🌸Satu🌸

713 18 0
                                    

Dipijatnya lehernya lembut seraya menyenderkan punggung lelahnya di atas kursi kerjanya yang empuk. Seharian bekerja memang membuatnya merasa pegal dan kelelahan. Kamera DSLR nya ia raih, inilah benda paling berharga dalam pekerjaan yang ia geluti ini. Semua gambar yang hari ini ia dapat, ia pilah-pilah mencari hasil terbaik.

Senyuman terukir di bibir manis nya mengikuti serta senyuman kedua mempelai dalam foto itu, hati Adya ikut mekar, berbunga dengan indah melihatnya.

Kameranya ia letakkan kembali pada tempat yang aman. Pandangannya kini beralih pada secarik kertas di atas meja kerjanya dengan goresan tinta membentuk gaun pengantin idaman Adya diatasnya.

‘Aku sudah dapat kejutannya’

Begitu bunyi tulisan yang tergores di ujung kertas yang baru saja Adya torehkan, teringat tiba-tiba ia akan seseorang. Mengingat orang itu kini membuatnya mulai tersenyum mesam sendirian lagi.

“Hoi kerja neng! Ngelamunin apa lagi? Lagi nungguin pangeran impian kamu itu ya?” Fas mengusiknya, Fas, teman kerjanya yang saat ini tengah sibuk membawa tumpukan file kerja ke mejanya. Kebetulan sekali meja mereka bersebelahan.

Adya mengangkat kepala, memandang Fas sebelum menampilkan cengiran kudanya “Sorry, hehe” ucap Adya dalam cengirannya.

Fas menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum berkas-berkas itu diletakkan diatas meja dengan sangat hati-hati.

“Kamu kayaknya lagi seneng banget, baru ketemu pangeran ya?” Fas berdiri tegak di hadapan Adya sembari berkacak pinggang.

Seketika itu, dia mulai teringat akan sesuatu. Lantas Fas menghampiri meja Adya. Adya hanya memperhatikan Fas yang mulai mendekat dengan kening mengkerut.

“Emangnya kapan dia datang melamar? Apa memang sudah melamar?” Tanya Fas sambil mencolek bahu Adya. Suaranya sengaja direndahkan bagaikan berbisik.

Adya yang mendengar pertanyaan itu menyunggingkan senyum malu-malu nya tanpa menatap wajah Fas yang bertanya.

“Menurut kamu?” Tanyanya, memaniskan suaranya sedemikian rupa.

“Ada-ada saja kamu ini. Kapan dia mau datang melamar?” tanya Fas lagi, terlalu ingin tahu.

“Dia sudah datang melamar” Balas Adya yang memandang wajah Fas kemudian.

“Eh, serius? Kapan?” Lagi, Fas bertanya diiringi keterkejutannya.

“Kemarin. Kata Bunda ada yang datang meminta”

“Dan kamu setuju?”

“Iyalah. Dia sendiri yang bilang akan datang secepatnya. Dia bilang, kalau ada yang datang, langsung setujui.” Balas Adya. Riak wajahnya menampakkan kebahagiaannya.

“Kamu yakin sekali, siapa tau itu orang lain.” Balas Fas mencebik.

“Mana ada ih! Kamu ini bukannya mendukung teman sendiri malah begini.” Adya merungut.

Fas tersenyum sebelum merendahkan badannya dan menepuk bahu Adya, “Iyalah iya. Selamat ya? Semoga berbahagia!” bahu itu di tepuk-tepuk.

Adya mencubit pipi Fas sebelum memeluk temannya itu. “Thank you!” ucapnya girang.

Fas membalas juga pelukan Adya. Namun saat melihat bos mereka keluar dari ruangannya, mereka langsung melepas pelukan dan kembali ke meja masing-masing, berakting seolah tengah sibuk bekerja.

Adya hanya memperhatikan langkah bosnya yang berlalu menjauh sebelum menampilkan cengiran lagi saat melihat Fas, Fas pun melakukan hal yang sama.

Mereka bekerja kemudian. Namun tidak lama setelah itu, yang Adya lakukan hanya melamun seorang diri, dikarenakan hatinya sudah terlalu berbunga. Dalam pikirannya terbayangkan bagaimana suasanya pernikahan mereka nanti. Sangat menyenangkan!

Tidak sabar baginya menunggu hari bersejarah itu tiba.

Adya tersenyum lagi, lebih lebar dari sebelumnya.

---

Jarinya bermain-main diatas meja. Sesekali meja itu diketuk-ketuk perlahan. Kebiasaan barunya sudah dua pekan ini. Entah sejak kapan mulai terjadinya.

Nafasnya ditarik dalam-dalam, bagaikan tengah memikirkan sesuatu yang rumit.

Pintu terdengar di ketuk sebelum ia menoleh dan tersadar dari lamunanya.

“Brother?” Panggil Ahnaf tatkala badannya mulai memasuki ruangan itu.
“Oh Sorry! Bukan Bother atau Brader lagi. Tapi, calon adik ipar?” Ralat Ahnaf bahkan saat lawan bicaranya belum sempat menjawab.

Senyuman terukir saat ia melihat Ahnaf yang juga tengah tersenyum lebar itu menghampiri mejaya lalu duduk  tepat di depannya.

Ahnaf menatap wajah calon adik iparnya itu. “Kenapa murung terus? Kamu kan mau menikah.” Tanya Ahnad

Sedih juga jika melihat raut wajah lelaki dihadapannya yang terlihat suram hari ini. Padahal sebelum hari ini, kemarin, wajahnya berseri bahagiabagaikan baru memenangkan lotre.

“Deg-degan” balasnya seadanya.

“Eleh sok deg-degan, darimana kamu belajar rasa seperti ini?” Canda Ahnaf.

“Iyalah deg-degan. Kamu memangnya tahu apa, pacar aja nggak punya.” Balas calon adik iparnya ini, bercanda namun tetap bersahaja.

“Etdah! Kurang asem!” Ahnaf tertawa kemudian yang disusul oleh Imer.

Suasana sepi seketika tawa itu mereda.

“Bunda beneran tidak mengatakan apa-apa saat aku sudah pulang?”

“Tidak. Dia terus menyuruh Adya untuk pulang akhir minggu ini. Dan Adya setuju, jadi fokus lanjutkan aja segala persiapannya. Bunda sudah nggak bahas apa-apa lagi.” Balas Ahnaf.

“Adya baik-baik aja kan?”

“Entalah. Biasa aja dia. Aku juga ngga tahu anak itu.”

Calon adik iparnya itu mengangguk-angguk paham.

Ahnaf memandang wajah lelaki itu. “Jangan terlalu banyak berpikir, udah mau nikah juga. Sekarang ini, fokus dulu sama tanggung jawab kamu ke rumah tangga. Itu lebih penting.” Ahnaf mencoba menenangkan perasaan sahabatnya.

Sekali lagi, Imer mengangguk paham.

Ahnaf tersenyum kemudian “Dan, pesan aku yang satu itu jangan dilupa.”

“tentang Adya?” tanya Imer. Ahnaf mengangguk.

“Kamu tau sendiri, sifatnya itu kayak gimana.”

Lagi-lagi Imer hanya mengangguk menanggapi, “Insha-Allah. Aku akan coba yang terbaik.”

Dan lagi, senyuman Ahnaf terukir. “Jangan gusar lagi, okey? Aku udah nolongin kamu baik-baik, jangan sampai putus tengah jalan. Oke?”

“Doakan aku.”

“Iya. Kamu jangan khawatir.lah. niat baik kamu ini pasti akan ditolong yang maha esa. Kamu berniat baik kan bukannya mau merampok?” Kata Ahnaf yakin dan bersahaja.

Imer tersenyum sambil menatap wajah Ahnaf. Berasa bersyukur akan kehadiran kakak iparnya yang jelas banyak memberinya dukungan sejak dulu.

“Siapa yang sangka kita akhirnya jadi keluarga. Kakak dan adik ipar. Sounds great” Ujar Imer.

Ahnaf mengangguk-angguk seketika, berfikir akan sesuatu. “ Tapi kita seumuran bro. Jadi jangan sekali-kali kamu panggil aku Kak, apalagi Kak Ahnaf!”

Imer tesenyum lagi. “Terserah akulah, pokoknya aku ini adik ipar kamu. Titik ya Naf. Pangkat aku lebih muda dari kamu jadi apa salahnya?” balasnya.

“Heh kalau diliat bulannya kamu lebih tua. So, please tuan Imer.”

“Hahaha kita Cuma beda sehari aja Naf!”

“Walaupun!”

Mereka tertawa masing-masing kemudian.

22/08/17
0 View 0 Vote
— Mir.

Satu Bulan Untuk Suamiku ; Terjemahan IndonesiaWhere stories live. Discover now