#7 : Hanyalah Pengantin Figuran

304K 22.6K 1.3K
                                    

Aku membasuh mukaku di wastafel kamar mandi. Hari ini lelah sekali memakai gaun seberat itu ditambah lagi jilbab berlapis-lapis dengan mahkota di atasnya, rasanya kepalaku pening.

Aku menatap pantulan diriku di cermin, bekas make up sudah hilang dan menyisakan wajah asliku, masih sama, aku melihat orang jahat di sana. Ah, sudahlah, ini sudah terlanjur. Aku sudah sah menjadi istri Wildan, dosa bila aku terus memikirkan laki-laki lain selain suamiku. Sekarang, aku hanya perlu berfokus menjadi istri yang baik untuk Wildan.

Setelah selesai membersihkan badan di kamar mandi, aku pun segera keluar dari tempat itu dan segera mengganti pakaianku. Kamar Wildan begitu luas, warna biru tua mendominasi ruangan itu. Di dalamnya terdapat kamar mandi dan kamar ganti yang terpisah, kamar ganti terdapat beberapa lemari yang menjulang tinggi yang berisi pakaian Wildan. Tadi sore, Tatan mengantarkan koper bajuku ke sini sekalian bertemu dengan Tante Fatimah karena ada perlu.

Rak dengan buku-buku tebal itu menjadi pemandangan yang lazim jika itu kamar seorang dokter seperti Wildan, tidak ada bacaan lain selain Fundamental dan Kamus Kedokteran. Kasurnya juga luas dan rapi dengan nakas di sampingnya menahan lampu tidur berbentuk bola berlubang yang memiliki bentuk abstrak. Ada juga kursi panjang di samping rak buku, mungkin Wildan memakai kursi itu untuk membaca buku-buku itu.

Aku sudah berpakaian rapi, piyama merah muda dan juga jilbab dengan warna yang senada. Setelah keluar dari kamar ganti, aku bingung harus berbuat apa, untuk duduk pun aku bingung harus di mana. Rasanya canggung. Aku memilih untuk keluar dari kamar dan menemui Tante Fatimah, mungkin ada sesuatu yang bisa kubantu, lagian ini masih jam delapan malam kurang.

Aku mendengar suara beliau di dapur. Aku pun berjalan ke arahnya.

"Assalamualaikum, Tante, ada yang bisa Naira bantu?" ucapku saat masuk dapur.

Aku melihat Tante Fatimah sedang mengaduk susu cokelat. Beliau menoleh padaku, "Tante?" katanya dengan ekspresi menunjukkan bahwa aku salah memanggil sebutan untuknya.

Aku terkekeh, "Naira bingung mau manggil Tante apa."

"Walaikumsalam, Sayang. Ibu lagi membuatkan susu untukmu, Nak," jawab beliau.

"Astagfirullah, Tante, eh, maksud saya, Ibu. Nggak usah repotrepot, saya bisa buat sendiri."

Tante Fatimah tersenyum lalu menyerahkan segelas susu itu untukku,"Minumlah, bukan hanya menantu yang ingin menjadi terbaik. Tapi, ibu juga ingin jadi mertua yang terbaik buat menantu kesayangannya,"

Aku tersipu malu, Mashaallah, Tante Fatimah memang benar menyayangiku. Apalagi sampai repot-repot membuatkanku susu kesukaanku sebelum tidur.

"Oh iya kok Ibu tahu kebiasaan Naira kalau mau tidur minum susu cokelat?" tanyaku.

"Intan yang kasih tahu Ibu, sini duduk," jawab Tante Fatimah menuntunku untuk duduk di ruang keluarga.

Aku melihat ada satu album foto berwarna biru tua di atas meja. Ternyata Tante Fatimah memang sengaja membawanya ke ruang keluarga untuk ditunjukkan padaku.

"Ibu mau menunjukkan foto Wildan semasa kecil agar kamu bisa tahu bagaimana menggemaskannya dia dulu," kata Tante Fatimah bersemangat.

Tak kupungkiri, aku antusias mendengarkan semua cerita masa kecil Wildan dari Tante Fatimah, beliau bilang Wildan kecil sangat perhatian pada hal-hal kecil yang berhubungan dengan kesehatan, seperti mengingatkan selalu keluarganya untuk sarapan, cuci tangan, membersihkan rumah, dan hal lainnya. 

Dia juga suka membaca buku-buku tentang kesehatan dan anatomi manusia, bahkan dia pernah membelah katak sendiri dan mempelajari anatomi fisiologisnya, saat itu Wildan baru berusia delapan tahun. Untuk itu, Tante Fatimah bertekad akan menyekolahkan Wildan di Kedokteran.

[DSS 1] Dear Allah [NOVEL VERSION]Where stories live. Discover now