02

2.6K 376 11
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto | My Master | SasuNaru | hurt, comfort, | typo, homo, yaoi EBI kacau, AU, OOC

Chapter2
.
.
.
.

Tubuhku terdorong kuat, sepertinya putra bungsu Tuan Uchiha benar-benar marah, "kauuu ...," menunjuk dengan ekpresi dingin, "jangan seenaknya Me. Nyen. Tuh. Ku ... camkan itu!" Lalu berlalu mengabaikan seruan Nyonya Uchiha, aku hanya menunduk menahan tangis kembali. Tapi bukan tangis haru, melainkan tangis pilu. Bocah yang selalu kuanggap pahlawan justru tak sudi bersentuhan.

"Sudahlah, Naru-chan. Sasuke memang seperti itu. Ayo ikut Baa-chan ke kamar barumu." Hibur Nyonya Uchiha menuntunku menuju lantai atas. Dengan langkah gontai aku menurut, kamar baruku sama luasnya dengan kamar lama yang ada di mansion Uzumaki. Hanya saja warna cat yang gelap terkesan suram. Dan itu membuatku merasa tak nyaman.

"Bagaimana, kau suka kamarmu?" Tanya Nyonya Uchiha, ia bahkan mendudukanku di sisi ranjang. Mengelus bahuku untuk menghibur.

"S—suka, terimakasih Nyo—"

"Panggil Baa-san, saja Naru-chan." Pintanya lembut memotong perkataanku. Menunduk menaham malu, aku memainkan ujung baju.

Tersenyum canggung, aku kembali mengulangi perkataanku. "Naru, suka Baa-san. Terimakasih." Ucapku tulus. Setidaknya masih ada yang menyanyangiku. Ia berpamitan karena harus menyiapkan makan malam, selepas kepergian nyonya Uchiha, aku menata pakaian dan barang-barang di almari. Kado terakhir dari Kaa-san kupeluk erat. Baju, sepatu, tas, mainan buku-buku komik dan sebagainya. Hingga tanganku menyentuh boneka rubah berwarna orange dengan ekor sembilan di hari natal, semua kenangan berputar di otakku, kasih sayang, caranya mengajari membaca,  menulis kanji memberantas buta hurufku, dan mengajari tata krama. Semua itu membuat dada semakin sesak. Meski hanya lima tahun, tapi sangat membekas di hati.  Tanpa Uzumaki Kushina aku bukanlah siapa-siapa, mungkin seumur hidup akan terus terlunta-lunta dijalanan. Mengais sisa makanan dalam tong sampah, dan tidur di sembarang tempat.

"Hiks, Kaa-san. Hiks ...." Kepalaku semakin kuat membenam di pumggung boneka meredam isak tangis. Aku tak ingin meraung, Jii-san Iruka bilang arwah Kaa-san tidak akan tenang.

"Ck, cengeng." Aku mendongak, melihat siapa yang mengejek. Dia terdiam sebentar melihat ekpresiku, lalu dengan angkuh dia berjalan mendekat menarik boneka kesayanganku, merampasnya dari dekapan.

"Ti—tidak, hiksss ..., jangan." Pintaku memohon. Tapi permohonan itu hanya di anggap angin lalu, dengan santai dia bersenandung, membawa boneka peninggalan Kaa-san ke kamarnya. Aku tidak akan membiarkan boneka itu hilang, dengan tergesah aku mengekorinya ke kamar.

"Ku mohon, Teme. Kembalikan Kyuubi." Pintaku kembali, menunduk memohon seperti yang diajarkan Kaa-san dalam pelajaran tata krama, tapi usahaku sia-sia, karena dia hanya diam tak berminat, si Teme itu duduk bersedekap dada  bersandar di sisi kepala ranjang mendengus, mengabaikan keberadaanku lebih memilih memainkan ekor boneka. Aku hanya diam menunggu apa yang akan ia katakan. Mungkin kami bisa bernegosiasi, apapun akan kulakukan asal bisa mendapatkan boneka itu kembali. Seakan bisa membaca pikiranku, akhirnya dia bersuara.

"Kau mau ini?" Tanyanya main-main, dengan nada mengejek. Aku mengangguk antusias senang akhirnya boneka rubah itu kembali, sayang dengan kasar ia menarik ekor boneka itu. Tidak hanya satu, tapi hampir semua ekornya hingga tersisa satu ekor. Tentu saja aku sudah berusaha mencegah, bahkan meloncat ke atas ranjang hingga ranjang itu menjadi trampoli dadakan, posisi tinggi badan yang tak seimbang, si Teme brengsek itu pandai berkelit atau aku yang tak tega menyakitinya hingga kyuubi harus kehilangan kedelapan ekornya.

Tersenyum puas setelah menyiksa kyuubi, dengan santai dia melempar boneka ke wajahku, lalu mengusir secara kasar. "Pergi sana, bocah kampung!" Ia bahkan dengan tega mendorongku, hingga aku terjatuh terjengkang, bokong mendarat lebih dulu, lalu badan dan kemudian kepala, rasanya sakit sekali tanpa sadar aku mengerang, Meski aku mengaduh kesakitan dia bahkan tak peduli. Mengabaikan rasa sakit disekujur tubuh aku bangkit, menatap nanar boneka pemberian Kaa-san yang tak lagi utuh.

Dengan sedih, aku memungut kyuubi dan ekornya yang tercerai berai. Saat sampai di depan pintu, mataku memilih melihat ekpresinya. Mungkin dengan merekam ekpresi bahagianya karena telah mengrusak mainanku, aku akan mudah membencinya. Tapi, yang kudapat bukannya senang, melainkan tatapan sedih, dingin dan penuh permusuhan. Apa aku berbuat salah padanya?

Sebegitu marahkah dia karena kupeluk?

Banyak pertanyaan muncul di otakku, tapi tak satupun terjawab. Langkahku terhenti, saat netraku menatap ujung sepatu berwarna hitam, perlahan kepalaku mendongak meski masih dengan sesegukan menahan tangis, kakak Sasuke bersandar di pintu kamarnya, mengasihaniku. "Ini baru awal, Naruto. Dia bahkan bisa kejam lagi! Selamat menikmati proses hukumanmu." Ujarnya dingin lalu membuka pintu kamar dan masuk ke dalam.

Kenapa Sasuke ingin menghukumku?

Apa salahku?

Sesampai di kamar aku kembali terisak, menyimpan kyuubi ke dalam lemari. Mungkin aku akan meminta jarum dan benang berwarna orange untuk memperbaiki ekor kyuubi. "Maafkan aku Kyuu ...." Lirihku penuh penyesalan. Meski dengan perasaan sedih aku kembali melanjutkan menata barang-barang, aku tak ingin merepotkan Baa-san  bila dia tahu aku kesulitan menatanya, setelah semua tertata rapi aku hendak mengganti baju dengan piyama tidur, Baa-san datang mengunjungiku, bertanya apakah aku perlu bantuan menata barang karena sekarang sudah jam makan malam, tapi karena aku telah selesai ia mengajakku turun untuk makan malam.

Semua keluarga sudah berkumpul, rupanya mereka menungguku. "Ck, dasar manja. Mau makan saja harus di jemput." Sindir Sasuke, aku semakin tak enak hati. Belum ada duapuluh empat jam, berada di kediaman Uchiha aku sudah tidak betah. Lebih baik aku tinggal bersama Jii-san Iruka dari pada tinggal serumah dengan orang yang memusuhiku.

Mungkin Tuan Uchiha menyadari kalau aku tak merasa tak nyaman, jadi dia menegur putra bungsunya.

"Sasuke! Jaga etikamu." Tegur Tuan Uchiha, "sopanlah pada tamu. Dan anggap Naruto adikmu, karena mulai sekarang dia bagian dari keluarga ini." Sasuke hanya mendengus, membuang mukanya. Atmosfir di ruang makan terasa mencekam, seperti medan perang. Lebih buruk dari suasana tadi pagi saat para renternir itu menagih utang Kaa-san. "Nah, Naruto. Duduklah di dekat Sasuke."

Nyaliku semakin ciut karena harus duduk di kursi samping Sasuke, kenapa harus disampingnya, sungguh aku tak pernah merasa was-was seperti ini, meski aku memakan makanan basi atau bermalam di emperan. Aku tak pernah merasa takut! Tapi sekarang? Kepalaku semakin menunduk ketika mata onyx Sasuke menatapku penuh benci. "Naru-chan, Ayo ... di makan, kau suka lauk apa?" Pertanyaan Baa-san menyadarkanku dari ketakutan.

"Ra–ramen." Ujarku gugup, semua orang terdiam. Ramen bukan lauk tapi mie instans, dan Kaa-san tak suka aku makan ramen itu meski terkadang ia kalah dengan tatapan memelasku. Mengingat Kaa-san, lagi-lagi aku terpuruh kado pemberiannya sudah rusak.

"Sayang sekali, kau makan saja lauk yang ada. Besok Baa-san akan membuatkan ramen untukmu." Aku mengangguk tak enak, mulutku yang tak bisa di jaga. Sasuke dan kakaknya melayangkan tatapan sebal, kembali mengintimidasiku.

Kami makan dalam keheningan, hanya terdengar denting sumpit beradu piring. Sepertinya keluarga Uchiha menganut paham di larang bicara saat makan. Setelah selesai makan, barulah Tuan Uchiha bicara. "Naruto, kau bersekolah di mana?" Tanyanya santai, aku terdiam cukup lama. Kaa-san tak memasukanku ke sekolah umum, karena dia takut aku di culik seperti putrinya dulu maka dia bersikap sangat protektif. Menggeleng lemah, menjawab pertanyaan Tuan Uchiha.

"Kenapa?" Tanyanya heran, begitu pula dengan Baa-san dan kedua anak mereka penasaran kenapa Kaa-san tak menyekolahkanku.

"Kaa-san bilang, ia takut aku di culik seperti putrinya yang baru lahir." Jawabku lirih.

"Apa kau home schooling?" Baa-san melanjutkan pertanyaan suaminya. Aku  mengangguk semangat, sensai yang datang pernah mengucapkan bahasa asing itu, makanya aku akan ikut ujian meski tetap berada di rumah. Tapi otakku yang sedikit kapasitasnya lupa nama istilah itu.

"Kurasa, Naruto bisa bersekolah bersama Sasuke. Bukankah sekarang masih sempat mendaftar untuk murid baru?" Ujar Baa-san senang, berbeda dengan Baa-san aku dan Sasuke saling menatap. Sasuke menyeringai senang, bisa kupastikan nasibku di sekolah akan buruk bila bersamanya.

"Hmm, aku di sekolah biasa saja Baa-san." Tolakku halus, dalam hati berharap Kami-sama mengabulkan doaku, agar aku terhindar dari kejahatan mahluk tampan berhati iblis seperti Sasuke.

"Kita coba saja dulu, kalau sudah penuh maka dengan terpaksa kita menyekolahkan Naruto ke sekolah asrama." Putus Tuan Uchiha.

.
.
.
.

***** B E R S A M B U N G *****

My MasterWhere stories live. Discover now