"Sial, kenapa lama sekali."

Sachiko berdiri dengan tidak tenang. Sudah setengah jam ia menunggu diluar ruangan bertuliskan 'ICU' itu. Tetapi belum ada kabar dari dalam bagaimana keadaan Ryu saat ini.

Dua orang dokter yang baru datang tampak bergegas masuk keruangan itu. Sachiko berusaha mengintip namun pintunya yang kembali menutup membuatnya jadi kesal sendiri.

"Semoga Ryu tidak sampai cacat," harapnya dalam hati.

Saat ini segala kemungkinan bisa saja terjadi kepada Ryu. Dari yang buruk sampai yang paling terburuk.

Shaciko tidak sanggup untuk membayangkannya satu per satu.

Para gerombolan preman itu sungguh sangat bodoh dan tidak berguna, pikirnya.

Kalau Ryu sampai cacat atau lumpuh gara-gara pengeroyokan salah sasaran ini, ia akan menyewa para Yakuza kelas kakap untuk mengincar dan menghajar para gerombolan preman itu.

"Awas saja, lihat saja nanti ...! Dasar para preman bodoh, badan saja yang besar tetapi otak bodoh. Dasar bodoh, bodoh, bodoh," makinya sambil duduk di bangku tunggu yang berderet dengan tidak tenang.

Sachiko benar-benar sudah tidak memedulikan orang-orang yang ada diruangan itu. Ia mencoba menenangkan diri dengan menjambak rambutnya sendiri dan menangis. Sudah terlalu banyak hal yang ia lakukan untuk mendapatkan Ryu. Sudah sejak lama ia menyukai pemuda berambut hitam dan pendiam itu.

Sudah terlalu lama ia bermimpi untuk menjadi kekasihnya.

Ia tidak pernah menganggap sikap dingin dan cuek Ryu kepadanya selama ini sebagai penolakan secara halus terhadap dirinya. Yang ia tahu dan rasakan hanyalah rasa semakin penasaran setengah mati, kagum dan cinta setiap kali mendapat respon apapun dari Ryu.

"Ah ..." Sachiko mendesah.

Ia merasa lelah. Amarah dan kekesalannya yang terus-terusan meledak beberapa hari ini membuat kepalanya menjadi pusing. Ini semua gara-gara bocah posesif dan kedua pria menyebalkan itu. Yoshi yang berkali-kali menggagalkan rencananya dan Kenzie yang mempermainkannya seperti orang bodoh.

Ingat wajah ketiga orang itu Shaciko jadi kembali membanting-banting tasnya ke lantai. Membuat beberapa orang yang ada diruangan itu memandang heran dan agak ketakutan. Ada juga orang-orang yang segera menghampiri dan berusaha menenangkan.

***

Kaki Yuri terasa tidak menapak dijalan. Bangunan bertingkat dengan cat putih yang berdiri tegak dihadapannya seolah maju dan bergerak-gerak hendak menelannya bulat-bulat.

Keringat dingin mulai menetes dikening dan tangannya. Wajahnya memucat. Jantungnya berdebar kencang, tubuhnya mulai lemas dan gemetar.

Kobe menatap kakak iparnya itu dengan khawatir sekaligus iba. Inilah yang ia takutkan.

Tidak ada pilihan lain, ide-ide jalan keluar yang ditunggunya tidak juga datang. Sudah tidak ada waktu lagi untuk berpikir. Ia sendiri sudah sangat tidak tenang. Ia ingin segera mengetahui dan melihat keadaan Ryu.

"Ryu ... Ada di ... Dalam," Kobe memberitahu dengan hati-hati.

Mata Yuri yang semula menatap gedung rumah sakit dihadapannya kini beralih pada Kobe.

"Aku tidak bohong, Ryu ada di dalam sana," kata Kobe menjawab tatapan Yuri yang tampak sangat menuntut.

Seketika tenaga Yuri seakan menguap tanpa sisa, "ti-tidak mungkin," matanya mulai berkaca-kaca.

Tubuhnya semakin gemetar. Kobe mulai bingung dan merasa bersalah melihatnya.

"Aku benar-benar tidak bohong. Ayo kita masuk," ajak Kobe hati-hati dan mulai menarik lagi tangan Yuri yang sudah terasa sangat dingin digenggaman telapak tangannya.

Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, Yuri mulai berhenti.

Kobe menoleh dan mendapati wajah Yuri yang semakin memucat. Mata coklatnya yang tampak gelisah dan ketakutan tidak lepas dari pintu masuk rumah sakit yang berjarak hanya tinggal lima meter lagi dari tempat mereka berdiri.

"Kakak ipar ..."

"A-a-aku tidak mau."

"Kakak ..."

"A-aku tidak mau masuk!" teriak Yuri histeris.

"Kakak, dengarkan aku du ..."

"Tidak ...! Aku tidak mau," Yuri mulai menutupi telinganya dengan tangan. "A-aku tidak mau masuk."

"Kakak, kita harus masuk. Ryu pasti sangat membutuhkan kakak. Sekarang dia pasti ..."

"DIAM!" bentak Yuri tanpa sadar, "a-aku tidak percaya, ini tidak mungkin. Aku tidak mau masuk Kobe, aku tidak mau masuk ...!"

"Kita harus masuk kakak," Kobe berusaha bersabar.

Yuri semakin merapatkan tangannya ketelinga. Tubuhnya semakin gemetar menahan rasa takut yang semakin mempengaruhi alam bawah sadarnya.

"Kakak, sekarang Ryu tidak sadarkan diri ..."

Yuri menggeleng cepat.

"Bisa dibilang ia sedang koma dan sangat kritis ..."

"TIDAK!" teriak Yuri histeris. Tubuhnya lemas sehingga terduduk ditanah sekarang. Ia mulai menangis, sambil menutupi wajahnya. Kobe tidak menyerah.

"Maka dari itu kita harus masuk untuk ...."

"Tidak! A-aku tidak mau."

"Kakak ipar ...."

"A-a-aku tidak mau, aku tidak mau. AKU TIDAK MAU KESANA!"

Kobe terdiam mendengar bentakan itu, napasnya naik turun melihat keadaan Yuri yang duduk meringkuk memeluk lututnya seolah bangunan tidak bernyawa itu adalah monster pemakan manusia yang siap memakannya. Wajah Yuri dibenamkan dalam-dalam di antara kedua lututnya. Tangisnya kian tertahan menyayat hati.

"KAKAK IPAR!" bentak Kobe, emosinya sudah lepas. "Terserah, aku tidak akan memaksamu lagi. Ryu sedang sekarat di ruang UGD. Tapi kenapa?! Tega-teganya kau tidak mau peduli kepadanya. Kenapa kau tidak mau segera menemuinya?! Hah, kenapa?! Dia itu suamimu. Kau tahu, dia sangat mencintaimu tapi kenapa kau tega seperti ini kepadanya?!"

Yuri menjawab sambil terisak, "a-aku peduli kepadanya Kobe, aku juga sangat menyayanginya."

"AKU TIDAK PERCAYA!" bentak Kobe lagi.

"Kau tidak mengerti Kobe."

"Kau yang tidak mengerti ...! Aku benci padamu Yuri, aku benci ...! Aku menyesal karena telah memercayakan kebahagiaan kakak sepupuku itu kepadamu. Aku menyesal ...! Kau mendengarku Yuri?! Aku sangat menyesal ...!"

Kobe berlari masuk kedalam rumah sakit meninggalkan Yuri sendirian.

Salju mulai turun, Yuri menatap punggung Kobe dengan nanar. Hatinya terasa sangat sakit. Bukan karena bentakan Kobe yang keras tetapi karena kata-katanya itu.

"Kau tidak mengerti Kobe. Kau tidak mengerti ..." lirih Yuri sedih sambil menangis kembali.

Kobe tidak mengerti, pikirnya. Siapa yang tidak peduli pada Ryu? Siapa yang tidak ingin cepat-cepat melihat keadaannya? Siapa yang tidak menyayangi Ryu? Tanya Yuri kesal didalam hatinya.

Dadanya terasa sesak bagai terhimpit. Kata-kata Kobe yang terus terngiang-ngiang ditelinganya membuat hatinya semakin sakit.

Perlahan Yuri memberanikan diri mengangkat kepalanya. Gedung putih bertingkat itu masih saja terlihat menakutkan dimatanya. Dengan hanya melihatnya dari sini Yuri seakan sudah dapat mencium bau-bau anyir darah. Bayangan tangan dan kaki yang terpotong belepotan darah memenuhi pikirannya. Seketika tubuhnya menjadi lemas, dadanya semakin sesak. Ia merasa sulit bernapas. Tangannya meremas ujung jaketnya kuat-kuat.

Samar-samar ia mendengar suara Ryu memanggilnya.

Air matanya mengalir semakin deras. Matanya bergerak dengan gelisah.

Bayangan buruk saat masa kecilnya mulai berkelebat silih berganti.

Early weddingWhere stories live. Discover now