#7 : Hanyalah Pengantin Figuran

Start from the beginning
                                    

Aku terkagum-kagum mendengarkan cerita tersebut. Sambil menunjukkan foto, Tante Fatimah menceritakan kapan, di mana, dan ada kejadian apa di foto tersebut. Pada lembar foto berikutnya, Tante Fatimah menunjukkan foto Wildan ketika berlibur ke Bromo, dia tengah berfoto dengan seekor kuda. 

Katanya, foto ini diambil sekitar dua tahun yang lalu. Wildan sedikit takut dengan kuda karena memiliki trauma pernah dibanting dari tunggangan saat masih kecil, namun karena begitu ingin berfoto dengan kuda, dia memberanikan diri. Saat gambar sudah diambil, tak tahunya kuda itu berlari dan menyerempet Wildan hingga membuat Wildan tersungkur. Tante Fatimah menceritakannya dengan tertawa terkikik melihat ekspresi ketakutan Wildan saat itu.

Tak terasa waktu berlalu, kami asyik bercerita tentang Wildan dan seputar tentang kami. Sampai-sampai susu cokelatku tinggal gelasnya saja, jam menunjukkan pukul sembilan malam.

"Ya sudah, kamu ke kamar Wildan gih, Ibu lupa kalau sekarang malam pertama kalian, saking asyiknya bercerita," katanya.

Mendengar kata malam pertama, hatiku berdebar seperti ada roller coaster tepat di dadaku, rasanya naik turun tidak keruan. Keadaan tiba-tiba menjadi canggung lagi dan aku bingung harus berbuat apa setelah ini.

"Saya permisi dulu, Bu," ucapku sambil berdiri.

"Eh, biar ibu saja yang mencuci gelasnya, kamu ke kamar langsung aja. Wildan pasti sudah menunggumu," cegah beliau saat aku hendak berjalan menuju dapur.

Aku menyerahkan gelas itu padanya lalu melangkah ke tangga.

"Em.. Naira..."

Aku berhenti menaiki anak tangga saat suara Tante Fatimah terdengar, aku pun menoleh, "Iya, Bu?" "Terima kasih ya..." ucapnya.

Aku tersenyum kepadanya, lantas mengangguk pelan.

"Ya sudah, sana naik," katanya sambil tersenyum.

Aku kembali menggangguk. Detik selanjutnya aku menaiki anak tangga satu per satu dengan debaran hati yang membuatku gila rasanya. Bagaimana aku memulai pembicaraan dengan Wildan? Apa yang akan kubahas dengannya?

Setelah akad tadi pagi, masih tidak ada pembicaraan yang serius di antara kami. Kami hanya duduk berdua menyalami sanak keluarga dan setelah itu kami saling diam. Aku tahu betul perasaan Wildan, masih dalam keadaan sakit hati karena ditinggal lari oleh Zulfa dan lagi, dia harus menerima kenyataan bahwa dia telah menikahi calon pengantin sahabatnya. Mungkin, dia sekarang berada dalam kebingungan dan kebimbangan menjalani pernikahan mendadak ini.

Aku juga, aku masih bingung harus bagaimana dan bersikap apa. Aku juga bingung harus menjawab pertanyaan teman-teman bagaimana, dan juga sikap apa yang harus kutunjukkan kepada Genta jika kami bertemu lagi. Aku masih merasa bersalah padanya.

Masih membekas rasanya bagaimana tadi pagi pernikahan akan dilaksanakan, ingatan bagaimana Tante Fatimah memohon padaku menjadi pengantin pengganti untuk anaknya, ingatan bagaimana saat Genta membatalkan pengkhitbahannya, dan ingatan bagaimana ketika akad digelar. Aku tak menyangka bahwa itu terjadi dalam satu hari. Saat kemarin aku tak punya kesempatan untuk berjodoh dengan Wildan, Allah takdirkan aku bersanding dengan Wildan di keesokan harinya, semua berjalan dengan cepat.

Ingatan itu buyar saat aku berada di depan pintu kamar Wildan. Aku bimbang, maju mundur untuk membuka knop pintu. Debaran di dadaku ini membuatku benar-benar gila, aku sedikit frustrasi. Tidak lama dari itu, akhirnya aku membuka pintu setelah kuketuk tiga kali.

"Assalaamualaikum?" salamku.

Tetapi tidak ada jawaban.

Aku menutup pintu dan berjalan perlahan menuju tempat tidur, aku tak melihat Wildan di sana. Tetapi aku melihat Wildan terbaring di kursi panjang dekat rak buku.

[DSS 1] Dear Allah [NOVEL VERSION]Where stories live. Discover now