"Jadi?"

"Aku tetap tak mau keluar. Di sini saja."

"Yakin? Kita bisa mencari makanan kesukaanmu lho."

"Yakin kok. Dan aku sudah kenyang. Jadi tak perlu."

"Hei, sejak kapan kau keras kepala, huh?"

"Entahlah. Aku tak tahu."

Ia hanya bisa mendesah. Membuang napas berat melihat sifat baru gadisnya itu; keras kepala. Entah darimana ia mempelajari sifat yang bertolak belakang dengan kepribadiannya itu.

Namun ia tak menyangkal. Ia pandangi wajah si gadis yang menatap lurus ke depan. Pandangannya kosong. Sudah ia duga. Pikiran setengah jiwanya itu tengah dirundung duka.

"Apa yang kau pikirkan?" Tanyanya. Berharap dapat membantu mengurai benang masalah yang ada.

Namun justru gelengan yang ia dapatkan sebagai jawaban. Sosok ringkih itu memilih menjadi pribadi yang lain di kencan mereka yang entah keberapa ini.

"Ayolah. Kutahu kau sedang ada masalah. Wajahmu itu terlalu polos untuk menyembunyikan segudang kelammu." Ia mendesak. Mencoba mengikuti sosok itu menjadi kepala batu.

"Tidak ada yang perlu kuungkap. Semuanya baik-baik saja." Ah. Ternyata benar-benar batu obsidian.

"Tapi wajahmu berkata lain. Dan aku lebih percaya raut mukamu daripada lisanmu sendiri."

Sosok itu tersenyum kecut lalu memandanginya dengan sayu. Ia membalas. Mencari kemungkinan secercah jawaban ada di sana.

Tak ada jawaban. Hanya iris yang mengembun, berkumpul, lantas berubah menjadi isak tangis. Sosok itu benar-benar ringkih dan rapuh sekarang. Seolah ia akan pecah jika tanpa kehadiran lelaki di sampingnya itu.

Tak ada yang bisa ia lakukan selain memberikan pelukan. Mencoba menenangkan walau harus menepis rasa penasaran. Dengan hati-hati, ia bergumam.

"Ada apa?"

Tak ada jawaban. Hanya air bergaram yang menderas membasahi dadanya sebagai pembungkam. Perlahan, ia pandangi langit malam. Ah, ternyata sama saja. Sama-sama kelam.

*****

Hilang tak berbekas yang ia rasakan kala maniknya menatap hamparan mega. Ya. Ia tahu bagaimana rasanya berpisah. Namun di saat yang sama, terpisah raga memang diperlukan.

Ainawa masih menatap kumpulan permen kapas itu. Mempertanyakan apakah sosok yang sudah mengudara di atas sana juga merasakannya. Padahal baru satu kali putaran jarum jamnya berlari, namun entah mengapa rasanya seperti sudah berhari-hari.

Entah bagaimana ia mengatasi hal ini. Lelah diejek oleh surya yang mengantuk membuatnya memalingkan tubuh. Menjauh dari bukit yang biasa ia gunakan sebagai alas tuk berdua dengan sosok itu.

Masih terlintas jelas dalam pikirannya. Bagaimana seribu janji yang sosok itu umbar demi redakan isak tangisnya. Janji akan menghabiskan waktu bersama jika benua Asia ia sambangi lagi. Dan ia percaya saja. Merelakan Asia-nya memeluk Amerika sana.

Ah, aliran asin itu mengurai lagi. Dengan cepat, ia mengelap pipi. Lantas tersenyum kecut. Ejekan si sosok yang mengatainya cengeng kini tak terbantahkan. Namun setidaknya, sebening kristal itu tak tertumpah sia-sia.

Iris coklatnya kembali menatap langit yang merona malu. Masih dengan pertanyaan yang sama. Apakah sosok itu juga merasa keberatan karena sekarang mereka hanya terhubung oleh benang sukma? Padahal, siapa tahu benang itu tetiba saja terputus padahal mereka belum bersua, kan?

Memikirkan itu membuat neuron pikirannya menjadi kusut. Sekiranya, bagaimana bentuk gunting yang akan datang? Sepirang wanita khas sana kah yang akan menjadi srigala berbulu domba di antara mereka? Ah, lebih baik ia bertemu dengan kuchisake onna daripada hal itu menjadi nyata. Lebih baik ia mati karena sabetan gunting taman daripada mati karena terjangan orang ketiga yang tak diharapkan.

"Cepatlah kembali, Shuu. Aku akan menunggumu di sini," batinnya mulai merapalkan nama si sosok. Berharap sekelumit rapalan itu akan ikut mengudara dan mendarat di telinga belahan jiwanya itu.

*****

Langkahnya tersendat kala gerimis menerjang bumi. Ia menghembuskan napas. Kemudian kembali duduk di tempatnya semula.

Ainawa menggosokkan kedua telapak tangannya. Angin yang berhembus membawa uap dingin, menerpa gadis itu. Dan sesuai perkiraannya. Hujan pun segera menderas. Membasahi tanah dan pendengarannya.

Ia tersenyum. Wewangian khas dari peristiwa alam itu ia sesap perlahan. Membongkar memorinya akan sosok yang beraroma sama. Ya. Hujan selalu mengingatkannya pada sebayang itu. Sebayang yang membuatnya candu akan hujan.

Lekuk wajah itu perlahan terpatri pada benaknya. Membuatnya terkikik kecil. Ternyata, sampai sekarang ia belum bisa melupakan sosok yang sudah menghilang selama beberapa tahun itu. Lagi, ia membongkar memori. Menyusuri taman ingatan akan kenangan mereka berdua. Itu indah. Tapi ia tahu. Itu hanyalah fatamorgana. Dan tak akan menjelma di dunia nyata.

Senyum itu berubah getir. Ah, mengapa ujungnya ia harus bergelut sepi? Ia coba untuk menghalau perasaan itu. Tapi sukmanya malah memberontak. Menginginkan akan segenap jiwa raga itu tetap terpaku pada satu nama.

"Kapan kau kembali?" Naifnya pertanyaan itu terlontar dari jiwanya yang lelah terbelenggu rindu.

Lama ia berkubang memori. Hingga sarafnya tak peka akan seulas senyum yang tersampir di sampingnya.

"Tadaima, Ai." Bisikan kecil itu mengakar. Menariknya dari jeratan ilusi. Manik coklat itu membulat. Mengerjap untuk fokus pada sosok di sampingnya yang tersenyum lembut. Aroma hujan pun semakin menyeruak.

"Shuu..." Satu kata itu terlontar dan ditangkap oleh sapuan elang yang semakin menajam. Sosok hujan itu mengangguk. Membantunya menyadari bahwa fatamorgananya mendarah daging.

Rengkuhan itu semakin membuatnya gamang. Tidak. Ini pasti hanya uap hujan yang akan segera mencair. Namun deru napas yang menyapu tengkuknya berkata lain. Mengapa hujan selalu membuatnya bermimpi?

"O-okaeri, Shuu." Bisiknya selembut kapas.

Dan sekarang, dirinya pun melebur bersama serpihan hujan. Membalurnya dengan balutan rindu yang sudah tergenang dalam sukma bernama penantian itu.

.

.

.

Hanya sekadar mengumpulkan status di FB yang berserakan. Daripada kehapus, lebih baik diarsipkan di sini. Tidak bermaksud apapun.



[Hiatus] Random [Author's Book]Where stories live. Discover now