnya seolah mengatakan, Aku iri padamu karena punya nama. Menarik dan menghembuskan napas panjang, dia pun berkata, "Jika kau tak keberatan, Eunah. Aku ingin tidur sebentar."

"Tentu. Nikmatilah waktu Anda."

Pria itu memejamkan mata. Cara tidurnya nyaris seperti orang mati. []

Another Way to Destroy The WorldWhere stories live. Discover now