Terresa

9 1 2
                                    

Stevan merebahkan dirinya di atas kasur bernuansa merah, dengan logo salah satu club bola favoritnya. Matanya menatap nyalang pada langit-langit kamarnya.

Terresa kembali, pikirnya.

Matanya terpejam mengingat bagaimana dia bisa mengenal Terresa meski sudah dua tahun berada di kelas yang sama. Gadis itu, dengan senyumnya, seolah berkata bahwa dia baik-baik saja.

------
Jakarta, 2009

"Sob, kantin yuk! Laper nih, ntar aja ngerjain tugasnya. Bu Ratna juga gak masuk."

Stevan mengangkat kepalanya dan melihat Reyhan sudah berdiri di samping mejanya. Saat ini jam pelajaran masih berlangsung, namun guru untuk mata pelajaran IPA memang sedang tidak masuk karena sakit. Sehingga kelas terlihat setengah kosong karena beberapa anak lebih memilih untuk pergi ke kantin, greenhouse, atau sekedar membaca di perpustakaan.

"Bentar, dikit lagi mau selesai." Ucap Stevan sambil terus mencoret-coret bukunya.

Reyhan berdecak sebal. "Kayak anak cupu aja Lo, nyelesain tugas ginian di kelas. Ntar aja sih di rumah, orang cuma gambar doang."

"Karena gambar doang makanya gue selesain sekarang. Ntar pulang gue mau futsal, pasti pulang malem. Kalo gue ngantuk, gambarnya jadi acak-acakan. Lo kan tahu gue gak bisa gambar." Ucapnya lalu menutup bukunya karena tugasnya sudah selesai.

"Payah lo. Masa cowok gak jago gambar. Kayak gue dong, masih SMP aja udah ikut lomba sampe luar negeri."

"Brisik lo, jadi ke kantin gak?!" Tanya Stevan dengan kesal.

Reyhan tertawa lalu berjalan mendahului Stevan. Reyhan adalah salah satu temannya di kelas yang cukup humble dan mudah bergaul dengan siapa saja, baik wanita maupun pria. Berbeda dengan dirinya yang terkesan cuek, dan tidak mampu berbaur dengan wanita.

"Lo mau main futsal lawan anak mana? Gue ikut dong." Ucap Reyhan ketika Stevan sudah berjalan di sampingnya.

"Gak! Ntar lo rusuh. Lo kan gak bisa main futsal. Yang ada tim gue kalah nanti." Jawab Stevan ketus.

"Yaelah, ntar kalo kalah gue deh yang bayar lapangannya. Gue kan juga mau jago main futsal. Biar cewek-cewek pada nempel sama gue." Bujuknya.

"Cih~ Gak percaya gue sama Lo. Makan di kantin ntar juga paling siapa yang bayar? Gue!"

"Sialan Lo, perhitungan banget sama gue. Temen gue bukan sih lo?!"

"Bukan."

Reyhan dengan kesal mengapit leher Stevan hingga dia mengadu kesakitan. "Rasain Lo! Nyaho Lo abis gue ketekin ntar."

Stevan tertawa kecil sambil terus memukuli lengan Reyhan. Apitan tangan Reyhan memang tidak terlalu sakit, tapi karena itu dia susah berjalan sehingga harus menyeret sebelah kakinya.

"Eeh Terresa! Mau kemana?"

Seketika tangan Reyhan lepas dari leher Stevan. Reyhan berupaya mengejar gadis bernama Terresa tersebut yang keberadaannya tidak terlalu jauh dari mereka.

"Eh, Toyib. Gue mau ke kantin, beli minum."

Stevan mendengar gadis itu menjawab pertanyaan Reyhan. Sedikit meringis bagaimana gadis itu memanggil Reyhan dengan sebutan 'Toyib'. Nama panggilan anak-anak sekelas untuk Reyhan disebabkan Reyhan pernah kedapatan bernyanyi kecil lagu Bang Toyib yang di populerkan oleh Rimba Mustika.

"Yah, Terre. Masa lo juga manggil gue Toyib. Jelas-jelas nama asli gue lebih keren. Reyhan Januardi. See? Kurang keren apa coba." Ucapnya sambil mengusap rambutnya ke belakang.

Gadis itu tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Rambutnya yang hitam panjang bergerak mengikuti gerakannya.

"Eh, Stevan! Lo kenapa jalan di belakang gue gitu? Sini lo! Berasa pangeran lagi pacaran aja gue, terus di kawal bodyguard." Ucapnya diselingi tawa.

Stevan bersungut namun tetap mempercepat langkahnya ke arah Reyhan dan gadis bernama Terre tersebut.

"Mending lo ikut makan sekalian sama kita. Ntar biar Stevan yang traktir kita, iya gak Stev?" Ajak Reyhan mengundang tawa Terresa.

"Yang bener aja lo. Dasar Toyib gak mau rugi. Lo yang ngajak masa temen Lo yang bayar." Ucap Terre di barengi tawa.

Stevan terpana. Melihat gadis itu tertawa membuat matanya tidak berhenti menatap wanita itu. Mata yang ikut tersenyum ketika lengkungan bibir indahnya menimbulkan suara tawa pelan.

"Udah aah, gue duluan. Udah di tungguin Chika juga di sana. Gak enak." Ucap Terre lalu melangkah dengan cepat ke arah kantin yang sudah terlihat.

"Gila. Terre tuh sempurna banget, iya gak sih? Beruntung banget cowok yang bakalan jadi pacarnya dia ntar." Reyhan berkata sembari menggeleng-gelengkan kepalanya kagum. Siapa yang tidak mengenal Terresa Dyatmika. Gadis yang cantik dengan kepintaran luar biasa. Ramah pada semua orang, dan selalu peduli pada sekitar.

"Emangnya dia belom punya pacar?"

Reyhan menoleh pada Stevan yang masih menatap lurus ke arah kantin. Matanya menyipit curiga. "Jangan bilang Lo juga suka sama Terre." Tuduhnya tidak suka.

Stevan mengedikkan bahunya pelan, lalu melanjutkan jalannya ke arah kantin yang terlihat lenggang.

"Dia cantik."

Reyhan membulatkan matanya lalu menyusul Stevan dengan cepat. "Sialan Lo. Gak usah rusuh. Gue udah suka sama Terre dari kelas satu. Gak usah ikut-ikutan suka Lo."

"Terus kenapa Lo gak tembak dia kalo emang lo suka udah dari lama?"

"Sompret! Mana berani gue. Lo tau kan nilai gue kalah jauh dari dia. Gak pede lah gue."

Stevan tersenyum, "kenapa emang kalo nilai Lo lebih rendah dari dia?"

Reyhan berdehem pelan. Mereka berdua bisa melihat Terre dan salah satu temannya Chika sedang bersenda gurau di salah satu stand kantin yang menjual minuman. "Tipenya dia pasti oke banget, Stev. Gue yang cuma bisa modal gambar mana bisa jadi tipenya dia."

"Terus maksud lo siapa yang mendekati tipenya dia?"

Reyhan terdiam sebentar sebelum berdecak sebal. Dengan pelan dia meninju lengan Stevan, "bangke Lo! Emang deh Lo doang yang sempurna." Sindir Reyhan tidak suka.

Stevan tertawa pelan, "slow aja kali. Gue emang bilang dia cantik, tapi blom tentu dia masuk dalam tipe gue juga."

Reyhan memukul kepala Stevan pelan, "sial lo. Gue sumpahin Lo gak bisa ngelupain Terresa. Biar mampus Lo ngemis-ngemis cinta ntar sama dia."

Stevan tertawa melihat wajah merah padam Reyhan di sampingnya. Sepertinya lelaki itu benar-benar menyukai Terresa Dyatmika.

-----
Jakarta, 2017

Stevan tersenyum kecil ketika mengingat pertemuannya dengan Terresa melalui Reyhan. Dia bohong jika Terre tidak termasuk ke dalam kriterianya. Dia adalah gadis pertama yang membuat jantungnya berdegup kencang saat itu. Dan sepertinya dia harus bertemu Reyhan, untuk mencabut sumpahnya yang menjadi kenyataan sekarang.

Drrt..Drrt..

Stevan membuka matanya ketika merasakan getaran ponselnya di atas kasur. Nama Dianta terpampang menandakan bahwa gadis itu menelepon. Dengan malas Stevan duduk di atas kasurnya, menimang-nimang handphonenya, ragu untuk menjawab panggilan tersebut. Stevan tahu, pasti Dianta akan bertanya siapa Terresa itu, acara tadi di tampilkan live di salah satu televisi swasta Indonesia. Dianta pasti melihatnya. Karena acara itu juga menyangkut dirinya.

Getaran ponselnya berhenti. Stevan hanya menatap layar kaca handphonenya dengan tatapan kosong. Jika Terresa tidak pergi, mungkin yang akan menjadi tunangannya saat ini adalah dirinya. Bukan Dianta.

Rainy GirlWhere stories live. Discover now