0.3 : Drama Pandu

Mulai dari awal
                                    

Biru mengangguk. "Wa'alaikumsalam,"

Pandu langsung berlari sekuat tenaga, secepat kilat menuju mulut gang. Biru mengamati anak lelaki dengan tas selempang hitam itu berlari. Pandangannya mengiba. Bila melihat anak lelaki itu ia merasa sedih mengingat Ayahnya telah tiada semenjak setahun lalu. Pandu memang anak yatim yang hanya tinggal dengan Ibu dan dua adik perempuan kembarnya yang masih TK. Biru berdecak saat mengingat wajah adik satu-satunya itu. Baik, kalau Banyu pulang sekolah nanti dia akan memberikan pelajaran khusus!

Sabar yaa, Pandu, Kak Biru akan ada dipihakmu! Sesaat dia menghela napasnya panjang, lalu berjalan kembali ke dalam.

***

Pandu berdecak sebal melihat angkutan kota yang selalu penuh setiap melintasinya. Dia melirik jam di pergelangan tangannya lagi. Jam tujuh kurang lima menit artinya dua puluh menit lagi bel masuk kelas berbunyi artinya kalau dia tak bisa sampai pukul 7.15 ia akan telat dan dapat hukuman!

Sekali lagi dia berdecak. Kali ini utuk merutuki perbuatannya kemarin. Ya, kemarin. Tape recorder, bakpau, Koh A'ang, toak, bakso, Jo dan Banyu. Semuanya menjadi satu hubungan yang sangat rumit kalau terus dipikirkan.

Tidak salah lagi. Penyebab ia ditinggalkan Jo dan Banyu hari ini pasti karena tape recorder itu!

"Aish. Banyu aja nih yang sensian!" rutuknya pada diri sendiri.

Lalu, Pandu menggaruk kepalanya kasar. Dia kembali berdecak. "Salah gue emang! Salah gue!" Setelah berpikir dua kali nyatanya memang dialah yang bersalah. "Harusnya gue nggak nuker tuh tape recorder. Padahal gue tahu itu barang berharganya Banyu!" dia menghela napas berat.

Pandu goblok! Makinya dalam hati. Ia lupa kalau sekarang ini ia sedang berada di muka umum. Lihat saja tatapan-tatapan aneh yang sedang menatapnya karena sedari tadi ia berbicara sendiri. Pandu nyengir dengan cengiran konyol khasnya, lalu sedikit mengangguk sambil menekan dalam-dalam rasa malu di dada.

Demi menahan rasa malunya yang sudah kadung terjadi, Pandu langsung memasang topi sekolahnya yang selalu ia bawa setiap hari. Wajahnya sengaja ditundukkan membuat matanya hanya sanggup menjangkau sepasang sepatu kets hitam usangnya.

Namun tiba-tiba beberapa suara yang sangat dikenalnya terdengar tak jauh dari tempatnya berdiri. Kepalanya memutar otomatis mengedarkan arah pandangnya. Dan begitu sosok-sosok itu tertangkap oleh lensa matanya, ia tersenyum lebar. Ide cemerlangnya kembali berbuah dalam otak. Lewat geng cewek-cewek itu seenggaknya gue nggak telat nyampe sekolah!

Pandu berlari dengan langkah besarnya sekuat tenaga. Mengejar laju empat sepeda di depannya.

"WOI, STOP! WOI!!!" teriaknya keras-keras tanpa peduli kalau orang lewat di sampingnya terganggu. Namun nahas, suaranya itu tak berhasil membuat empat anak perempuan yang sedang mengendarai sepeda mereka berhenti.

Dengan tangan yang direntangkan lebar-lebar, Pandu memblokade jalan mereka sehingga mau tak mau mereka pun berhenti.

"Pandu... lo ngapain, hah? Minggir!!" Dara yang berada di depan Pandu persis langsung meneriakinya dengan tatapan garang khasnya.

"Nebeng dong?!" pinta Pandu langsung tanpa menggubris ucapan Dara barusan. "Gue daritadi nungguin angkot nggak ada yang kosong nih," ujarnya dengan muka yang mulai dibuat memelas. Sudah dibilang kan, Tiga Serangkai itu jago acting?

"Yaiyalah penuh! Supirnya aja demo semua, paling cuman beberapa aja yang narik. Makanya hari ini kita-kita naik sepeda!" celetuk Opi yang berada di sebelah Dara.

"Lagian, kok tumben lo nggak bareng sohib lo itu?" kini ganti Bia yang bertanya.

"Gue kesiangan." Itu cuman alasan.

Memories from 2003Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang