Part 23

80.9K 3.5K 42
                                    

Pusing...

Aku menarik napas perlahan, berusaha membuka mataku yang terasa berat. Saat aku berhasil membuka mata yang kulihat hanya langit-langit berwarna putih. Cahaya matahari menerpa wajahku dari sela-sela tirai yang terbuka.

Dimana ini? Apa yang terjadi padaku?

Hawa dingin langsung menyelimutiku ketika mengingat insiden pengiriman bunga itu. Aku menarik napas berkali-kali, berusaha menenangkan diriku sendiri.

Spontan aku menoleh ke sampingku, merasakan sesuatu yang bergerak-gerak di sana.

Dave?

Aku berusaha memfokuskan kedua mataku, tak yakin dengan pemandangan yang aku lihat kini. Dave sedang tidur di sampingku dengan posisi duduk di atas sebuah kursi, sementara kepalanya berada di samping rajang.

Tanpa bisa ku cegah, tanganku terulur untuk mengusap puncak kepala Dave. Sepertinya Dave merasakan usapanku, karena dia mulai menggeliat dalam tidurnya.

"Kamu sudah bangun." Kata Dave padaku. Aku tersenyum melihatnya mengucek kedua matanya seperti anak kecil.

"Maaf aku membangunkanmu." Kataku sedikit menyesal. Dengan penuh perhatian, aku mengikuti gerak-gerik Dave yang berjalan ke arah sisi ranjangku yang kosong dan malah berbaring di atasnya. Aku terpekik kaget saat kurasakan sebelah tangan Dave memeluk pinggangku dan menarikku merapat ke arahnya.

"Da--Dave!"

"Sebentar saja Karin, aku masih mengantuk." Aku hanya bisa menahan napas ketika kepala Dave dengan setengah memaksa menyusup ke leherku. Aku bisa merasakan napas Dave yang mulai kembali teratur. Entah mengapa, aku nyaman dengan posisi kami ini.

"Dave..."

"Hmmm..." Jawab Dave di sela-sela kantuknya.

"Ini dimana?" Akhirnya aku menanyakan pertanyaan yang dari tadi berputas-putar dalam kepalaku.

"Kamarku."

Akhirnya karena kepalaku yang masih sedikit pusing dan rasa nyaman yang kurasakan, aku kembali tertidur dalam pelukkan Dave.

***

"Satu kali lagi." Aku berusaha menepiskan sendok berisi bubur dari hadapanku. Tiba-tiba saja, saat aku bangun Dave sudah tidak ada di ranjang, danhanya dalam hitungan detik pintu kamar terbuka. Dan Dave masuk ke dalamnya sambil membawa sebuah mangkuk berisikan penuh dengan bubur. Entah dari mana dia mendapatkan bubur itu.

"Kenyang Dave..." Aku sengaja memasang wajahku yang paling memelas.

"Yang terakhir, janji..." Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku membuka mulutku dan membiarkan bubur itu bersarang ke dalamnya.

"Nah, anak pintar." Dave tersenyum puas sambil mengusap-usap puncak kepalaku.

"Aku bukan anak kecil." Kataku mencibir ke arahnya.

"Siapa bilang kamu anak kecil? Lagi pula mana ada anak kecil yang bisa di cium seperti ini." Belum sempat aku menyadari maksud kata-kata Dave, tiba-tiba saja bibir Dave sudah mendarat di bibirku. Awalnya ciuman kami hanya kecupan-kecupan kecil sambil di selingi tawa, tapi lama kemalamaan lidah Dave mulai menyusup ke dalam mulutku.

Kami sama-sama melepaskan ciuman kami karena kehabisan napas. Aku hanya bisa menunduk malu ketika Dave menatapku.

Tanpa kusadari, dalam hitungan detik aku sudah berada di dalam pelukkan Dave.

"I love you." Bisik Dave di samping telingaku.

"Love you too..." Jawabku sambil mengeratkan pelukkanku di tubuh Dave.

Rasanya masih seperti mimpi.

Dulu...

Aku berdiri di sampingmu, namun... kamu tidak pernah melihatku

Aku selalu bersamamu, namun... bagimu aku hanya angin lalu

Tapi kini...

Aku berdiri di hadapanmu dan akhirnya kau bisa melihatku

Aku sedikit menjauh darimu dan kau tak lagi menganggapku angin lalu.

***

"Dave... aku mau pulang!" Rengekku pada Dave. Sekarang sudah pukul 13.00 tapi masih belum ada tanda-tanda Dave akan mengantarku pulang.

Sebenarnya, aku sudah merengek-rengek minta pulang padanya sejak beberapa jam yang lalu, tapi selalu saja di jawab 'nanti'.

"Hmm..." Bukannya menjawab Dave malah sibuk memperhatikan televisi yang sedang menyiarkan berita jatuhnya sebuah pesawat.

"Dave..." Aku kembali merengek ke arahnya.

"Sebentar lagi sayang."

Akhirnya aku menyerah dan hanya duduk diam di sampingnya.

Uh! Dave menyebalkan! Aku benar-benar ingin pulang sekarang. Seluruh badanku sudah terasa lengket dan tidak enak. Lagi pula, apa susahnya hanya membukakan pintu apartemennya dan membiarkanku pulang sendiri?

Kalau saja dia tidak menyembunyikan kunci apartemennya, sudah dari tadi aku berlari keluar dari sini.

"Jangan marah."Kata Dave yang sepertinya menyadari kejengkelanku.

"Sayang..." Panggil Dave sekali lagi. Aku tetap bergeming tidak memperdulikan panggilannya.

"Kamu mau pulang?" mendengar kata-kata 'pulang' aku langsung menoleh ke arahnya.

"Ayooo..." Dave langsung berdiri dan mengulurkan tangannya ke arahku. Dengan senang aku langsung menerima uluran tangan Dave.

***

White LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang