(7) Markas Rahasia, 9 Tahun Lalu

70 6 0
                                    

BAGIAN 7

Markas Rahasia, 9 Tahun Lalu


Salah seorang dermawan pernah menyumbang ke Panti Asuhan Kasih Bunda berupa beberapa jenis mainan, sepatu roda untuk anak-anak perempuan, dan 4 buah sepeda yang diperuntukkan pada 4 orang anak laki-laki yang baru memasuki dunia sekolah dasar.

Salah satunya milik Adit. Ia mendapatkan sepeda berwarna oranye yang menurut bunda,bisa Adit gunakan untuk beberapa tahun ke depan karena sepeda itu tidak kecil. Semenjak memiliki sepeda, Adit selalu berangkat dan pulang sekolah bersama Alya. Mereka bergiliran setiap hari untuk mengendara, dan menjadi penumpang. Untuk hari ini, sepeda itu dikayuh oleh Alya, sementara di belakangnya, Adit berdiri dan memegang kedua bahu Alya agar tidak jatuh. Begitulah caranya jadi penumpang, karena sepeda ini tidak dilengkapi tempat duduk penumpang.

“Adit, abis makan siang, kita ke markas rahasia, yuk?!” Alya sedikit berteriak karena suaranya terbawa angin. Poni yang menutupi dahi gadis itu bergoyang-goyang tertiup angina.

“Kalau kita bisa lolos dari jam tidur siang,”

“Itumah gampang!” Alya menjentikkan jari sehingga sepeda itu kehilangan keseimbangan arena hanya dikendalikan oleh sebelah tangannya.

“Al! hati-hati dong!” Adit berteriak protes karena nyaris saja mereka menabrak pohon dan jatuh, kalau Alya tidak segera mengendalikan sepeda itu untuk berjalan lurus lagi.

“Hehe, maap.” Gadis itu cengar-cengir hingga giginya kering terkena angin.

Selesai makan siang, anak-anak yang sudah ada di panti biasanya diarahkan untuk tidur siang selama satu atau dua jam, sebelum melakukan aktivitas yang lain lagi. Alya sudah ada di atas karpet dengan bantal besar yang ia bagi bersama Milly. Anak yang usianya satu tahun di bawah Alya itu, sudah memejamkan mata walau sebenarnya masih belum menyeberang kea lam mimpi.

Alya membangunkan tubuhnya untuk duduk, ia dapat melihat beberapa anak yang sudah terlelap da nada juga yang masih saling berbagi cerita dengan orang-orang di sampingnya. Alya melirik ke arah lorong kamar, di sana sudah ada Adit yang memberinya kode untuk segera bergerak. Alya berdiri, berjalan mendekati Adit,

“Dapur aman.” Adit memberi informasi sambil melangkah lebih dulu. Alya mengikuti di belakangnya.

Keduanya mengembus napas lega begitu berhasil kabur lewat pintu belakang. Dan sekarang mereka sudah menyusuri jalan kecil di antara rerumputan liar yang cukup tinggi namun nampak indah, menuju markas rahasia.

“Aku gak sabar pengen ketemu Moni!” Karena hari ini masih hari gilirannya, maka Alya tetap yang jadi pengayuh sepeda. Kecepatannya cukup kencang kali ini, karena jalan yang sepi dan sudah sangat dihapalnya.

Yang Alya sebut dengan Moni adalah ayunan yang terbuat dari kayu dan tali tambang yang diikat di dahan sebuah pohon mangga. Entah siapa yang membuatnya, Adit dan Alya sudah mendapati ayunan itu sejak pertama kali menemukan tempat itu.

Alya langsung menyerbu untuk duduk di atas ayunan ‘miliknya’ itu begitu sepeda telah ia sandarkan pada badan pohon. Ia tidak suka bermain, tapi pengecualian untuk bermain ayunan. Ia suka merasa bagai terbang saat benda itu mengayunkannya ke atas.

“Adiiiiit!” Alya menumpukan kakinya di tanah agar ayunan itu berhenti. Memanggil Adit sekali lagi yang sejak tadi tidak menyahut dan asyik sendiri.

“Ngapain sih?” Alya mendekati Adit yang kini memungut salah satu batu di dekat kakinya. Adit tidak menyahut, seperti biasa. Anak laki-laki itu teramat pendiam. Alya juga sudah terbiasa dengan diamnya Adit,  Adit akan bersuara jika ia ingin, yang harus Alya lakukan hanyalah menunggu.

“Mau tanding siapa yang lemparannya paling jauh?” Tantang Alya sambil memungut satu batu. Ia menaik-naikkan alis saat Adit kini menatapnya. Diamnya Adit, artinya ‘iya’ bagi Alya.

“Biar seru, pake hukuman, yah?” Ucap Alya lagi. Bola matanya berputar ke atas, pertanda sedang berfikir, “Yang kalah, beliin coklat buat yang menang! Deal?”

“Deal.” Adit akhirnya menyahut setuju. Alya  memasang senyum miring sebelum mengambil ancang-ancang.

Dan pluk! Alya berhasil melempar batu miliknya dengan jarak cukup jauh, sepertinya ia mengeluarkan seluruh kekuatannya untuk itu. Membuat gadis kecil itu makin menukikkan sebelah bibirnya, tersenyum sombong.

Adit tak mau kalah. Ia juga mengambil ancang-ancang seperti gerakan Alya tadi, memutar-mutar tangan dan sedikit mundur, lalu saat batu itu sudah melayang dari genggamannya, “Kemana?” Adit tidak dapat melihat ke arah mana batu itu melayang.

“Saking jauhnya sampe gak keliatan?” Alya memayungi keningnya dengan telapak tangan, siapa tahu saja batu itu tidak terlihat karena silaunya matahari.

“SIAPA YANG NGELEMPAR BATU INI?”

Alya dan Adit saling pandang dengan mata membulat saat suara itu terdengar dari arah sisi samping danau. Tepatnya di sebelah kiri danau buatan ini, jika tempat Adit dan Alya sekarang dianggap sebagai sisi depannya. Alya cukup takjub untuk beberapa menit saat membayangkan bagaimana bisa batu yang dilempar Adit bisa sampai sejauh itu. Tapi tarikan tangan Adit di lengannya, menyadarkannya tentang satu hal: mereka harus kabur!

Tanpa menoleh, keduanya berjalan menyamping untuk menjangkau sepeda, lalu dengan perasaan was-was bahwa mungkin saja orang itu akan menghampiri, Adit segera mengayuh sepedanya dengan Alya yang menjadi penumpang.

“Hahahahhhaaah.” Keduanya tertawa sendiri saat tiba di halaman panti. Perjalanan tadi sampai tidak terasa saking ngebutnya Adit saat mengayuh sepeda.

“Kamu bisa panik juga, ya hahahahah.” Alya masih tak henti-hentinya tergelak.

“Duh, harusnya tadi aku minta maaf ya, bukannya lari.”Adit menggigit bibir saat menyadari bahwa tindakannya tadi tidaklah benar.  Bunda tidak pernah mengajarkannya untuk jadi anak nakal dan lari dari tanggung jawab. Sekarang Adit benar-benar merasa bersalah.

“Jadi, kamu mau balik ke sana, gitu?” Tanya Alya, “Yakin orangnya masih ada?”

Adit mengangguk, lalu menggeleng, tak yakin. “Siapa tau ada. Dan mungkin masih nyari pelaku yang ngelemparin kepala dia.”

“Adit, Alya? Kalian ngapain? Abis darimana?”

“Hehe, Bunda.” Alya memamerkan jejeran gigi putihnya saat melihat Bunda Lidya mendekat. Tidak ada raut marah, Bunda lembut seperti biasa, tapi tetap saja Alya dan Adit makin merasa bersalah karena pergi tanpa pamit dan ketahuan.

“Ayo masuk, kalian belum Ashar kan?” Ajak Bunda Lidya. Alya menarik lengan Adit yang masih menatap ke arah jalan menuju markas rahasia.

“Besok, deh. kalau kita ketemu orang itu, kita minta maaf.” Bisik Alya dengan mata penuh yakin, sekaligus berjanji pada dirinya sendiri.


----Lonely Angel----


Esoknya, sepulang sekolah, Adit dan Alya tidak mengayuh sepeda ke arah rumah, melainkan menuju markas rahasia. Untuk kabur seperti kemarin, rasanya akan semakin sulit, lagipula hari ini kelas mereka dipulangkan satu jam lebih cepat dari biasanya.

Seperti biasa, Alya langsung menghampiri Moninya dan duduk di sana. “Adit, dorongin aku dong?” Pinta gadis itu dengan mengedip-ngedipkan matanya yang besar.

Adit, sang pemilik mata yang berbanding terbalik dengan mata Aira, meletakkan tasnya di atas rerumputan—di samping tas Aira—lalu berjalan ke belakang gadis kecil itu.

“Adit baik, deh.” Puji Aira saat tubuhnya mulai melayang ke atas berkat dorongan dari kedua lengan kurus Adit. Adit yang tidak banyak bicara dan selalu menuruti apa kata Aira, Aira sangat bersyukur memilikinya.

“Diiit…” Panggil Alya saat tubuhnya berada di titik maksimal Moni berayun, angina siang menggelitik wajah Alya, menyapu poni tebalnya. “Coklatnya aku bayar lusa, yah.” Ucap gadis cilik itu saat wajahnya hampir berada di dekat wajah Adit yang kembali mendorongnya untuk berayun.

“Hm.”

“Kalau lusanya lagi, boleh?”

“Hm.”

Alya tersenyum dengan bibir bawah yang sengaja ia gigit, “Kalau minggu depan?... atau minggu depannya lagi, bisa?”

Srukk..

Alya cukup terkejut saat gerakan ayunan itu berhenti secara paksa, menyebabkan sepatunya menggaruk tanah dengan suara gesekan yang cukup terdengar. “Kamu mau bayar, gak sih?” rutuk Adit tak terima. “Kok nawar-nawar?”

Alya memajukan bibir lalu menipiskannya dengan sok imut, “Harus ngumpulin uang dulu. Sayang banget kalau aku pake uang tabungan aku, atau gak jajan beberapa hari demi cokelat kamu. Jadi aku mau nyisihin setengah dari uang jajan aku aja, tiap harinya.” Jelas gadis itu panjang lebar. Dilengkapi kedip-kedipan mata dan anggukan yang berulang-ulang.

“Iyadeh. Yang penting dibayar, ya?!”

“Iya, janji.” Alya menyodorkan jari kelingkingnya, yang disambut tautan kelingking milik Adit. Karena yang Adit tahu, Alya bukanlah pembohong.

“Nah, sekarang… sebagai uang mukanya, aku bakal dorong kamu buat ayun-ayun sama Moni deh.” tawar Alya seraya berdiri dan langsung menarik Adit untuk duduk. Walau sebenarnya anak laki-laki itu enggan, tapi bukan Adit jika tak menuruti apa kata Alya.

“Siap-siap, ya. bentar lagi, kamu bakal terbang!” Alya menarik tali ayunan yang diduduki Adit sambil berjalan mundur beberapa langkah.

Adit ingin teriak protes, namun gadis kecil bergigi kelinci di belakangnya itu sudah melepas pegangannya, dan Aditpun terbang seperti yang Alya katakan.


----Lonely Angel----


“Adiiiiit! Yang ikhlas dong ngayuh sepedanya, ih!” Alya masih tak henti memprotes saat sepeda yang dikendarai Adit dan ditumpanginya itu sering bergerak oleng ke kanan dan ke kiri. Perasaannya saja, atau Adit memang sengaja?

“Siapa suruh kamu ngerjain aku?” Anak laki-laki itu memberengut. Masih saja mengungkit kekesalannya yang tadi disebabkan ulah Alya yang membuatnya jadi mual hanya dengan duduk di ayunan. Rasanya seperti duduk di wahana goyang ombak di pasar malam!

“Lagian, kemarin aku yang ngeboncengin kamu pulang dari markas rahasia, harusnya sekarang kamu dong! Walaupun hari ini giliran aku, kayak yang aku lakuin kemarin.” Tambah Adit lagi.

“Ih!” Alya langsung menyahut protes. “Kalau yang kemarin itu kan salah kamu sendiri. kemarin kamu yang tiba-tiba duduk di bangku itu dan terpaksa aku berdiri jadi penumpang di bela—“ Alya menahan berat tubuhnya agar tidak jatuh, saat Adit mengerem mendadak. Aira baru ingin protes, namun menyadari bahwa mereka sudah sampai di Panti.

“Maaf, deh.” Alya mulai aksi membujuknya saat Adit hanya memarkirkan sepeda tanpa berkata apa-apa---eh Adit memang sering begitu sih---tapi kali ini, ia tidak menatap Alya sama sekali. Jadi, gadis kecil itu mulai merasa bersalah dan tak ingin Adit marah padanya.

“Adit kan baik.” Alya terus mengekori Adit bahkan ke arah kamar yang dihuni Adit dan beberapa anak laki-laki lainnya. Ada Kak Fajar di sana. Salah seorang anak laki-laki penghuni kamar yang memiliki tempat di tingkat atas tempat tidur Adit. Kak Fajar sudah kelas 1 SMP tahun ini. Harusnya ia ke sekolah, namun karena pagi tadi agak diare, Kak Fajar jadi tidur-tiduran di tempat tidur milik Ikhsan yang sekarang masih di sekolah.

“Kalian udah pulang?” Tanya Fajar pada Adit dan Alya.

“Iya, kak.” Alya menyahut dengan senyum manis, sementara Adit hanya mengangguk singkat.

“Tadi ada kiriman dari Azril loh, kalian minta aja di bunda.”

“Kiriman apa, kak?” Tanya Alya antusias. Mendengar nama Azril, Alya langsung rindu. Padahal baru tiga hari lalu anak laki-laki berusia 4 tahun yang menggemaskan dengan pipi chubbynya itu meninggalkan mereka karena diadopsi.

Fajar mengadahkan kedua telapak tangannya di sisi tubuh seraya mengangkat bahu, “Minta ke bunda langsung aja, deh.”

“Yey! Yuk Adit! Hayuuuuuk!” Alya menarik-narik Adit—lagi—bahkan sebelum Adit melepas ranselnya yang masih menggantung di pundak.

“Bunda siapa, sih? Bunda Lidya atau Bunda Ade?” Alya menghentikan langkah dan melepas tarikannya dari lengan kemeja sekolah Adit. Ekspresinya kini menunjukkan seolah ia sedang berfikir keras.

“Tanya Bunda Ade dulu, yuk?!” itu seperti sebuah permintaan pendapat, tapi nyatanya Alya hanya melangkah lagi bahkan sebelum persetujuan dari Adit. Jadi lagi-lagi anak laki-laki itu hanya bisa mengikuti.

“Bunda, ada kiriman dari Azril, ya? buat kita?”

Bunda Ade menatap kedua bocah cilik di hadapannya, lalu mengangguk. Ia berdiri dari duduknya dan mengambil sesuatu dari dalam sebuah kotak. “Ini dari Adek Azril. Jangan pernah lupain dia, ya.” Nasehat Bunda Ade seraya membagikan masing-masing sebatang cokelat untuk Alya dan Adit.

“Yey, asyik!” Alya begitu gembira begitu melihat makanan batang berbungkus cokelat dengan gambar kacang mete itu kini berada di tangannya. Ia selalu ingin memiliki ini, lalu memotongnya seperti di iklan yang katanya gak tega bagi walaupun ada 11 potong .

“Makasih, Bunda. Sampein makasih juga untuk Adek Azril.” Ucap Adit dengan senyum manis, semanis coklat di tangannya.

Merekapun berjalan menuju kamar kembali setelah pamit pada Bunda. Alya lagi-lagi mengikuti langkah Adit ke kamarnya, membuat Adit mengerutkan kening bingung.

“Ini, utang aku.” Alya menyodorkan cokelatnya tepat di depan hidung mancung Adit. “Utang coklat ku gak usah nunggu minggu depan, aku bayar sekarang.” Alya tersenyum bangga. Ia bisa menepati janjinya sekarang.

Adit menggeleng. “Aku gak mau terima.”

“Eh kenapa? Karena ini gratisan, ya? yang penting kan aku ngasih kamu coklat. Ini juga biar gimanapun udah punya aku kok. Jadi aku bisa ngasih ke kamu.”

“Itu cokelat dari Azril.”

“Jadi gak boleh? Tapi aku gak tau loh, kapan bisa beliin kamu coklat kayak gini.”

“Aku udah punya. Jadi gak usah. Utang kamu, udah aku anggap gak ada.”

“Eh?” Alya mengerjap-ngerjap tak yakin dengan pendengarannya.

“Gak usah. Daripada punya dua coklat buat aku sendiri, aku lebih suka makan coklat sama kamu.”

“Serius? Gak bakal nyesel?” Pasalnya, baru beberapa puluh menit yang lalu Adit menyuruhnya untuk membayar utang ini bagaimanapun juga.

Adit menggeleng. “Gak akan. Mending kamu ganti baju gih, asem.”

“Iya. Yang lebih asem!” Alya menjulurkan lidah sambil berjalan mundur dan melambaik-lambaikan coklatnya.




----Lonely Angel - dylahsyawal----


Epilog

“Jadi, kalau kakek sembuh, kita bisa cepet-cepet pulang kan, Ma?” Anak laki-laki itu bertanya sekali lagi. Memastikan bahwa yang diucapkan orang tuanya bukanlah sekedar janji belaka.

“Iya. Makanya, kamu rawat kakek, dong. Pijitin kakinya, bukan malah main di sini.” Mamanya menasihati.

Anak laki-laki itu memajukan bibir beberapa senti, “Males. Lagian pijitan aku gak ada rasanya.” Ujarnya beralasan sambil memandangi dua telapak tangan kecilnya.

Tuk.

“SIAPA YANG NGELEMPAR BATU INI?”

Seorang pria dewasa menghampiri anak laki-laki itu sambil tertawa renyah. Diusapnya rambut lebat anak laki-lakinya itu dengan gemas. Sementara sang anak memasang raut kesal.

“Maaf, gak sengaja. Papa kira ini sarang burung.” Ujar pria itu sambil mengacak-acak rambut anaknya—lagi.

“Papa usil banget sih, kok Cakra pake ditimpukin segala?” Cakra mengangguk menyetujui saat Mamanya membela.

“Itu bukan batu, lagi. cuma kerikil kecil. Cakra aja yang lebay.”

“Ih, papaaaaa.. tetep aja sakit, tauuu!” Cakra manyun, membuat kedua orang tuanya lagi-lagi tergelak gemas.



-Lonely Angel, Nur Fadilah Syawal-

Lonely AngelWhere stories live. Discover now