Mencintai

10 1 2
                                    

Jakarta, 2009

Suasana kelas terdengar hening ketika Bu Zahra sedang menerangkan pelajaran sejarah. Semua siswa dan siswi terlihat tengah memperhatikan materi tersebut, beberapa juga ada yang sesekali mencatat kalimat penting yang di sampaikan oleh Bu Zahra.

Namun beberapa kali suara gemuruh petir terdengar, membuat suasana kelas seketika riuh meskipun tidak berisik. Terdengar beberapa siswa dan siswi mengucapkan doa atau hanya bergumam ketakutan mendengar suara gemuruh yang menakutkan itu.

Stevan tetap memperhatikan materi yang di jelaskan oleh Bu Zahra, sampai suara nafas terengah di sampingnya mengalihkan konsentrasinya. Terresa, gadis itu terlihat berkeringat dan memejamkan mata beberapa kali.

"Lo gak apa-apa?" Bisik Stevan khawatir.

Terresa menoleh dengan cepat, sepertinya karena terkejut. Namun wajah terkejutnya seketika berubah dengan senyuman canggung. "Gak apa-apa." Jawabnya sambil menggelengkan kepala, lalu melanjutkan tugasnya mencatat materi dari Bu Zahra.

Stevan mengerutkan keningnya cemas, tangan gadis itu terlihat bergetar. Takutkah? Tapi takut apa? Petir?

----

Stevan pulang ketika matahari sudah terbenam. Lelaki itu baru selesai dari latihan basket di sekolahnya. Keringat terlihat bercucuran dari dahinya, meski sudah terkena AC mobil waktu Pak Parman, supirnya, menjemputnya.

"Lama banget sih pulangnya, mas. Aku ada tugas Matematika nih, susah banget."

Stevan berhenti menaiki tangga ketika melihat Serena, adiknya keluar dari dapur sambil membawa sepotong strawberry cake di atas piring kecil.

"Tentang apa? Rumus lagi?" Jawab Stevan sambil berjalan ke arah adiknya, tidak jadi naik ke lantai dua dimana kamarnya tepat berada.

"Bukan. Tentang skala-skala gitu deh. Aku gak ngerti, ajarin ya?" Pintanya.

Stevan tersenyum mengangguk sambil menyendok sesuap cake ke dalam mulutnya. "Kue dari siapa?" Tanyanya sambil mengunyah.

"Gak tau. Ada di kulkas, jadi aku makan aja."

Stevan tertawa lalu mengacak rambut adiknya itu. "Yaudah, mas mandi dulu. Nanti abis Isya ke ruang tv aja, kita belajar disana." Ucapnya yang di jawab anggukan oleh Serena.

Stevan segera menaiki anak tangga dan menuju kamarnya yang terletak di sudut ruangan. Nuansa abu-abu serta merah terlihat mendominasi kamar Stevan. Bau maskulin juga tercium sangat harum ketika pintu kamar tersebut dibuka.

Stevan meletakkan tasnya di atas bangku yang biasa dia duduki ketika belajar di meja belajarnya. Sambil memutar tubuhnya ke arah cermin yang cukup besar, dia membuka jam tangannya lalu meletakkannya di salah satu tempat yang sudah di sediakan mamanya khusus untuk jam tangan dan beberapa gelang. Bajunya yang sudah keluar dari celananya menimbulkan kesan bahwa Stevan adalah anak yang nakal.

Saat dia hendak membuka kemeja sekolahnya, handphonenya yang berada di kantung celana seragamnya bergetar. Dia merogoh dengan cepat seakan tahu siapa yang menghubunginya saat itu.

Gue baru pulang dari les. Lo udah selesai latihan? -Terresa

Stevan tersenyum mendapat balasan dari Terresa. Sebelumnya memang dia mengirim pesan pada Terresa apa gadis itu sudah pulang atau belum.

Baru pulang juga.

Stevan memencet tombol send yang ada di handphonenya sambil tersenyum. Hubungan mereka berdua menjadi cukup dekat setelah Bu Zahra memindahkan tempat duduk mereka tempo hari. Stevan dengan sengaja meminta nomor telepon Terresa untuk bisa berdiskusi ketika mereka mendapat tugas. Tapi sepertinya Stevan tidak tahan untuk hanya sekedar menanyakan kabar gadis itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 29, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rainy GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang