01

3.9K 417 15
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto | SasuNaru | My Master | Romance | Hurt, Comfort, Slave | Typo, Homo, Yaoi, EBI kacau.

Chapter1
.
.
.
.
.

Namaku Uzumaki Naruto, ya itu marga yang kudapat dari ibu angkatku. Dulu namaku hanya Naruto, itupun julukan dari orang-orang yang tahu bila aku sangat suka bakso ikan yang sering ada di ramen, aku hanya seorang bocah yang beruntung menurut pandangan orang, tapi kenyataannya nasibku tak seberuntung sangkaan orang di luar sana. Dulu aku hanya seorang bocah miskin yang hidup serba kekurangan, untuk makanpun harus menerima hibahan atau memungut makanan yang masih layak di tong sampah. Jika malam tiba aku akan tidur di emperan atau gedung-gedung tak layak pakai. Di manapun asal aman dan terlindung dari dinginnya cuaca.

Hingga suatu hari, aku salah memasuki gang sempit. Di sana mereka menyeretku ke tempat sindikat penjualan anak, organ dalam dan prostitusi. Melawan! Tentu saja aku melawan. Tapi kekuatan bocah sepuluh tahun tak akan pernah bisa mengalahkan lima orang dewasa. Setidaknya di sana aku mendapat tempat hanyat dan makanan yang layak.

Itupun, hanya seminggu. Malam itu aku di mandikan dan di pakai pakaian minim, ya kata penjaga yang bertugas memberi makan saatnya aku di lelang. Dan ada seseorang yang rela membeli mahal diriku, itu sebabnya hanya aku yang menenakan kemeja putih tipis. Berbeda dengan beberapa bocah yang bernasib sama denganku mereka terlihat sedang mabuk dan bertelanjang bulat. Lalu suasana pelelangan terdengar, mereka menawari kami layaknya kami sebuah barang, saling menaikan harga, bersaing dengan harga fantastik agar bisa memiliki kami. Ada yang menggerutu saat tidak berhasil, dan yang berhasil tersenyum pongah.

Kupikir wanita cantik yang rela mengeluarkan uang untuk menebusku, adalah seorang wanita fedophil seperti orang-orang yang menawar tadi. Tapi nyatanya dia justru memberikan mantel orange untuk menutupi tubuhku. Bahkan mendelik kesal pada para pria hidung belang yang menatapku lapar. Di dalam mobil, ia baru memperkenalkan diri, namanya Uzumaki Kushina, seorang janda tapi tak memiliki anak. Dulu saat ia masih bersuami, ia sempat memiliki seorang putri. Sayang sebuah tragedi bayinya di culik, dan suami tercinta justru merenggang nyawa demi menyelamatkan bayi mereka. Setelah bercerita, ia memelukku begitu erat, bergumam nama Minato dan Naruko. Dadaku berdesir saat merasakan pelukan hangat Nyonya Uzumaki, inikah rasanya di peluk oleh seorang ibu?

"Selamat datang di rumah barumu, Nak." Ucapnya, mengenggam tangan kiriku, saat menginjakan kaki di kediaman  Nyonya Uzumaki, semua luar biasa, rumahnya benar-benar mewah. Perabotan mahal dan antik, bahkan ada berpuluh maid yang berjalan kesana kemari membersihkan atau menyambut nyonya besar mereka. Sepertinya mereka akan mengadakan pesta besar untuk menyambut kedatangan kami, dan ia membeliku karena aku sangat mirip dengan mendiang suami dan putrinya,  yang kuingat saat percakapan kami di dalam mobil. Netra biru dan rambut pirang, kulit tan benar-benar duplikat mereka. Ia bahkan memintaku memanggilnya Kaa-san. Tentu saja aku senang, selama ini aku sangat mendamba kasih sayang seorang ibu. Hari-hari yang kulalui terasa menyenangkan, mendapat pakaian mahal, mainan dan pendidikan. Merayakan ulang tahun yang sebenarnya bukan tanggal lahirku, merayakan natal penuh suka cita – saling bertukar kado, menonton festival, dan pergi piknik.

Namun, takdir kembali mempermainkanku. Melempar sebuah kenyataan pahit, menyadarkanku dari mimpi indah. Atau, memang aku tak pernah ditakdirkan merasakan kebahagiaan. Kaa-san yang sangat menyanyangiku meninggal karena sebuah kecelakaan. Mirisnya ia mewariskan sejumlah utang yang yang tak sanggup kubayar. Semua fasilitas yang kudapat di sita, para maid bahkan tak mendapati gaji mereka. Untunglah mereka tak menuntut, karena selama mereka bekerja dengan Kaa-san, mereka mendapatkan gaji yang besar juga terkadang mendapat tunjangan saat ada kerabat yang menikah, sakit atau saat merayakan natal.Sang kepala pelayan, sudah mengabdi sejak Kaa-san Kushina remaja, menggantikan tugas kedua orangtua yang mulai renta, dan membalas budi karena telah disekolahkan hingga mengecap bangku kuliah. Umino Iruka namanya dengan senang hati memungutku memberi tempat berteduh. Ia juga menyanyangiku. Kami terpaksa memakamkan Kaa-san dengan sederhana, karena masalah administrasi. Uang asuransipun tak cukup melunasi utang yang menumpuk.

Dua minggu setelah pemakaman, seorang pengaca datang ke kediaman Umino. Mengatakan bila aku harus melunasi utang Kaa-san Kushina. Karena secara hukum aku adalah putra tunggalnya, ia datang bersama beberapa orang yang diutangi Kaa-san. Bagaimana aku bisa melunasi utang semua utang? Aku tak tahu apa-apa, yang ku tahu bila Jii-san Iruka sampai berdebat dengan mereka, meminta tangguhan waktu atau sampai perusahaan milik Kaa-san stabil. Sayangnya kenyataan kembali menampar kami, bila perusahaan bangkrut dan tak bisa diselamatkan lagi. Bahkan meski di jualpun, tak akan ada yang mau membeli. Seorang pria yang sejak tadi diam dan terus memperhatikanku, akhirnya ikut bicara. Ia bersedia menganggap utang Kaa-san lunas, bahkan akan membantu melunasi utang mereka. Tapi dengan syarat aku harus ikut dirinya. Tapi, Jii-san Iruka tak sudi menyerahkanku ke kandang harimau — begitulah katanya. Mereka kembali berdebat sampai kepalaku sakit.

Lalu datang seorang pria dewasa, semua orang menunduk hormat. Sebagai seorang sahabat dari kedua orangtua angkatku, ia lah yang akan melunasi semua utang dan juga membantu menjaga perusahaan hingga stabil dan aku siap memimpin. Semua orang terdiam tak menyela, masalah utang mereka telah terselesaikan jadi tak perlu lagi berdebat dan berkelit. Berbeda dengan pria itu, dia masih keukeh agar aku yang melunasi utangnya. Dengan kekuasaan Uchiha-sama dan sedikit ancaman akhirnya dia menurut dan bersedia utangnya dilunasi oleh pihak Uchiha. Juga untuk keamanan aku harus tinggal di kediamannya. Jii-san Iruka bilang Uchiha-sama orang yang baik, meski bersikap acuh, angkuh dan dingin. Tapi tetap saja aku takut.

Berbeda dengan mansion Uzumaki yang bergaya modern, mansion Uchiha justru bergaya tradisional. Seluruh bangunan bahkan lantai dari kayu khusus, dan di rawat dengan cara khusus pula. Seorang wanita cantik menyambut kedatangan kami dengan senyum hangat. Ia bahkan memelukku, meminta agar aku tabah menjalani nasib, dan memintaku menganggap rumah sendiri. Jadi aku benas melakukan apapun selama tidak merugikan orang lain. Berbeda dengan Nyonya Uchiha yang yang hangat dan ramah, Tuan Uchiha justru hanya diam, dan akan bergumam tak jelas. Itulah sebabnya selama di perjalanan  tak ada pembicaraan apapun. Kupikir akan mendapatkan kasih sayang dari keluarga Uchiha. Tapi, tidak semua Uchiha menyanyangiku. Saat Nyonya Uchiha memperkenalkan kedua putra penerus keluarga Uchiha, saat itu aku sadar bila mereka diam bukan karena mendengar perkataan ibu mereka, tapi justru menatapku dengan aura permusuhan, tak suka dengan keberadaanku di kediaman Uchiha. Apalagi bocah yang sebaya dengan diriku jelas-jelas mengibarkan bendera perang. "Darimana Tou-sama, memungut bocah kampungan ini?" Tunjuknya tepat ke arah wajahku.

"Temeee ....!" Balasku kesal, aku memang bocah kampung tapi tidak begitu juga menghinaku. Tatapannya seakan hendak menguliti, meremahkan dan merendahkan.

"Dobe, bocah kampungan yang suka makan di tong sampah juga memungut jaket bekas!" Sua orang terdiam, termasuk diriku. Bagaimana dia tahu jika aku dulu sering mencari makan di tong sampah? Kapan aku memungut jaket bekas?

"K—kauuu ....!" Aku tak mampu melanjutkan ucapanku, langsung menerjangnya, memeluk dengan erat, karena aku ingat dia bocah yang membeli banyak roti lalu membuangnya ke tong sampah dan juga jaket biru yang dulu selalu kupakai. Dialah pahlawan yang menolongku dari kelaparan dan makan makanan layak selama seminggu. Sebelum akhirnya aku di culik oleh para preman.

"Lepaskan aku idiot, arghhh ... ingusmu mengenai baju mahalku." Aku tak peduli di marah, karena aku senang— tidak, aku bahagia. Masih kuingat dia memang menatapku dingin, lalu tiba-tiba masuk ke toko roti dan membeli sekantong roti. Sengaja membuangnya di dekat tong sampah yang kusandari, begitupun dengan jaket mahalnya.

.
.
.
.
.

***** BERSAMBUNG *****

My MasterWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu