1.2. Gadis Biasa-Biasa Saja

8.6K 1.6K 89
                                    

Lo di mana, World?

Muti memutar bola matanya membaca pesan yang baru saja diterimanya itu. Damar selalu memanggilnya 'World' kalau ada maunya! Pasti cowok itu mau kabur dari kencannya dengan Acha.

Gosah ngerayu gue! Lo mau kabur kan??

Haha, lo emang paling mengerti gue, My World. Gue bete sumpah. Acha nyerocos mulu kayak petasan cabe.

Nikmatilah malammu, Anak Muda!

Muti terkekeh dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Dia bisa saja memberitahu Damar di mana dirinya sekarang karena toh mall yang dia kunjungi tidak jauh dari tempat mereka nonton. Akan tetapi, dia tidak ingin merusak rencana malam Sabtu Acha.

Acha sudah sejak lama naksir Damar. Sejak mereka masih awal masuk SMU Persada Bangsa. Muti ingat sekali bagaimana Acha begitu terpesona saat Damar memperlihatkan kelihaiannya bermain basket ketika angkatan mereka bertanding melawan para senior. Dan memang semua gadis terpesona melihatnya. Aura Damar selalu menghipnotis para gadis-gadis. Yah, kecuali Muti tentu saja.

"Udah dapet berapa, Dek?" Muti melirik kantong belanja Langit yang tampak berat. Alisnya berkerut heran melihat banyaknya komik yang dibeli Langit. "Dek, uang kamu emang cukup?" Bisiknya di telinga Langit.

"Kan ada Kakak," jawab Langit dengan santai.

Mampus! Muti menepuk jidatnya dan meraih dompet di tasnya. Uang jajannya satu minggu tinggal tersisa enam puluh ribu rupiah. Tadi, Ayahnya memberi ongkos taksi seratus ribu yang sudah berkurang lima puluh ribu untuk berangkat, jadi otomatis tinggal lima puluh ribu lagi untuk pulang. Ibunya memberi tambahan uang jajan lima puluh ribu, jadi uang Muti sekarang hanya seratus sepuluh ribu. Oh, ada tiga puluh lagi, 'uang rahasia' Muti di sela-sela dompetnya.

"Adek bawa uang berapa?" Muti berbisik, takut ada orang lain mendengarnya.

Langit itu sama 'gilanya' dengan ibunya jika urusan buku dan komik. Buku apa saja bisa dimasukkan kantong belanja jika mereka sudah memutuskan untuk tertarik membelinya. Makanya, ia tidak pernah mau pergi belanja buku dengan mereka berdua di waktu yang bersamaan. Bisa gila Muti jika harus menunggu dua orang itu berbelanja buku.

"Tiga ratus ribu."

"Kok uang Adek banyak?"

Sebagai anak bungsu, tentu saja Langit mendapat uang saku yang lebih sedikit dari Muti. Apalagi sekolah Langit dekat dengan rumah. Anak itu hanya naik sepeda yang jelas-jelas tidak butuh ongkos. Terlebih, Mama sering membawakan bekal untuk Langit.

Langit tersenyum. "Langit menang lomba desain sampul komik, Kak."

Satu hobi Langit adalah menggambar. Kamarnya penuh dengan tempelan gambar-gambar tokoh komik rekaannya. Namun, Muti tidak menyangka jika adiknya itu sampai ikut lomba seperti itu.

"Traktir kakak satu novel ya?"

Langit menggeleng. "Ini aja Langit hitung udah habis tiga ratus lima puluh ribu."

Mata Muti melotot. "Gila! Cukup, Dek! Ayo, pulang sekarang!"

Astaga, ini anak bisa membabi buta kalau dibiarkan berbelanja sendiri. Mau bayar pakai apa kalau uangnya kurang.

"Satu lagi ya, Kak? Please!"

"Uang Kakak nggak cukup, Dek." Kembali Muti berbisik karena beberapa orang mulai menatap mereka.

"Tapi aku belum punya seri ini, Kak. Cuma satu nomor."

Muti mengembuskan napas kesal dan meraih komik itu untuk melihat harganya. Matanya melotot melihat harga komik itu mencapai delapan puluh ribu.

(Not) An Ugly DucklingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang