Wawancara

19.6K 806 9
                                    

- edited -

V A N Y A :

"Non, bangun. Hari ini kan ada interview."

Seorang ibu pelayan yang sudah aku anggap keluarga sendiri bergerak menggoyangkan lenganku yang masih tidak ingin berpisah dari mimpi. Dalam hati, aku ingin tergelak ketika mendengar accent 'interview' ala sunda yang keluar dari mulut Bi Tatih.

"Iya, bi. Sekarang udah jam berapa sih? Satu jam lagi lah, bi. Vanya masih ngantuk banget,"ujarku. Mataku masih enggan membuka.

"Tiga puluh menit lagi wawancara dimulai, non."

Mataku langsung membelalak. Itu artinya sekarang sudah jam 07.30--tiga puluh menit sebelum interview dimulai. Aku benar-benar terkaget, lantas terlonjak duduk. Mulutku masih menganga terutama saat melihat jam dinding. Jarum detik terus berjalan tanpa berniat menungguku sebentar. Pikiranku langsung kacau.

"Mampus! Vanya telat. Makasih sudah membangunkan Vanya, bi. Vanya tidak usah sarapan, takut semakin telat. Sayang bibi!"seruku sambil berlari ke kamar mandi. Tidak lupa sebelum itu, aku mencium pipi Bi Tatih singkat.

"Oh iya, suruh Pak Bagas panasin mobil. Vanya mau nyetir sendiri aja nanti,"tambahku.

Singkat waktu, aku sudah selesai mandi. Semua aku lakukan dengan sangat terburu-buru--yang penting sudah gosok gigi dan cuci muka. Masalah tidak pakai sabun dan keramas, urusan belakangan. Sesuai yang aku harapkan, Pak Bagas sudah memanaskan mobil. Lelaki berumur kepala empat itu berdiri tepat di pintu seakan menunggu kedatanganku.

"Makasih, pak. Biar hari ini saya yang nyetir sendiri, soalnya sudah telat."

Aku langsung mengambil kunci yang ada di jari Pak Bagas kemudian asuk ke dalam mobil. Dengan kecepatan di atas rata-rata, aku bergegas membelah jalan raya. Untungnya, lokasi calon perusahaan tempat aku bekerja tidak terlalu jauh dari rumah hingga hanya butuh waktu kurang dari lima belas menit, aku bisa sampai di sana.

Untuk sepersekian detik, aku merasa takjub dengan ukuran perusahaan yang jauh melampaui ekspetasiku. Ini sudah sama besarnya dengan perusahaan ayah. Tanpa menunggu lebih lama, aku masuk ke dalamnya--menghampiri seorang resepsionis.

"Mbak, kalau saya mau melamar kerja jadi sekretaris di mana ya?"

"Oh, Mbak Vanya Ananda Jhonson ya?"

"Iya, Mbak Citra,"jawabku sesaat setelah melihat name tag miliknya.

"Langsung ke ruang atasan saja, mbak. Ruangannya ada di lantai 40, disitu hanya ada satu ruangan saja."

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Lantas berlari masuk ke dalam sebuah lift yang kebetulan sedang terbuka. Semua orang yang ada di sana, menatapku aneh. Sementara aku sendiri, tidak terlalu memerdulikan mereka dan fokus menetralkan nafasku yang terengah-engah akibat berlari.

Hanya beberapa menit, aku akhirnya tiba di lantai paling atas. Aku melangkah keluar dari lift dan melihat sekeliling. Ternyata benar kata si resepsionis, cuma ada satu ruangan di lantai ini. Dan ruangan itu sangat besar. Mendadak, rasa gerogi membuatku takut sejenak. Tapi lagi-lagi, aku berusaha menekatkan diri untuk mengetuk kaca bening sebagai batas ruangan itu dengan lingkungan luar.

"Masuk,"sebuah suara bariton keluar dari dalam ruangan. Aku menarik nafas sebentar kemudian berjalan masuk.

"Selamat pagi, pak. Saya mau melamar pek-"ucapanku terputus saat aku menyadari siapa orang yang ada di balik kursi itu. Wajahnya familiar dan tidak mungkin aku lupakan.

"Kok om ada di sini?"

"Heh! Jaga omonganmu. Saya bukan om dan tidak pernah nikah sama tante kamu."

"Yasudah deh, om. Saya mau ajak damai. Saya ke sini untuk melamar jadi sekretaris CEO. CEO-nya ada, om?"

"Hah! Jadi sekretaris saya?"

"Oh, om itu CEO di sini. Emang gak boleh saya jadi sekretaris?"

"Gak boleh."

"Om, terima dong. Saya lagi butuh nih kerjaan,"ujarku dengan wajah memelas.

"Sebetulnya, saya gak perduli sama kamu butuh atau enggak. Tapi saya akan terima kamu,"

L U C A S :

'Untuk balas dendam,'tambahku dalam hati.

"Yeay! Makasih ya, om. Thank you so much,"ucap--aish, aku bahkan tidak tahu namanya siapa. Hal yang membuatku hampir tercengang adalah ia memeluk kemudian. Perempuan yang aneh, nyolot di hari kemarin dan lihat sikapnya sekarang.

"Saya tidak suruh kamu untuk peluk saya."

Dia tertawa sebelum berkata, "kelepasan."

Aku memandangnya malas, beralih melihat berkas-berkas yang sempat ia taruh di atas meja. Aku mencari namanya--Vanya Ananda Jhonson.

TO BE CONTINUED

JANGAN LUPA UNTUK KLIK TANDA BINTANG YANG ADA DI UJUNG KIRI KALIAN, SUPAYA AUTHORNYA SEMAKIN RAJIN.

AUTHOR OPEN BUAT KRITIKAN MEMBANGUN.

KALAU TIDAK MAU KETINGGALAN, YUK FOLLOW! TERIMAKASIH.

-RY-

You Only For Me [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang