"Mengapa kau baru datang?"

"Aku baru membeli ini." Aomine mengancungkan bungkusan yang ia bawa. Dari luar, Fukuda sudah bisa menebak kalau itu adalah majalah kesayangan si Hitam.

"Ooh... jadi kau baru datang sekarang karena baru selesai berkencan dengan Mai-chan? Kau tahu? Aku sudah menunggumu sejam yang lalu! Sejam!" bentak Fukuda. Air matanya yang merembes membuat Aomine terkejut. Dengan segera ia mencoba menenangkan gadis itu dan ditepis langsung olehnya.

"Sudahlah! Aku sudah muak denganmu. Akhiri saja hubungan ini!" suara yang berasal dari gadis yang semakin menjauh darinya itu membuat Aomine tertegun. Usahanya akan sia-sia.

*****

Sudah seminggu semenjak Aomine dan Fukuda putus. Padahal, kelas biasanya akan ricuh dengan kefrontalan pasangan ini. Namun sekarang, bahkan keduanya tak ada yang bertegur sapa.

Momoi yang menjadi sahabat dari kedua belah pihak bingung melihat hal yang terjadi. Lebih baik ia disuruh membuat menu latihan yang super berat daripada mengurus masalah yang tak pernah ia alami ini. Bagaimana mau mengalami jika sampai sekarang ia hanya dianggap teman oleh lelakinya?

"Mika-chan? Mengapa kau tak jalan dengan Dai-chan pagi tadi?" Momoi mengambil tempat di depan Fukuda yang tengah membaca. Gadis itu mendongak dan menatap Momoi dingin.

"Dia sudah jalan berdua tadi kok." Ucapan yang sulit dimengerti itu membuat Momoi terdiam. Lebih baik ia bertanya pada Aomine yang duduk tak jauh dari Fukuda.

"Dai-chan, apa yang terjadi?" ucap Momoi mencoba mencairkan masalah. Aomine hanya menggeleng pelan. Enggan menjawab.

"Ayolah. Aku akan membantumu sebisa mungkin." Momoi mengguncangkan bahu Aomine pelan. Berharap dapat membujuk sahabatnya itu.

Aomine mendesah. Akhirnya ia pun menceritakan apa yang terjadi pada Momoi. Tak lebih dari milik Momoi dan tak kurang dari milik pelatih Seirin. //wat du yu min, Audor?//

Momoi hanya mengangguk mendengar hal itu. Dan ia hanya bisa berkomentar di dalam hati. Menurutnya, baik Fukuda atau Aomine sama-sama memiliki kesalahan.

"Padahal aku ingin memberikannya kejutan," ucap Aomine seraya menutup mukanya dengan buku tulis. Momoi yang mendengar itu terheran-heran.

"Kejutan?"

"Iya. Bukankah lusa adalah ultahnya? Dan sialnya hubungan kami malah seperti ini," ujar lelaki itu. Momoi merasa prihatin dengan nasib teman kecilnya itu.

"Ceritakan padaku rencanamu. Akan kubantu."

Aomine menatap Momoi yang serius akan ucapannya. Membuat lelaki itu mengangguk dan segera mengatur strategi berdua.

*****

Suara gemerisik di luar sana mengganggu tidur siang Fukuda. Hari ini adalah hari libur yang seharusnya menjadi hari kemerdekaannya. Namun sayangnya, itu hanyalah mimpi.

Dengan gontai, Fukuda pun keluar dari rumahnya untuk melihat sesuatu itu. Seandainya kedua orang tuanya tidak pergi, tentu ia akan bisa melanjutkan mimpi indahnya.

Sebuah paket berwarna kecoklatan mengisi kotak surat rumah keluarga Fukuda. Segera Fukuda mengambilnya dan ternyata itu ditujukan untuk dirinya.

"Apa ini?" tanyanya pada dirinya sendiri. Dengan tergesa-gesa, ia pun membongkarnya. Ternyata sebuah majalah basket menyembul dari sana.

"Majalah?" Fukuda kemudian membuka majalah tersebut. Mengingatkannya akan sang mantan yang menyukai majalah walau genrenya na'udzubillah.

Awalnya tak ada yang aneh dari majalah tersebut. Sampai akhirnya Fukuda menyadari bahwa ada beberapa patah kata yang digaris bawahi dengan spidol hitam.

Merasa menemukan sebuah petunjuk, Fukuda pun segera merangkai kata demi kata yang memiliki garis di bawahnya.

"Aku ... minta ... maaf ... aku ... sadar ... aku ... lah ... yang ... salah..." eja Fukuda merangkai seluruh kata di dua halaman yang sudah ia bolak balik berulang kali ini.

Firasat Fukuda tiba-tiba menghangat dengan hal ini. Seketika itu juga ia tahu siapa pengirimnya. Terlebih ketika ia membuka bagian terakhir.

Sebuah tulisan meriah pun bangkit. Membuat Fukuda sedikit terkaget karena itu. Tulisan "Otanjoubi Omedettou!" yang ditulis mentereng membuat Fukuda tak dapat lagi menahan gelak tawanya.

"Hahaha ... aku tahu ini pekerjaanmu, Daiki."

"Itu memang buatanku. Tapi sedikit dibantu dengan Satsuki."

Aomine tiba-tiba berada di depan pintu pagar. Kedatangannya yang entah darimana membuat Fukuda semakin kaget.

"Maafkan aku Mika. Tapi Mai-chan juga tak dapat kulewatkan."

Perasaan yang semula berbunga-bunga di dada Fukuda kembali hancur mendengar hal terakhir. Ini benar-benar seorang fans akut!

"Begitukah? Lalu, untuk apa kau menyiapkan semua ini?"

"Karena aku tahu ada yang harus kubahagiakan di hari istimewa ini."

Jawaban serius dari Aomine itu membuat Fukuda terdiam. Benarkah apa yang ia dengar ini?

Tangan besar Aomine menarik tangannya menuju dada bidang itu. Lalu mendiamkannya beberapa saat.

"Coba rasakan. Mai-chan memang membuatku ketagihan melihatnya. Namun yang mampu membuatku berdetak tak karuan seperti ini hanyalah kau seorang," ucap Aomine dengan tulus.

Fukuda kontan blushing mendengarnya. Yang di depannya ini Aomine Daiki kan? Bukan orang lain yang menyerupai kekasih hatinya itu?

"Daiki, kau sakit?" tangan Fukuda bergerak menyentuh kening Aomine. Walau ia sedikit berjinjit untuk itu.

"Aku sakit karena kau tak mau memaafkanku."

Aomine segera menarik Fukuda ke dalam pelukannya dan berkali-kali meminta maaf. Serta mengucapkan permohonan agar Fukuda kembali menjadi Mika-nya.

Fukuda tak menjawab. Namun senyum yang tersungging lembut serta tangannya yang bergerak untuk membalasnya sudah cukup menjadi jawaban bagi Aomine.

"Otanjoubi Omedettou, Mika. I love you," bisiknya lagi. Dan Fukuda hanya bisa tersenyum di bawah rasa terharu yang ia rasakan.

.

.

.

Nee,

Gomen nasai kalau ceritanya kurang. Dare is done!

[Hiatus] Random [Author's Book]Where stories live. Discover now