Jantung

66 4 7
                                    

Sudah lima menit aku menatap cermin. Gadis kurus berambut panjang nan tipis di dalam cermin itu menatap mataku. Dalam dan jauh. Sudah seberapa jauhkah ia berhasil bertahan dalam kelemahannya?

Tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa hidupku akan bertahan hingga 18 tahun. Padahal saat itu aku sudah menerima kenyataan bahwa umurku akan terhenti begitu tubuhku dibawa masuk ke dalam ruang operasi. Aku ikhlas hidupku terhenti. Bahkan sebelum sempat aku mengerti hidup.

Namun Tuhan masih mengizinkanku memahami hidup hingga detik ini. Entahlah, aku tak tahu masih berapa lama lagi izin itu diberikan. Dan entahlah apa yang telah kupahami.

Perlahan jemariku meraba dada sebelah kiri, menyusuri bekas jahitan 10 tahun lalu. Bukti bahwa dadaku pernah dibelah. Bukti bahwa jantung yang berdetak 10 tahun terakhir ini bukanlah milikku. Jantungku sudah mati sejak dokter mengangkatnya di ruang operasi. Lantas, masihkah aku dapat dikatakan hidup setelah jantungku mati? Nyawa siapakah yang kupinjam untuk bersemayam dalam tubuhku sekarang?

Aku sudah mati. Sejak bertahun-tahun lalu. Gadis yang berada dalam cermin itu hanya dipinjami hidup oleh seseorang. Entah apa alasannya. Padahal aku bukanlah orang istimewa. Juga tak ada jaminan bahwa setelah keluar dari ruang operasi aku akan menjadi seseorang yang berarti. Mengapa mereka tak membiarkanku mati bersama jantungku saja?

Pandanganku beralih pada sebuah pigura kecil di sudut meja. Foto Bapak, Ibuk, aku, dan Yasmin yang masih dalam gendongan Ibuk. Benar. Demi merekalah jantung pinjaman ini masih berdetak. Jantung yang harus kujaga hingga izin Tuhan itu ditarik kembali. Sampai saat itulah aku harus menjaga senyum mereka. Orang-orang yang kusayangi.

Kurasa usahaku lumayan berhasil. Sudah bertahun-tahun ini aku tak lagi merasakan sakit. Terutama setelah menjalani operasi. Aku merasa terlahir kembali. Dengan jantung orang lain, tentu saja. Syukur, jantung ini menurut padaku. Tidak banyak tingkah, apalagi mengkhianati tubuhku. Betapa besarnya aku harus berterima kasih dengan orang yang rela menukar hidupnya dengan hidupku itu.

Alih alih berterima kasih, mengetahui sekedar nama malaikatku itu pun tidak. Kurasa akulah orang yang paling durhaka. Sekadar mengucap terima kasih pun tak pernah pada orang yang rela memberikan hidupnya untukku. Bagaimanalah, tak ada yang mau memberi tahu identitas pahlawan itu.

“Na?” Ibuk mendorong pintu kamarku, membuyarkan lamunan.

“Iya, Buk?”

“Belum tidur?”

“Sebentar lagi. Ada apa, Buk?” Kuikuti langkah Ibuk mendekatiku.

“Ndak ada, cuma mau lihat anak Ibuk.” Ibuk mengelus rambutku pelan.

Aku tersenyum.

“Ya sudah, Ibuk keluar, ya? Tidur, udah malam.”

Aku mengangguk, masih tersenyum. “Buk—”

“Ya?”

“Aku sayang Ibuk.”

“Ibuk juga.”

IDAMANWhere stories live. Discover now