The fuck? Sesaat dia menjadi sangat sarkastik mengenai 'anggap saja itu tidak pernah pernah terjadi' kemudian dengan santai ia setuju dengan 'Lupakan saja' dan pergi tanpa sepatah kata. Padahal maksudnya ia tidak ingin membuat gadis itu memikirkan hal yang seharusnya tidak... dipikirkan?

Zayn memikirkan kembali maksud dari kalimat yang terlintas dalam benaknya.

Well, benar juga sih.

Tetap saja, Zayn memikirkan kebaikan gadis itu untuk tidak memasuki kehidupan kelamnya. Namun sebaik apapun niat seorang pria, perempuan tetap saja punya alasan untuk menyalahkan pria.

Ah, perempuan memang makhluk yang menjengkelkan.



Catherine


Tank-top tanpa bra dan celana pendek adalah seragam wajib Catherine dirumahnya. Hitung-hitung seragam ini bisa langsung dijadikan piyama, jadi tidak perlu repot-repot memberatkan tagihan air bulanannya. Namun, kali ini ia yakin, tagihan listriknya akan naik dari biasanya.

Zayn tidak hanya menjadikannya asisten. E-mail yang dikirimkan olehnya berisi silabus materi beserta buku PDF yang harus ia rangkum untuk satu semester kedepan, oh, tak lupa juga dijadikan presentasi yang harus dikirim ke Zayn minimal 2 hari sebelum pelajarannya.

Oh tidak masalah? Toh hitung-hitung belajar. Gumam Catherine, sebelum ia menukan folder kedua yang berisi materi untuk kelas lainnya. Lintas kelas dan lintas jurusan.

"Dia gila ya?! Apa fungsinya jadi dosen kalau semua ini aku yang kerjakan!" Cath mengerang kesal. Oke, secara keseluruhan Zayn Malik mungkin sangat tampan, memiliki pengajar setampan dirinya mungkin impian bagi kebanyakan perempuan. Tapi ketika Cath mengetahui ia tidak lebih dari tukang bohong yang tidak berguna, ingin rasanya ia berdiri didepan podium aula kampus dan berteriak 'Kau sampah Zayn Malik!'

Baru saja ia memulai mengetik ketika ponselnya berdenting. Nama Jerkna terpampang jelas di layar notifikasi.

Ia menginginkan Cath segera kembali ke Voler et Haute.

Cath memejamkan mata dan menggigit bibirnya. Terkadang ia berpikir jika seseorang bisa mati karena menangis, mungkin ia sudah diambang kematian. Serasa perempuan malam yang terus bekerja tanpa kenal matahari maupun bulan, Cath mengganti pakaiannya dan menuju ke Kelab dimana kakaknya meninggalkan seluruh piutang yang tidak pernah ia nikmati.


***


VH. 12.55 A.M

"Hei Jenna, kemana para gadis-gadis pirang?! Astaga aku tidak ingin menghabiskan dollarku hanya untuk menonton para rambut cokelat menari!" Seorang bapak tua gendut berteriak dari sofa VIPnya. Rupanya 3 gadis pirang yang sepertinya masih dibawah umur itu tidak cukup untuk memuaskan malamnya.

Cath menurunkan ujung topinya dan kembali membersihkan lantai ruangan, tidak peduli pada keadaan sekitar.

"Istriku berambut cokelat, tapi lihatlah, gadis-gadis pirang sepertinya jauh lebih menggoda ya! Hahaha!" Bapak tua gendut itu tertawa lepas dan disambut oleh riuh teman-temannya yang setuju.

Pada dasarnya, rasisme selalu ada dimanapun dan muncul kapanpun. Walau berusaha tidak peduli, mau gak mau, Cath mendengarkan pembicaraan bapak-bapak konglomerat yang tepat berada di belakangnya ini. Ketika mereka mabuk dan dikelilingi wanita, biasanya tabiat asli dan kebiasaan mereka akan langsung terlihat. Entah dari terucap mulut atau tindakan. Kawanan bapak-bapak tua ini contohnya. Mereka berbagi satu kesamaan: menikahi istri mereka karena aset perusahaan. Pada akhirnya, pernikahan hanyalah status dan pemuas nafsu belaka. Namun, nafsu manusia tidak pernah bisa terpuaskan bukan?

"Hei Jenna! Kemana gadis-gadis pirangku yang lain?!" Bapak tua kini menoleh ke arah Jenna yang terlihat sedang menyambut tamu-tamu yang lain.

Gadis-gadis yang ia maksud adalah para hostess kesukaannya. Bisa dibilang, Lance cukup setia kepada gadis-gadis yang disukainya. Yah, walaupun predikat 'setia' juga tidak pantas untuk diri yang sudah beristri untuk menghabiskan waktu disini.

Jenna, dengan gaun merah dan lipstick tebalnya menghampiri bapak tua itu. "Tuan Lance! Suatu kehormatan memilikimu sebagai pengunjung tetap di VH. Aku memohon maaf karena beberapa dari para hostess anda sedang menemani tamu yang lain," Jenna menyunggingkan senyumannya yang paling lebar. Ia kemudian mengambil nampan perak yang dibawa keliling oleh para waitress. "Bagaimana kalau sampanye gratis?"

"Persetan dengan sampanye gratis! Aku ingin gadis-gadis pirangku!" Lance adalah pria dengan semua hal dalam kendali kedua tangan besar miliknya, kecuali amarahnya. Lance melempar seluruh sampanye yang dibawa Jenna.

Botol pertama terang memecahkan kaca jendela, botol kedua melayang ke meja tamu lain, dan yang terakhir pada bahu Catherine. Catherine menggambarkan rasa panas itu bagai ribuan jarum yang menusuk dan terus mengitari kulitnya. Sekujur tubuh mungilnya basah dan berwarna kuning pucat. Ia mencengkram bahunya, berharap sakit itu tidak menyebar. Beberapa waitress menolong dirinya dengan menyingkirkan beberapa pecahan botol yang menempel di sekujur tubuh dan rambut Cath.

Tatapan pengunjung terpaku pada insiden itu. Tak terkecuali Lance yang tak menyangka ia baru saja membuat seorang waitress basah dengan sampanye. Tubuhnya yang mungil, dan raut muka yang kesakitan.

Sebuah pemandangan yang seksi menurutnya.

"Christoph," Suara Lance mendalam, memanggil seseorang di dari pinggir ruangan. "Bawa gadis itu ke mobil, sekarang."

Jenna terpaku mengetahui maksud Lance. "Lance, dia hanya waitress. Akan kucarikan hostess lain yang—"

Tangan besar Lance mencengkram kedua pipi Jenna. "Aku mau dia, Anderson."

Christpoh, pria dengan setelan jas hitam datang diikuti dengan beberapa pria dengan pakaian yang sama. Mereka menggiring Catherine keluar dari kelab, tak peduli betapa cengkraman mereka di bahu Catherine membuat dirinya semakin kehilangan kesadaran.

Semakin memudar, hingga pandangannya hanya warna-warni yang bercampur. Cahaya kelap kelip memudar, terkadang kembali fokus. Samar-samar ia menoleh kearah dinding kaca yang ia lewati. Figur Jenna dan gaun merahnya mematung melihat dirinya dibawa pergi.

Tolong... Cath berbisik, padahal ia sudah berusaha untuk teriak.

Pandangannya semakin menggelap, hingga ia melihat pintu limousine terbuka menyambut dirinya. Ia memasrahkan diri ketika ia mulai mendengar suara-suara aneh.

Kali ini ia pasti mulai kehilangan kesadaran. Ia mendengar suara..... suara seperti teriakan. Teriakan, decitan ban, dan suara terjatuh. Tapi bukan itu yang menarik perhatian Cath.

Ia kenal salah satu suara teriakan itu. Suara berat dan serak yang pernah ia temui.

Suara itu seperti suara.....Harry.

Disaat itulah Harry membawa Cath keluar dari dalam mobil dan membawanya pergi.



Attached,  // z.mWhere stories live. Discover now