#15 : Rahasia Manis Yang Dirahasiakan

Mulai dari awal
                                    

"Bukan siapa-siapa kok," kata Wildan.

"Yaelah, sama sahabat sendiri aja ente pake rahasia-rahasiaan," cibir Genta, "nggak mungkin kan ente senyum-senyum sendiri kalau dia nggak istimewa buat ente? Skizofrenia kali ente kalau senyum tanpa sebab," lanjutnya.

"Astagfirullah, nggak ada yang istimewa kecuali Ibu ane, Ta. Ente tahu sendiri, kan?" elak Wildan.

"Ck..." decih Genta.

Memang, wanita yang paling istimewa bagi Wildan cuma ibunya dan Genta tahu kalau Wildan sangat mencintai wanita yang melahirkannya itu.

"Ane bingung aja, Ta," Wildan berujar.

"Bingung kenapa? Masih ada Allah kenapa bingung. Serahkan saja sama Allah yang Maha Segalanya," balas Genta disambut lirikan tajam dari Wildan karena bukannya mendengarkan curhatan hatinya malah memberi tausiah.

"Iya ya, bingung apa sih ente, Wil?"

"Tentang teman chat ane ini, ane udah lama nggak ketemu sama dia. Sekitar sepuluh tahunanlah, ane emang sempat kagum sama dia waktu pertama kali ketemu sama dia di Pesantren Kilat. Ane juga sempat lupa sama dia, nggak tahunya dua bulan yang lalu ane ketemu dia di sini, dia juga kerja di Rumah Sakit ini. Tetapi ane lupa nanya dia dinas di ruangan apa."

"Terus? Yang ngebuat ente bingung?"

"Ada rasa aneh yang nggak ane ngerti. Ane senang aja kalau lihat dia, senang jahilin dia dan dia itu lucu menurut ane. Pokoknya, ane senang bisa ketemu dia lagi sekarang," lanjut Wildan.

"Astagfirullah, Wildan. Ente harus segera tuh nikahin dia," cetus Genta.

"Nikahin dia?" Wildan melotot kaget dengan ucapan sahabatnya itu.

"Syetan lagi berusaha buat ngegoda ente biar terus mikirin dia. Dan jalan satu-satunya yaitu dengan menikahinya. Jadi, ente terbebas dari zinah apapun."

"Nggaklah. Ane masih nggak yakin sama perasaan ane. Kalo ente gimana?"

"Ane punya rencana buat mengkhitbahnya. Tetapi untuk sementara ini, ane cuma mau mengenalnya lebih jauh. Ane bakal dekati dia lewat doa," kata Genta dengan kemantapannya.

Wildan tersenyum. Genta memang sosok pemuda yang dapat dipercaya keseriusannya. Wildan tahu itu.

"Kayak gimana sih dia? Kalo ente udah kayak gini nih, ente pasti beneran serius sama dia." Genta tersenyum bangga.

"Ente mau tahu namanya? Namanya indah loh."

"Boleh, siapa namanya?"

"Arti namanya Ratu yang bersinar di Surga."

Genta menjeda omongannya, menatap serius mata Wildan yang siap mendengarkan nama yang Genta sebut, "Alnaira Malika Jannah."

Senyuman Wildan perlahan mengendur saat telinganya mendengar nama itu dari bibir Genta. Ternyata saat itu mereka tengah membicarakan wanita yang sama, saling mengungkapkan perasaan pada wanita yang sama. Wildan menarik bibirnya dengan sekuat hati, kali ini dia harus mengalah, karena hatinya belum yakin dengan perasaannya untuk Naira, sedangkan Genta begitu serius dan yakin dengan perasaannya kepada wanita tersebut.

***

Sekeping ingatan itu menemani Wildan melenggang pergi dari rumah Naira setelah perdebatannya dengan wanita itu. Dia menginjak pedal mobilnya ke jalanan.

Perasaan yang campur aduk membuat dia kehilangan kendali. Beberapa kali tangannya dibanting ke kemudi, mengekspresikan kekesalannya terhadap Naira. Sejak Wildan tahu bahwa Genta mencintai Naira, dia memutuskan untuk mengalah dan berbalik mendukung Genta untuk bersama Naira. Bahkan, dia harus menjada mak comblang antara Genta dan Naira.

Dan, sejak memutuskan untuk mengalah, Wildan mulai melepaskan perasaan yang sempat bersarang di hatinya. Menghilangkan ingatan kekagumannya pada Naira karena Wildan yakin Genta mampu membahagiakan gadis itu. Hingga pada akhirnya, dia bertemu dengan Zulfa enam bulan kemudian. Dokter Shalihah yang cantiknya luar dalam membuat Wildan membuka hati. Yang membuat Wildan mampu melupakan Naira dan yakin dengan perasaannya terhadap Zulfa.

Kenapa kemarahannya memuncak ketika dia tahu Naira mencintainya sejak dulu?

Jika Wildan tahu itu dari dulu, ceritanya tak akan seperti ini. Dia tidak akan melepas perasaannya untuk Naira dan bertahan untuk waktu yang lama hingga masa yang indah di hari pernikahan. Semua kacau saat Naira hanya diam saja, meski Wildan beberapa kali memancingnya untuk mengungkapkan perasaannya, Naira hanya bersikap egois dan menyimpan perasaan itu sendiri.

Rintik hujan membasahi kaca mobil Wildan yang melaju kencang di jalanan.

Saat perasaan itu hilang kenapa muncul lagi dalam bentuk luka? Itu hanya semakin menyakiti perasaannya. Setiap malam Wildan berdoa agar Allah memberi petunjuk, tetapi kenapa jawaban ini yang dia terima? Kenapa tidak dari dulu Allah menunjukkan cinta Naira untuknya? Kenapa baru sekarang? Saat semua terlalu rumit untuk dipahami.

"Apa kamu mencintaiku?"

"Nggak, Wildan!" lontar Naira, "aku nggak pernah mencintaimu.

Bagiku kamu cuma sahabat, nggak lebih!" Wildan berdecih. Dasar pembohong!

Rintik hujan menjelma menjadi deras. Jalanan yang ramai tak membuat dia mengurungkan niat untuk mengurangi laju mobilnya. Deringan ponsel sempat membuatnya teralih dari rasa kesesalan. Tetapi saat tahu bahwa Naira yang menelpon, Wildan menginjak pedal mobilnya melaju semakin kencang.

Naira, kenapa baru sekarang? Dari dulu ke mana saja? Aku kesal dengan sikapmu yang menyimpan perasaan itu sendiri. Kenapa tidak kamu katakan saja dari dulu kalau kamu mencintaiku? Semua nggak akan kayak gini. Bakal tidak ada satu pun hati yang tersakiti.

Naira, aku membencimu.

Klakson mobil terdengar bersaman dengan decitan ban mobil yang mengerem mendadak. Tak lama kemudian, suara hantaman kereta besi itu terdengar mengejutkan hingga semua kendaraan berhenti di tempat.

Mobil Wildan tersambar Truk di tengah persimpangan jalan. Mobil itu berguling-guling di jalanan dan berhenti setelah menghantam pohon. Semua orang berhamburan keluar dari mobil dan mendekati mobil Wildan yang tak berbentuk lagi.

Wildan sudah tidak bisa merasakan tubuhnya lagi. Darah segar tampak menutupi sebagian wajahnya. Beberapa kali dia mengerjapkan matanya agar tetap sadar namun samar-samar dia hanya melihat percikan api yang muncul dari mesin depan mobilnya.

"Asyhadu an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaah."

Hanya kalimat itu yang diucapkan Wildan sebelum dia menutup matanya, pasrah.

"Astagfirullahaladzim!"

Naira baru saja sampai di Ruang ICU setelah menunggu hampir tujuh jam operasi Wildan. Matanya entah sejak kapan sudah basah karena air mata, gadis itu menggigit bibir menahan terluka hatinya saat melihat Wildan terbujur tak berdaya di atas tempat tidur Rumah Sakit.

***

[DSS 1] Dear Allah [NOVEL VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang