🌸Singkatnya waktu

35.2K 1.4K 21
                                    

"Tak semua rasa perlu dipertahankan, sebagian menjelma layaknya belenggu yang menyakiti hati. Tak lain dan tak bukan adalah untuk menampar diri, bahwa rasa yang tak diridhoi selalu berakhir ironi."
~~🍃~~

"Maaf, fa...aku harus pergi untuk beberapa waktu. Untuk mengejar cita-citaku."

Bersamaan dengan fakta yang keluar dari mulut Zidan, ingin rasanya seketika itu juga mengonsumsi analgetik dosis tinggi. Kulangitkan beribu istighfar, berharap rasa nyeri yang dirasakan hati ini tak sampai menjalar keseluruh anggota tubuh.

Di sini, akulah yang salah. Dia memang berhak mengejar cita-citanya, termasuk kemanapun dia akan pergi, tetapi aku yang tidak menyiapkan ini sedari awal. Menyiapkan diri kalau sewaktu-waktu kenyataan yang tidak kuinginkan harus terjadi, kenyataan yang bahkan aku tidak pernah membayangkannya sekalipun harus menjadi realita saat ini. Harusnya memang aku sudah terbiasa akan hal ini, orang-orang yang kujadikan sebagai tamengku satu persatu akan pergi juga, entah untuk sementara atau bahkan selamanya.

Sejak Zidan memutuskan untuk menempuh pendidikan di pesantren, saat itu aku duduk di kelas delapan SMP, yang mana Zidan barusaja menginjakkan kaki di Sekolah Menengah Atas. Aku dan keluargaku pun ikut mengantar Zidan ke pesantren, jarak pesantrennya dengan kota dimana aku tinggal memang cukup jauh. Terpisah kota saja aku galaunya berminggu-minggu, bagaimana jika pisah antar negara?

"Aku...aku sebenernya kesini juga karena mau cerita sama kamu, fa. Jadi, alhamdulillah nih aku keterima beasiswa di Madinah University, impianku dari dulu. Kamu tau itu kan?"

"Ah iya, yang kamu tempel gambar Universitas itu didinding kamar kamu kan ya? Aku inget juga, yang kata Almira sepupu kamu itu berantakin kamar kamu terus ngerusak gambar-gambar itu, eh kamu marahnya sampai tiga hari dong," aku tertawa mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Teringat pula saat Zidan terang-terangan bercerita dengan ekspresi wajah penuh kekesalan.  Zidan balas tertawa, sama sepertiku mengingat bagaimana kesalnya dia saat itu.

"Tapi tadi aku hampir salah tangkap sama ucapanmu, lho. Aku pikir kamu malah mau bilang  kalau kamu mau ngelamar orang," lanjutku yang membuat tawanya mengudara.

"Ya kalaupun bener kayak gitu, ngapain aku harus repot-repot cerita sama kamu? Toh kamu juga yang akan memutuskan," katanya. Cukup untuk beberapa detik otakku berputar, perkataannya memang tidak multitafsir, otakku saja yang tidak bisa menafsirinya dengan tepat.

"Maksudnya gimana?" tanyaku pada akhirnya, setelah beberapa detik terdiam mencerna kata-katanya barusan.

"Oh nggak, udah jangan dipikirin. Lagian belum waktunya juga diomongin sih sebenernya," alih-alih menjawab, pria satu dihadapanku ini memang hobi ngeles.

"Iya jadi aku direkomendasiin tuh sama kyai aku, kebetulan beliau kan juga alumni sana," jelasnya, menurutku lebih untuk mengalihkan topik pembicaraan kami yang sempat awkard  tadi.

"Alhamdulillah ya kalau gitu. Aku ikut seneng dengernya. Jadi, kapan berangkat?" tanyaku. Akhirnya pertanyaan yang kutahan sejak tadi terucap juga.

"Masih sekitar satu setengah bulanan lagi sih," lanjut Zidan, sebelum akhirnya dia mendongakkan wajahnya dan menatapku penuh harap.

Wow, berarti tinggal satu setengah bulan dong aku masih bisa liat dia secara langsung begini.

"Kenapa gitu sih ngeliatinnya?" aku menaikkan sebelah alisku.

Menjagamu Dalam Do'akuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang