0.3 : Drama Pandu

132 21 4
                                    

Pandu meminum susunya dalam gelas. Matanya tak henti-hentinya menatap pada jendela kaca rumah yang sedang terbuka. Lalu beralih pada jam di dinding, tepat di atasnya. Kemudian alisnya berkerut dalam.

Saat ini sudah pukul setengah tujuh bahkan sudah lewat sepuluh menit. Tak biasanya kedua sobat karibnya itu terlambat. Padahal biasanya mereka selalu menyamperinya tepat pukul setengah tujuh, tentu saja lengkap dengan suara seru motor. Ya, Jo dan Banyu membawa motornya masing-masing sedangkan Pandu mengkhususkan dirinya untuk nebeng. Kalau tidak pada Jo, ya, Banyu. Begitu saja terus, sampai nanti Pandu punya motor sendiri juga.

Pandu berdecak jengah. Ia putuskan untuk menyudahi sarapannya.

"Bu, Pandu berangkat!" serunya pada Ibu yang sedang berada di dapur. Berkutat dengan lauk-pauk yang telah disusun ke dalam tiga buah kotak makan. Satu berwarna biru dan dua berwarna pink dengan gambar yang berbeda. Wajah matahari dan awan yang sedang tersenyum cerah.

"Ya, ya, tunggu sebentar!" teriak Ibu Pandu, Mimi, yang langsung bergegas menutup satu kotak makan yang berwarna biru tua. Lalu membawanya pada Pandu yang masih menggunakan sepatu di teras depan.

"Ini bekalnya. Dimakan, dihabisin jangan disisain!" titah Ibu Pandu tak terbantahkan. Pandu hanya mengangguk.

"Mana Banyu sama Jo?" tanya Ibu Pandu sesaat setelah menilik jalan depan rumah yang sepi.

"Nunggu di rumahnya. Aku disuruh nyamper," jawabnya cuek. Padahal aslinya dia tak tahu kalau dua anak itu masih di rumah atau malah sudah pergi ke sekolah.

Ibu hanya mengangguk.

Setelah meletakkan bekalnya di dalam tas, dia pamit dan mencium punggung tangan Ibunya. "Pandu berangkat dulu, Bu. Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumsalam... hati-hati!" Ibu tersenyum sambil terus melambaikan tangannya pada putra sulungnya yang sedang berjalan ke arah pagar.

Pandu yang melihat lambaian tangan dan senyuman tulus itu saat ketika ia berusaha menutup pagar otomastis ikut tersenyum dan melambaikan tangannya.

"Pandu berangkat!"

"Ya!"

Pandu lantas berlari menuju depan gang. Dua rumah dari rumahnya adalah rumah Banyu, maka ia akan nyamper Banyu lebih dulu.

"Banyu, Banyu... Assalamu'alaikum! Banyu..." tiada hentinya Pandu memanggil dari depan pagar. Sesaat dia tilik garasi rumah itu. Alisnya langsung bertaut begitu menyadari bahwa motor yang biasa digunakan Banyu tidak ada di sana.

Sosok perempuan muda berambut lurus panjang sepunggung tiba-tiba keluar masih lengkap dengan piyama pink fantanya yang bergambar snoppy.

Biru, kakak Banyu yang hanya berselisih umur dua tahun itu, berdiri dengan alis mata ditarik ke atas. "Pandu?"

Pandu menyengir. "Iya, Kak... Banyunya ada Kak?"

Tiba-tiba Biru mengerutkan alis matanya. Menatap bingung Pandu. "Wahhh, ditinggalin Banyu sama Jo yaa? Mereka udah berangkat dari tadi loh,"

Pandu terperangah. Mendadak hatinya terasa sedikit ngilu. "Serius, Kak?"

Biru mengangguk.

Pandu terdiam. Rasanya seperti kehilangan separuh jiwa. Oke, mungkin kedengarannya agak lebay. Tapi saat tak dipedulikan teman sendiri yang sudah akrab sedari kecil itu rasanya benar-benar menyakitkan.

"Kenapa? Kalian lagi berantem yaa?" tanya Biru yang tahu-tahu sudah berada di dekat pagar, di depan Pandu persis.

"Ya, gitu deh, Kak." Pandu nyengir. "Kalau gitu Pandu pergi sekolah dulu yaa, Kak. Assalamu'alaikum!"

Memories from 2003Where stories live. Discover now