SONGSTRESS

190 2 0
                                    

Derai tawa kembali terdengar, menggema dalam aula kuil yang diapit oleh deretan kolom-kolom raksasa dari batu marmer dengan ornamen ukiran pada kedua sisinya. Erangan hasrat dan dengusan kenikmatan terdengar sayup-sayup di antara alunan musik.

Namun terselip di antaranya terdengar pula nada-nada sumbang jeritan hati memohon ampun dan gemeretak rahang menahan sakit.

Elpis membuka matanya, menatap pemandangan di hadapannya dari dipan tempatnya berbaring. Kaumnya sedang berpesta, menikmati perjamuan yang disiapkan para manusia atas keberhasilan panen tahun ini. Dan seperti biasa, pesta Kaumnya merupakan pelampiasan hasrat duniawi mereka.

Anggur yang disediakan manusia dan Ambrosia yang dibawa oleh Kaumnya dituangkan tanpa henti pada piala-piala yang tak pernah kosong oleh para wanita yang melayani mereka. Berbagai macam hidangan terus dikeluarkan susul-menyusul oleh oleh para pria yang bertubuh kekar.

Semua manusia yang melayani Kaumnya hari ini adalah mereka yang dipilih dengan hati-hati. Hanya yang tercantik dan tertampan. Hanya yang istimewa dan menggugah selera.

Namun semuanya memiliki tatapan kosong, tatapan mereka yang bersembunyi jauh dalam sudut hati mereka sendiri sehingga tak perlu merasa. Karena semuanya berada di sini bukan oleh keinginan mereka sendiri.

Mereka berada di sini karena Moerae memilih mereka.

Wanita yang duduk di sisi kiri Elpis menerima piala yang disodorkannya. Wanita di sisi kanannya memetik buah anggur dari nampan di pangkuannya lalu menyuapi Elpis dengan tangan gemetar. Wanita lain berlutut di kaki Elpis, menunduk, sibuk melayaninya dengan tubuh tegang.

Seharusnya Elpis merasakan kenikmatan.

Namun yang dirasakannya hanyalah kejenuhan.

Seluruh pelampiasan hasrat duniawi ini membuatnya jenuh.

Kaumnya sendiri membuat jenuh.

Desahan Elpis membuat tubuh ketiga wanita yang melayaninya menegang. Berbarengan, tatapan ketiganya melecut ke arah Elpis, penuh rasa takut dan ngeri.

Namun Elpis mengabaikan mereka. Perhatiannya teralihkan pada sosok gadis yang melangkah ke dalam kuil. Sebuah guci tanah liat penuh ukiran berada dalam pelukannya.

Pendeta yang mempersiapkan seluruh perayaan ini bagi Kaumnya, mengikuti dari belakang.

Gadis yang baru masuk memiliki rambut bergelombang berwarna hitam seperti bulu gagak, berkilat dalam cahaya obor yang menari-nari. Wajahnya yang masih belia berbentuk oval sempurna dengan sudut mata terangkat seperti kucing.

Tidak cuma Elpis, perhatian seluruh Kaumnya juga beralih. Beberapa bahkan tampak menjilat bibir dengan lapar. Tidak mengherankan, gadis itu memang sangat lezat. Dan Elpis menginginkannya untuk dirinya sendiri.

Elpis melambaikan tangannya, membuat para wanita yang melayaninya tergesa-gesa bangkit untuk menjauh. Dari sudut mata, dia melihat para wanita itu langsung ditarik ke dalam pelukan Kaumnya yang lain.

"Siapa yang kau bawa, Pendeta?" cetus Elpis.

Dalam sekejab suasana menjadi hening. Perhatian semua makhluk hidup dalam kuil tertuju pada Pendeta dan gadis yang dibawanya.

Elpis bangkit dari dipannya lalu melangkah mendekati mereka. Sang Pendeta langsung berlutut diikuti si gadis. Keduanya menundukkan kepala mereka dalam-dalam.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Pendeta."

"Anesidora, sang pembawa hadiah, Tuanku. Dia membawakan hadiah untuk Anda sekalian," jawab si Pendeta dengan suara bergetar. "Dia juga dapat memberikan Anda sekalian hiburan dengan suaranya. Hambamu sengaja mendatangkannya dari jauh, namun dia baru saja tiba."

KUMPULAN CERPEN NSFWWhere stories live. Discover now