Seekor Semut yang Bermimpi dalam Mimpi

180 2 2
                                    

Dasar keberadaan manusia menurutku adalah diakui oleh manusia lain, tapi apa benar-benar demikian? Dan akan mencapi apa bila catatan ini selesai dibuat?


Aku dan Ibu sudah hidup sendiri semenjak usaiku tujuh tahun. Dasar kesendirian yang tidak perlu aku tanyakan lagi bila orang-orang di dekatku pergi begitu saja. Bila temanku Evi satu-satunya menjauh atau bila aku tidak punya teman baru setelahnya. Hal menjengkelkan terjadi ketika orang-orang dengan sombongnya tidak mau mengakui keberadaan orang lain. Seperti cowok menjengkelkan yang di kelas Evi.

Namanya Rumata Aditya, belakangan aku tahu setelah Evi mengeluh kesal karena cowok itu selalu mengambil pulpen Evi setiap pelajaran baru dimulai.

"Loe tau enggak, tuh, cowok nyebelin bangget, anak-anak sampai kesel setengah pengen nelen dia idup-idup. Gue enggak nyaka aja, pas-pas awal masuk dia itu super kalem. Enggak banyak omong apalagi bertingkah. Tapi semenja dia berantem ame loe di koridor."

Curhat Evi yang membuat kupingku tambah panas, aku menggeleng kesal tatkala ia menuduhku penyebabnya.

"Benaran, gue serius!"

"Aku enggak ada hubunganya sama dia, Ev! Jangan sembarangan deh," tegasku tidak mau mengerti. Evi menggeleng cepat, memegang kedua pundakku.

"Dengar, loe, harus dengarin gue, kalau sampai loe berpasan dengan dia, pokoknya harus kabur!"

"Enggak penting, Ev! Lagian aku enggak punya waktu. Tau, kan, aku sibuk bantuin Ibu bikin kue?"

Evi manggut, berusaha menyamai langkah cepatku yang kesal. Tidak terima jadi tersangka pelaku pengubah sifat seseorang. Lagi pula, aku hanya satu kali berdebat dan bertemu dengan cowok mie gulung penuh sarang lebah di atas kepalanya. Dan dia dengan seenaknya mengatakan uang lima ratus rupiah itu tidak penting. Yang benar saja?

"Rara, itu dia!"  teriak Evi kencang. Aku spontan menoleh ke segala arah, lalu tanpa sengaja mataku menangkap sosok dengan kepala seperti keranjang sayur tengah melangkah dari arah timur sembari menyeka rambut ikalnya.

"Kabur!" terika Evi sekali lagi, menarik tanganku masuk ke kelas di samping kami, menunduk dengan kepala melongok keluar. Aku yang tidak sempat protes langsung mengikuti pergerakan Evi. "Gawat-gawat, anak itu, pasti akan menemukan kita, Rara!"

Aku menarik napas panjang, lelah berpikir alasan Evi harus menghindar dari cowok satu itu. Mereka satu kelas, tentu besok-besok atau beberapa menit yang akan datang akan berada di kelas yang sama. Percuma!

"Dia yang bikin salah, kenapa kita yang sembunyi, Evi?"

Aku merasakan tarikan napas panjang Evi di sampingku. Lalu tatapan tajam ia juruskan kemudian serta gelengan kepala kecewa.

"Kamu hanya enggak tau semengerikan apa dia, Ra? Sebaiknya jangan bikin urusan!"

"Evi, gini loh!" Aku menegakan punggung, menatap Evi lekat. "Kita itu belum bikin apa-apa, dan kita juga enggak salah."

Mata Evi membulat tajam, bola matanya berputar tak beraturan.

"Hei, semut-semut!"

Aku menoleh, mengernyitkan dahi tatkala mendapati cowok yang belum kutahu namanya itu tengah melambaikan tangan dengan senyum jahil. Evi memegang tanganku khawatir, lalu bersembunyi di belakangku. Apa yang sudah orang ini lakukan kepada teman baikku?

"Oh, atau loe-loe pada mau gue ganti julukan kalian?" ia meletakkan telunjuk ke dahinya, terlihat seperti seorang yang berpikir. "Atau mau dipanggil putri-putri belalang?"

"Heh, lucu, ya?" tanyaku berniat menantang. Berdiri tegap dengan tangan di atas perut di hadapannya, lalu melempar tatapan tajam.

"Rara, udah, jangan diladenin!"

"Brisik, Vi, kamu diam aja!" aku kembali melempar pandang kepada cowok itu setelah menoleh dari bahu kepada Evi. "Tuan Mie Gulung, ada urusan apa dengan putri belalang?"

"Oh, sekarang loe udah nyewa pengawal, di bayarin berapa Neng, mau ikut campur aja urusan orang? Dan loe siapa?" Ia menunjukku dengan telunjuknya, menyeringai tidak peduli.

Hah? Dia enggak tahu aku atau pura-pura lupa? Baru beberapa minggu dan dia sudah amnesia akut. Dasar cowok pikun.

"Oh, jangan-jangan loe salah satu cewek enggak tau malu yang gue tolak dua minggu terakhir ini?"

Hah? Apa? Aku enggak  salah dengarkan?

"Kamu ... nyari gara-gara? Yang suka sama mie gulung kayak loe siapa, hah?" tegasku membentak. Namun, raut wajah cowok itu tetap terlihat malas menanggapi. Ia menggibaskan tangan ke depan, lalu menyeka rambut ikalnya.

"Kasian sekali jadi gue, setelah dikejar-kejar, sekarang dihina!"

Ia berbalik, melambaikan tangan melangkah pergi. Mengabaikanku yang sudah ingin berteriak marah, tapi buru-buru ditahan oleh Evi.

"Jangan jadi semut yang bermimpi dalam mimpi, Cowok Mie Gulung!" teriakku yang sudah tidak bisa menahan emosi.

"Kurang ajar, awas saja!"

"Udah-udah, aku bilang juga apa, dia itu reseh," Evi menyela. Menepuk punggungku lembut. Menatap jauh langkah cowok rambut ikal mie gulung yang melangkah tegap menjauh dari tempat kami berdiri.

***

Makassar, 23 Agustus 2017

CATATAN PATAH HATI (On Going)Where stories live. Discover now