Amanda kegirangan mendengar jawaban Nicholas. "Benarkah itu? Kapan kau mau mengenalkannya padaku?"

"Sabarlah, Mom. Aku juga belum terlalu yakin." Nicholas bisa melihat dengan jelas bahwa sang ibu agak kecewa dengan ucapannya.

"Tapi akan kucoba," lanjutnya sembari tersenyum kecil. Tangannya memegang kedua tangan ibunya berusaha menenangkan. Amanda ikut tersenyum. Ia sangat berharap anaknya segera menemukan cintanya. Nicholas memang belum pernah berpacaran satu kalipun.

"Aku tunggu kabar baik darimu."

ooOoo

Keesokan harinya, Nicholas tengah berjalan menuju ruangan office boy untuk membuat kopi. Dan matanya menangkap Grace yang sedang mengaduk teh-nya.

"Grace," sapanya membuat perempuan itu menolehkan kepalanya ke samping.

Nicholas sudah berdiri di samping Grace. Sambil tangannya mengambil sebuah gelas bening dan se-sachet kopi instan kesukaannya, ia bertanya pada gadis di sampingnya ini. "Apa kabarmu, G?"

"Saya baik, bapak Nicholas," balas Grace dengan sopan. Ia bermaksud menyindir posisi Nicholas, karena keduanya sedang berada di lingkungan kantor.

Memang, Nicholas adalah atasan Grace. Ia menjabat sebagai manajer. Sedangkan Grace hanyalah pegawai biasa. Keduanya dekat sejak di kuliah dulu. Berkat ketelatenan Nicholas, ia dipromosikan. Dan sekarang, posisinya berada di atas Grace. Tetapi itu tak mengganggu hubungan pertemanan mereka.

"Bagaimana kabar temanmu?" Akhirnya, Nicholas menyinggungnya.

Wajah Grace berseri-seri mendengarnya. Ia semakin ingin menggoda manajernya ini. "Dia semakin cantik."

"Jangan menggodaku, Grace."

"Temui dia kalau kau penasaran." Dan Grace meninggalkannya sambil tercicit geli.

Nicholas hanya menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal. Haruskah dirinya menemui Marcella? Jujur saja, kalau dirinya memang merasa rindu. Entahlah, ia ingin mengenal Marcella lebih dekat.

Matanya menatap secarik kertas yang tertera nomor telepon seseorang. Itu nomor Marcella. Tentu saja ulahnya Grace. Ia yakin bahwa gadis itu sengaja menyimpannya di dekat gelas kopi yang akan ia minum. Benar-benar.

ooOoo

Pria itu terlihat menimbang-nimbang sesuatu. Lihat saja duduknya yang tidak bisa diam. Jelas saja bahwa dirinya sedang dilema, gelisah, atau semacamnya.

Dengan tangan kanannya yang memegang secarik kertas dari Grace dan tangan kirinya yang senantiasa menggenggam ponselnya--siap untuk menekan angka di papan dialnya.

"Telepon, tidak. Telepon, tidak. Telepon?" gumamnya ragu. Ia menggigit bibir bawahnya.

"Ya Tuhan, rasa penasaran ini sungguh menyiksa!" geram Nicholas tertahan.

Keputusannya sudah dibuat. Ia tempelkan ponselnya di telinga kirinya. Nada sambungan telepon masih terdengar.

Sampai akhirnya, suara lembut itu tertangkap oleh indera pendengarannya. "Halo?"

Sialan. Suaranya saja mampu meluluh-lantahkan hatinya. Rasa ingin memiliki gadis ini pun meluap dari permukaan.

"Marcella, ini aku. Nicholas."

Tak ada tanggapan dari seberang sana. Membuat Nicholas curiga.

"Apa mungkin... Kau melupakanku?" tanyanya tak percaya.

"O-oh, tidak, bukan begitu. Aku mengingatmu, Nicholas. Hanya saja, aku tidak menyangka kau akan meneleponku," jawab Marcella terlampau jujur. Gadis itu memang sangat polos. Menggemaskan.

Nicholas mendesah pelan. "Aku merasa lega mendengarnya."

"Jadi, ada apa kau meneleponku?" Marcella memang tidak pernah basa-basi.

"Oh, rupanya kau tipe yang tidak sabaran, nona Jefferson." Pria itu terkekeh geli. Kemudian melanjutkan, "Apa kita bisa bertemu?"

Lagi. Marcella terdiam tak menanggapi ucapan Nicholas. Membuat dirinya berpikir bahwa gadis itu merasa tak nyaman dengan pertanyaannya barusan.

"Marcella, apa aku membuatmu--"

"Kapan?" tanyanya singkat sekaligus memotong ucapan Nicholas.

Ia merasa ragu sebelum akhirnya menjawab. "Hari ini, sepulang kerja."

"Apa kau serius? Hari ini juga?!" Kali ini, Marcella menanggapinya lebih cepat. Mungkin ia terlalu syok.

"Ya. Apa kau keberatan?"

"Tidak. Nicholas, kau sungguh pria yang tak terduga. Selalu mengejutkanku. "

Yang dijawab dengan tawa kecil dari Nicholas. "Apa aku menakutimu seperti hantu?"

Marcella tertawa cekikikkan mendengar candaannya. "Ayolah, bukan itu maksudku, Nick."

"Baiklah, kirimkan alamat kantormu, nona Jefferson. Sampai bertemu nanti."

Nicholas mengakhiri teleponnya tanpa mendengar jawaban dari Marcella di seberang sana. Ia hanya tidak ingin mendengar penolakan. Sekalipun belum tentu gadis itu menolak. Tapi dengan caranya yang seperti ini, tentu membuat Marcella tidak punya pilihan lain, bukan?

Ponselnya bergetar untuk beberapa detik. Menandakan ada pesan masuk. Dan benar saja, itu dari Marcella. Pesannya berisikan sebuah alamat. Gadis penurut, pujinya dalam hati.

Kau membuatku semakin penasaran.

ooOoo

To be continued...

RelationfateWhere stories live. Discover now