13.2 Pengakuan

4.5K 773 147
                                    

Mata Muti melebar. Ia tampak tidak percaya dengan apa yang Nero katakan. "Lo ..."

"Apa kamu tidak pernah menyadari perasaanku selama ini?"

Mungkin ini bukan tempat yang tepat untuk mengutarakan perasaannya, tetapi Nero tahu hanya ini kesempatannya. Gadis ini akan segera pergi bersama Damar dan ia harus mengatakannya sekarang. Jika memang selama ini Muti tidak menyadarinya, ia akan membuat gadis itu sadar.

"Lo bukannya suka sama Andhita?"

Nero menggeleng.

"Tapi kan dia pacar pertama lo."

Nero terkekeh dan tidak tahan untuk mencubit pipi Muti. "Pacar pertama bukan berarti akan menjadi pacar terakhir kan? Lagipula hubungan kami sudah berakhir lama. Perasaanku pada Andhita sudah hilang sejak lama."

"Tapi masa dari Andhita lo suka sama gue? Lo nggak lihat gue kayak apa?"

"Aku selalu melihatmu, Mutiara. Apa kamu benar-benar tidak menyadarinya?"

"Lo tahu bukan itu maksud gue!" Muti melotot dan memukul bahunya hingga Nero kembali terkekeh.

Menggoda Muti ternyata sangat menyenangkan. Wajah gadis itu memerah dan terlihat sangat lucu di mata Nero. Mengapa dulu ia jarang menggoda gadis ini?

"Kamu pikir cantik saja cukup untuk membuat seseorang dicintai?" tanya Nero lembut.

"Gue tadi bilang suka, bukan cinta!"

"Oke, terserah apa istilahmu, tetapi itu bukan hanya alasan."

"Karena dia pernah ninggalin lo?"

Nero mengangguk tanpa keraguan. "Rasa sakit itu masih ada sampai saat ini, Mut. Dia melakukan hal yang sama dengan Mama dan itu menyakitiku lebih dalam. Aku mungkin bisa memaafkannya, tetapi tidak bisa melupakannya."

Kesedihan berkelebat di mata Muti. Nero tahu, meskipun gadis itu sangat blak-blakkan, Muti memiliki hati yang sangat lembut.

"Harusnya lo nggak boleh menyimpan dendam."

Nero tersenyum kecil. "Aku tidak menyimpan dendam. Aku hanya tidak bisa melupakan dan mencintainya lagi seperti dulu."

Berbicara dengan Muti ternyata menyenangkan. Seharusnya ia melakukan itu sejak dulu. Dirinya memang bodoh karena menutup diri dan tidak membiarkan Muti mengenal dirinya. Seandainya ia membuka diri sejak dulu, hubungan mereka pasti akan lebih baik lagi daripada saat ini.

"Lo hanya perlu dengerin alasan dia. Kalian harus bicara biar nggak saling salah paham kayak gini."

"Kamu ngalihin pembicaraan ya? Kita tadi tidak sedang membahas Andhita."

Muti tertawa dan Nero terpana seketika. Selama ini, ia tidak pernah terlalu memperhatikan saat Muti tertawa. Oh, lebih tepatnya adalah, dia tidak pernah memperhatikannya dari dekat ketika Muti tertawa. Gadis ini tampak memukau dan jauh dari kata biasa-biasa saja.

"Kamu cantik."

Muti berhenti tertawa dan memutar bola matanya. "Lo sakit mata yak?"

"Jadi pacar aku lagi ya?" kata Nero tanpa menggubris pertanyaan Muti. Nero meraih tangan Muti untuk menggenggamnya, tetapi tangan kecil itu ditarik dengan cepat. Ia mendongak dan mendapati Damar menatapnya dengan marah.

"Jangan harap dia mau jadi pacar lo!" tukasnya sengit.

Nero berdiri dengan santai dan tersenyum menatap Damar. "Aku rasa dia berhak memutuskan sendiri. Bagaimana, Mutiara?"

Damar melotot dan berteriak. "Nggak! Dia nggak bakal jadi cewek lo! Nggak bakalan!"

***

Siapa coba yang tidak akan kesal jika gadis yang sudah lama kamu impikan untuk menjadi duniamu tiba-tiba ada yang menyatakan cinta padanya?

(Not) An Ugly Duckling (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang