Terjebak Kamuflase

1.9K 110 26
                                    

" Tidak ada cara yang paling baik dalam mencintai
selain menghalalkan
Karena cinta sebelum halal hanyalah kamuflase nafsu semata "

Mata Sasya melanggar menatap intens wajah Alif yang terlihat agak kikuk. Ia menunggu ucapan lanjutan Alif dengan harap-harap cemas.

Alif mengulang ucapannya. "Beri aku kesempatan.. untuk menilai Asraf terlebih dahulu."

"Hah ?" Sasya mengerutkan dahi. Bingung dengan ucapan Alif. Dia pikir ia salah dengar. Apa dia sedang bertindak sebagai seorang kakak yang baik ?

Mereka terdiam sesaat. Berada pada titik koordinat masing-masing. Saling memahami isi kepala.

"Sebaiknya kamu tidak memutuskan hal penting secepat ini. Biarkan aku menemuinya. Setelah itu ..."

"Tidak perlu. Aku tidak butuh." Seru Sasya ketus.

Alif mendongak. Menatap sekilas raut wajah sinis Sasya. "Sejak kapan Kak Alif mulai peduli dengan kehidupanku. Aku tidak butuh." Kata Sasya sinis seraya berdiri lalu pergi.

Musa melepas headphone yang sedari tadi tak memutar playlist. Apa-apaan ini ? Tak kira mereka akan saling mengungkap tabir rahasia sebuah rasa. Elah...  Drama mereka makin panjang. Lelah pemirsa.

"Kak Alif kok nggak langsung ke intinya sih ? Berbelit-belit banget. Pake mau nemuin Asraf segala. Buat apa ? Buat Sasya berpikir kalau kakaknya begitu oteriter sama dirinya ? Kan, tadi disemprot. Nyahoo dah."

Alif menyoroti tatapan tajam. Seketika membuat Musa ciut. Ia menunduk lalu berkata. "Maaf."

Suara klakson mobil membuat mereka menoleh bersamaan. Kedua orang tua mereka tiba dari resepsi pernikahan. Sabilah turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah yang diikuti oleh Musa si bernyali cetek. Syarif ikut masuk setelah memarkirkan mobil. Ia segera mengganti pakaian. Setelah itu ikut duduk bergabung diruang keluarga bersama Alif dan Musa. "Sasya mana ? " Tanya Syarif mengedarkan pandangan mencari sosok putrinya.

"Dikamarnya pa." Celetuk Musa.

"Katanya dia mau ngomong hal penting sama papa. Tapi kok batang idungnya aja belum nongol. Panggilkan kakak mu Sa."

"Jangan pa." Cegat Alif

"Kenapa ?."

"Mood Sasya lagi jelek pa."

"Kok bisa ?."

"Noh berantem sama kak Alif." Jawab Musa ketus.

"Hah ? Serius ? Berantem ? Papa kelewatan dong." Syarif sedikit senang. Suatu kemajuan besar bila dua anak yang tak akur kini saling berantem. Setidaknya mereka mulai berinteraksi. "Kok bisa Lif ? Nggak biasanya loh kamu memancing pertengkaran."

"Maaf pa. Tadi aku mencoba melewati batas dan mencampuri urusan Sasya. Jadi dia marah."

"Urusan apa ?."

"Urusannya dengan Asraf."

"Lah kan wajar kalau seorang kakak peduli dengan urusan adiknya. Apalagi ini masalah masa depan Sasya." Seru Syarif ikut membela.

"Masalahnya, mencoba melewati batas dan mencampuri urusan Sasya tidak masuk dalam konteks peduli sebagai seorang kakak seperti yang papa pikirkan. Tapi rasa peduli sebagai seorang lelaki."

Musa menoleh tak percaya. Ia tak menyangka. Sungguh Alif masuk kategori, sosok pendiam yang sekali bicara penuh dengan kejutan.

Keduanya sama-sama membulatkan mata tak percaya. "Maksud kamu ?." Tanya Syarif memastikan.

Tomorrow With My ImamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang