Do You Know (0) - "that both of them are"

Start from the beginning
                                    

Terlebih lagi, tidak ada korelasinya antara kebahagiaan dan kebaikan seseorang. Orang yang bahagia bisa berbuat kejahatan, bahkan mendapatkan kebahagiaan itu dengan merenggut kebahagiaan orang lain. 

Aku benci sekali orang seperti itu.

Karena aku adalah saksi nyata dari itu semua.

Bagaimana para Face of SMA yang sudah berbahagia ini masih memiliki pikiran untuk 'mendapatkan kesenangan masa muda' dengan menghancurkan hati dan harga diri para wanita. Contoh nyatanya adalah taruhan murahan untuk memegang dada W, melucuti pakaian X, atau melakukan 69 dengan Y.

Bukan, aku bukan W, X, maupun Y. Tapi aku Z. Wanita yang harus menerima perlakukan yang sama dengan W, Y, dan Y oleh prodigi jurusan dance, Park Jimin.

Hari itu, hari 'mereka' menginisiasi permainan murahan itu, benar-benar merupakan hari terburuk Park Jimin karena ia mendapatkan namaku. Karena aku tahu semuanya.

Park Jimin sama sekali tidak menyangkal tuduhanku atas intensi buruknya untuk mendekatiku. Ia menjelaskan semuanya, berkenan memberitahu sedetail apa adegan yang harus ia lakukan, malah.

Saat itu aku ingin bertanya padanya. Apa kau akan bahagia jika berhasil melakukan itu?

Tapi kesialan Park Jimin tidak berhenti sampai sana karena bibirku malah berkata, "Berpura-pura saja sudah melakukannya denganku. Selesai, lalu jangan ganggu aku lagi."

Ternyata bukan hanya dirinya yang mengalami kesialan pada hari itu. Karena kalimat yang aku keluarkan itu pun juga merupakan awal dari kehancuranku. Awal di mana aku menjadi orang yang paling aku benci.

Alasan kenapa laki-laki dingin dan angkuh sepertinya menonton pertunjukan perdanaku di mana aku hanya berperan sebagai pemeran pembantu. Alasan kenapa Park Jimin berhenti ke klub malam untuk menyelinap masuk ke selangkangan perempuan asing. Alasan kenapa teman laki-laki itu akhirnya percaya bahwa kami 'sudah' melakukannya. Alasan kenapa seluruh SMA memberikan selamat atas hari jadi kami.

Aku merancang semuanya.

Aku benci diriku untuk itu hingga saat ini. Sangat.

Karena di semua kebohongan yang aku lakukan bersamanya itu aku mendapatkan kebahagiaan.

Lantas ketika waktuku sudah habis bersamanya, aku berharap aku bisa mendapatkan kebahagiaan yang lain dengan membongkar semua kebusukan Park Jimin dan teman-temannya ke penjuru SMA.

Aku menangis sejadi-jadinya, mengatakan kekecewaanku, menyatakan ketakutanku atas taruhan itu. Kendati aku sudah mengetahui semuanya, bahkan menutupi semua hal ini selama hampir satu tahun. Banyak yang mendukung keputusanku, mengatakan bahwa aku telah berbuat kebaikan, mengatakan bahwa mereka kasihan padaku, mengatakan bahwa mereka senang aku mau bicara dan belum sempat ternoda. Mereka bilang aku baik.

Ironisnya, aku tidak bahagia.

Terlebih lagi ketika Park Jimin mengatakannya dengan tatapan yang masih membuatku membeku jika aku mengingatnya kembali. "Kamu emang cocok banget jadi aktris."

Itu kalimat terakhirnya kepadaku. Tanpa nada kekesalan. Tanpa amarah. Tanpa emosi yang berarti.

Kebahagiaan, kebaikan. Kebaikan, kebahagiaan. Tidak ada korelasinya, kan? Aku sudah membuktikannya sendiri dengan keputusan hidupku yang akan kusesali sampai waktu yang tidak akan kuketahui.

Sampai karma terus menyerangku dengan fakta bahwa banyak yang menganggap Jimin benar-benar menyukaiku, menyerangku dengan klise melodrama bahwa awalnya Jimin memang berniat buruk namun akhirnya jatuh cinta padaku. Sampai akhirnya laki-laki itu masih menghantuiku dengan setiap gerak-geriknya di media sosial, memberikan perhatiannya sedikit demi sedikit seperti apa yang kuperintahkan kepadanya dulu. Sampai akhirnya laki-laki itu kembali berdiri menampakkan wajahnya yang semakin menawan di hadapanku. Dengan tatapan yang membuat sekujur tubuhku berubah dingin dan membatu.

IG Stories (end)Where stories live. Discover now