Dimensi Lain

728 3 0
                                    


Kesunyian itu kemudian terbuyarkan karena ada beberapa orang yang masuk ke dalam ruangan. Mereka sepertinya orang-orang yang sangat pandai. Mungkin mereka ilmuwan. Aku mengatakan seperti itu karena mereka semua merupakan laki-laki yang rambutnya sudah berubah warna menjadi putih dan sudah hilang juga sebagian rambutnya. Ku rasa mereka terlalu keras berpikir mengenai penemuan-penemuan baru yang hebat, sehingga rambut mereka berubah menjadi seperti itu.

Ku lihat mereka sangat ribut. Sebenarnya Aku tak tahu apa yang sedang mereka ributkan. Namun Aku melihat kepanikan di wajah mereka semua. Perdebatan terus terjadi diantara mereka. Apapun yang mereka debatkan itu, Aku yakin bahwa mereka sedang membicarakan tentang seseorang yang ada di balik kain putih itu. Ya, maksudnya adalah diriku. Aku pun mendekat ke arah mereka untuk mendengar apa saja yang mereka bicarakan. Aku melangkah dengan sangat perlahan agar mereka tak menyadari keberadaanku.

"Ya tapi Prof, kalau kita lanjutkan projek ini, akan membahayakan jiwa Syifa." kata Profesor Edu. Setidaknya itulah yang Aku baca di nametag nya.

"Saya juga tau, Prof. Tapi memang itu resikonya. Kita harus siap menerimanya." kata Profesor Tora.

"Benar kata Profesor Tora, itu adalah sebuah resiko. Walaupun nantinya dia akan mengalami pendarahan yang hebat, patah tulang, gangguan tekanan jantung, sampai mungkin resiko terbesarnya adalah meninggal. Tapi itu merupakan sebuah resiko yang harus kita ambil." kata Profesor Deril.

"Kau siap Prof untuk kehilangan anakmu?" tanya Profesor Edu sambil menepuk pundak lelaki yang ada di sebelah kirinya. Aku melihat namanya adalah Profesor Haris.

"Ilmuwan bertugas untuk menciptakan penemuan. Walaupun harus ada yang menjadi korban, itu adalah resiko, dan saya harus menerimanya." kata Profesor Haris yang biasa Aku sebut dengan panggilan Ayah.

Aku tak menyangka bahwa Ayah ku lebih mementingkan penemuannya dibandingkan nyawa anaknya sendiri. Hal itu membuat hati ku semakin sesak. Nafasku benar-benar sudah tak beraturan lagi. Air mata ku semakin deras mengalir. Aku berteriak sangat kencang. Hingga Aku kira keberadaanku akan diketahui oleh orang-orang itu. Tapi aneh, mereka bahkan tak menengok sedikit pun kepadaku. Aku mencoba menyentuh mereka. Tapi bahkan tanganku tak dapat menyentuhnya. Aku terus mencobanya dengan harap Aku bisa menyentuh mereka atau setidaknya mereka dapat merasakan keberadaanku. Namun tak bisa. Aku mulai berpikir, apakah Aku sudah meninggal? Apakah Aku sudah menjadi arwah dan tak bisa menyentuh mereka? Air mataku terus mengalir dengan derasnya. Aku pun berteriak kepada mereka sekaras yang Aku bisa.

"Hei, apa kalian tidak bisa melihatku?" Aku berteriak kepada mereka.

"Ayah, apa Ayah tidak bisa melihatku yah?" Aku menatap wajah Ayah ku dan berusaha untuk menyentuh wajahnya. Namun Aku tak bisa menyentuhnya sama sekali. Tangisanku semakin menjadi-jadi.

"Kenapa sih? Kenapa kalian semua ngelakuin ini? Kenapa kalian tega sama Aku." kata ku dengan tumpahan air mata ku.

"Ayah, kenapa Ayah lebih mementingkan penemuan daripada nyawa Aku yah? Nyawa anak mu sendiri. Kenapa yah?" kata ku di hadapan Ayah ku.

"Apa Ayah udah gak sayang lagi sama Aku yah? Kenapa Aku dijadikan kelinci percobaan? Kenapa Aku dipakai untuk eksperimen bodoh kalian?" lanjut ku dengan tangisan yang tak henti-henti.

Sebenarnya Aku merasa sangat bodoh. Aku sudah mengetahui bahwa Aku tak terlihat oleh mereka, tapi Aku tetap berteriak kepada mereka agar mereka tak melakukan hal ini. Aku terdiam sejenak. Berpikir tentang bagaimana caranya menghentikan semua ini. Kemudian Aku mendapatkan ide untuk membangunkan diri ku sendiri. Aku pun menghampiri tubuhku yang terlihat tak sadarkan diri di sana. Aku mencoba menyentuh diri ku sendiri dan seperti yang ku duga, Aku tak bisa menyentuhnya. Aku pun mencoba berteriak kepada diri ku sendiri.

"Syifaaaaaa. Kamu harus bangun. Kamu jangan mau dijadikan kelinci percobaan fa. Kamu harus bangun. Kabur dari tempat ini. Syifaaaa." teriak ku kepada diriku sendiri. Kemudian Aku melihat Ayah ku membuka kain putih itu. Aku masih melihat diriku terbaring lemas dan tak sadarkan diri.

"Syifaaaaa bangun syifaa. Syifaaaaaaaaaaaa." teriak ku samakin keras.

Kemudian matanya terbuka dengan nampak sangat terkejut. Lalu Syifa yang di sana berteriak dengan sangat keras. Hal itu membuat diri ku sendiri pun terkejut. Aku melihat dia yang merupakan diri ku sendiri berteriak dengan sangat kerasnya. Hingga para ilmuwan itu juga ikut tersentak. Mereka pun dengan cepat kembali menyuntikkan obat bius yang bertujuan agar dia kembali pingsan. Namun Aku meihat dia berontak. Sangat tak terkendali saat itu. Entah mengapa, namun Aku sangat tercengang. Aku seperti tak bisa melakukan apapun. Hanya terdiam melihat hal itu terjadi.

Beberapa saat kemudian Syifa kembali tertidur. Ya, itu karena obat bius yang disuntikkan ke tubuhnya. Setelah Aku melihat dia kembali tertidur dan tak sadarkan diri, Aku baru tersadar bahwa tak seharusnya Aku hanya terdiam dan tak melakukan apapun. Aku mulai kembali menghampiri tubuh ku sendiri di sana. Tapi semua telah terlambat. Syifa telah dibawa ke sebuah ruangan yang ada di sebelah ruangan ini. Para profesor itu melewati ku begitu saja dan dapat menembus tubuh ku. Kemudian Aku melihatnya. Aku melihat bagaimana tubuh ku dimasukkan ke sebuah mesin dan kemudian menghilang. Aku sangat terkejut. Kemudian nafas ku kembali tak beraturan. Aku merasakan sangat sesak dan kemudian Aku menutup mata dengan kedua tangan ku. Tangan ku menjadi basah karena air mata kembali jatuh. Namun Aku mencoba untuk menenangkan diriku. Setelah merasa sudah tenang, Aku mulai membuka mata ku secara perlahan. Ternyata Aku kembali ke ruangan yang gelap, sunyi, dan hitam. Setelah itu Aku benar-benar yakin bahwa Aku memang sudah meninggal, bahwa Aku sudah menjadi arwah. Aku pun kembali menutup mata dan berharap bahwa Aku tak melihat hal-hal seperti itu lagi.

Grek. Kemudian Akumerasakan sebuah guncangan.    

---Bersambung---

GARIS WAKTUWhere stories live. Discover now