CH. 1

4 1 0
                                    


"Jika kau merasa terluka, apa yang kau perbuat untuk meredakannya? Menangis dan meratapi nasib? Sayangnya jawaban itu terlalu sering untuk ku lakukan."

.....

Perjalanan menuju kota kelahirannya cukup memakan waktu yang lama hingga membuat Kiran merasakan kebas pada kakinya yang ditekuk saat duduk di dalam pesawat kelas ekonomi yang mana kaki jenjangnya menjadi sakit. Bukannya tidak mampu untuk sekedar membeli tiket kelas bisnis untuk perjalanan pulangnya kali ini. Hanya saja ia tidak ingin menghamburkan uang yang telah susah payah ia kumpulkan dengan bekerja part time di sebuah restaurant saat ia pulang kuliah.

Kiran menghela napas saat ia keluar dari pintu kedatangan bandara internasional minangkabau hanya Pak Kamir yang ia lihat. Sosok Pria Tua yang telah mengabdi di keluarganya semenjak ia masih kanak-kanak. Sosok yang menjadi bapak kedua baginya setelah bapak kandungnya sendiri namun sangat berjasa dalam setiap langkah kakinya.

Kiran berusaha menahan air mata kekecewaan yang keluar dan di gantikan dengan senyum tulus dan bersyukur masih ada orang yang mengingatnya walaupun itu bukanlah keluarganya sendiri. "Selamat datang kembali Non Kiran" ucap Pak Kamir begitu Kirana telah sampai di depan Pria Tua itu. Kiran mengerucutkan bibirnya dan memandang sebal pada Pak Kamir "Bapak! Sudah berapa kali Kiran bilang? Jangan panggil 'Non' Pak. Kiran aja Pak, kan bapak udah Kiran anggap bapak Kiran sendiri" Protes Kiran sembari melipat tangannya di bawah dada. Selalu ia ingatkan pada Pak Kamir yang kembali memanggilnya dengan embel-embel kata 'Nona' yang di lontarkan Pak Kamir. Ia tidak suka itu. Walau bagaimana pun atau sekaya apapun keluarganya tetap saja derajatnya sebagai manusia sama dan tidak ada keharusan baginya orang yang bekerja dengan keluarganya memanggil dirinya 'Nona' panggilan yang menurutnya sangat merepotkan.

"haha.. maaf Kiran. Bapak hanya menjalankan tugas."Kiran menghela napas pasrah. Seberapa kalipun ia mengingatkan Pak Kamir untuk tidak memanggil dirinya dengan sebutan itu, tetap saja Pak Kamir akan kembali menggunakan panggilan itu di hadapan keluarganya yang kaya itu.

"kabar bapak bagaimana?" Tanya Kiran mengalihkan dan tidak meneruskan persiteruan ucapan sebelumnya.

"bapak baik Non" jawab Pak Kamir dan lagi-lagi kata itu keluar tapi ia biarkan saja daripada menyusahakan Pak Kamir.

Hey! Ayolah. Yang kaya itu adalah keluarganya. Lebih tepat kedua orangtuanya bukannya dirinya. Ia hanyalah seorang pekerja biasa, pekerjaan yang melibatkan hobinya.

"hobi yang dibayar" begitulah yang ia lakukan. Ia berprofesi sesuai dengan hobinya dan ia juga mendapatkan bayaran dari pekerjaannya yang sangat menyenangkan itu. Meskipun beribu tangis dan penolakan yang harus ia terima setidaknya itu setimpal dengan kenyamanan yang ia peroleh di luaran sana.

"Bagaimana kabar Papa dan Ibu?" Tanya Kiran menanyakan keadaan kedua orangtuanya.

Pak Kamir membantunya menarik kopernya dan tersenyum tipis saat pertanyaan yang ia lontarkan. "kabar Tuan sama Nyonya baik-baik saja Non. Semuanya berkumpul di rumah" Kiran mengangguk-anggukan kepalanya mendengar jawaban yang di ucapkan Pak Kamir.

Kiran langsung masuk ke dalam kursi penumpang sebelah pengemudi yang berarti ia duduk di samping Pak Kamir. Pak Kamir geleng-geleng kepala melihat kelakuan Nona mudanya yang selalu seperti ini. Tidak mau duduk di belakang dan membiarkan kursi di samping pengemudi kosong. Karna menurut Kiran itu tidak bagus dan ia tidak menganggap Pak Kamir adalah sopirnya walaupun itu memang kenyataannya.

Setelah meletakkan koper dan barang bawaan Kiran ke dalam bagasi, Pak kamir melajukan mobil meninggalkan bandara menuju rumahnya. Rumah kedua orangtuanya lebih tepatnya.

KEDUAWhere stories live. Discover now