"Kau bilang apa?!"

"Pengecut, kalian semua hanya gerombolan pengecut...!" serunya keras-keras, ketenangan hatinya terkikis sudah.

"Kurang ajar, tutup mulutmu! serang...!" seru salah satu dari mereka marah.

Ketiga orang yang dari tadi telah bersiap mulai menyerangnya. Ia hanya bisa menangkis dan membuat mereka saling bertubrukan. Walau bagaimanapun ancaman dari mereka tidak dapat ia sepelekan. Bagaimana bila hal itu benar terjadi? Ia sungguh tidak dapat membayangkan apa saja yang dapat menimpa Yuri.

Tunggu, dimana Yuri? Apa mereka menculiknya?

'Buuuk'

Sebuah tendangan melayang tepat mengenai perutnya, membuat ia jatuh tersungkur ke tanah. Ia mencoba bangkit sambil menahan napasnya untuk mengurangi rasa sakit di sekitar otot perutnya. Dengan sekuat tenaga ia kembali berdiri tegak.

Beberapa orang yang menyerangnya tampak menertawakannya. Ia kembali memandang tajam kepada mereka.

"... lima, enam, tujuh, delapan, sembilan ..." hitungnya dihati.

Ini benar-benar tidak adil. Satu orang dengan tangan kosong melawan sembilan orang bersenjatakan alat-alat pukul. Benar-benar tidak sportif. Tanpa bepikir lagi ia mengambil sebuah tongkat besi yang ada di dekatnya. Tongkat itu milik salah satu dari mereka yang sekarang sudah tergeletak pingsan tidak jauh darinya.

"Kau benar-benar ingin gadis itu celaka hah?!" maki salah satu dari mereka, "Serang ...!"

Lima orang diantara mereka maju bersama. Tenaganya benar-benar sudah terkuras. Tetapi ia tidak mau menyerah begitu saja. Menyerah sama saja dengan bunuh diri.

***

Yuri memeluk tas kuningnya erat-erat. Mata coklatnya tetap waspada memerhatikan keadaan sekelilingnya yang tampak sudah sangat sepi.

Ia baru ingat, selama ini ia belum pernah berdiri di gerbang belakang sekolah sendirian seperti ini. Ia selalu pulang lewat gerbang depan yang tepat menghadap langsung ke jalan raya.

Sangat jarang siswa-siswi yang pulang melewati gerbang belakang sekolahnya ini. Kecuali satu-dua orang saja yang kebetulan letak rumahnya bisa ditempuh lewat jalan-jalan berbelok disekitar benteng-benteng gedung perkantoran yang ada di dekat sekolahnya ini.

Sekilas ia melirik jam tangannya. Sudah selama ini ia menunggu tetapi kenapa Ryu belum muncul juga?

Biasanya Ryu tidak pernah terlambat, kemana dia? Tanya batinnya.

"Kyaaa ...!" sebuah tangan yang tiba-tiba menyentuh bahunya membuat Yuri berteriak karena terkejut. Hal itu membuatnya repleks memukulkan tas kuning miliknya pada si empunya tangan.

"Aww-aww ...! Hei, ampun ...! Hentikan, ini aku ...!"

Yuri kembali memeluk tas kuningnya. Ia mengenali siapa pemilik suara itu. Sambil mengurut dadanya ia mendelik, "Yoshi, kau mau bikin aku sakit jantung hah? Bikin kaget saja."

Yoshi merapikan penampilannya yang agak berantakan sambil berusaha tersenyum, namun matanya tampak gelisah dan terus sibuk melihat kebelakangnya. Yuri yang penasaran jadi ikut-ikutan. Ia merasa sangat heran melihat kening Yoshi yang berkeringat.

"Hei, ya ampun. Yoshi? Apa yang terjadi padamu? Pi-pipimu ..." Yuri baru menyadari kalau pipi teman suaminya itu biru lebam.

"Kenapa kau belum pulang? Mana Ryu?" tanya Yoshi tanpa menghiraukan pertanyaan Yuri.

"Ryu belum datang."

"Apa? Tidak mungkin, bukankah dia sudah berangkat dari sejam yang lalu? Kami keluar dari apartemen kalian bersama," wajah Yoshi mendadak jadi super serius dan tegang.

Yuri menggeleng pelan, "benarkah? Lalu, kemana dia?"

Rasa khawatir yang dari tadi dirasakannya berkembang menjadi berlipat-lipat ganda.

Yoshi terdiam tampak sibuk berpikir sambil menggigiti sisi telujuknya.

"Hei, itu dia ...!"

Yuri dan Yoshi menoleh bersama karena mendengar seruan keras tidak jauh dari belakangnya itu. Wajah Yoshi mendadak jadi sangat pucat sekarang. Cepat-cepat ia menarik tangan Yuri, membawa gadis itu berlari menghindari preman-preman yang dari tadi mengejarnya. Siapa sangka ia bisa berlari sejauh ini. Saat hendak menuju tempat kuliahnya mobilnya diikuti oleh mobil lain. Dengan nekad ia mengerem mobilnya tiba-tiba kemudian segera berlari tanpa arah.

Yuri tampak kerepotan mengimbangi langkah-langkah Yoshi. Namun ia tidak sempat protes, tepatnya tidak bisa protes. Yoshi terus membawanya berlari tanpa henti, mereka memasuki jalan-jalan kecil diantara benteng-benteng gedung perkantoran yang sangat sepi.

"Dengar," napas Yoshi terengah-engah. "Apapun yang terjadi jangan keluar dari sini sendiri. Tunggu aku, Ryu, Kenzie, Toru atau Kobe menjemputmu mengerti?"

"Yoshi, ada apa ini? Siapa mereka?" tanya Yuri tidak mengerti sambil melihat sekitarnya.

Para preman itu sepertinya tertinggal jauh. Yoshi menyuruh Yuri bersembunyi diantara bak sampah dan drum-drum berukuran besar yang terdapat di sudut jalan sempit yang mereka lalui.

"Jawab aku Yuri, tidak ada waktu untuk menjelaskan. Ini sangat gawat dan berbahaya. Jangan keluar sendiri dari sini mengerti?" tanya Yoshi sekali lagi dengan tegas.

Yuri yang masih belum mengerti dan merasa agak takut terpaksa mengangguk. Ia belum pernah melihat teman suaminya bersikap seperti ini.

Melihat Yuri yang mulai ketakutan sambil meringkuk membuat Yoshi berusaha tersenyum, "tenanglah, jangan takut. Nyonya Yoroshii harus tegar dan kuat. Ingat pesanku, aku akan menghubungi yang lain supaya bisa cepat mengeluarkanmu dari sini," katanya kemudian kembali berlari setelah menggeser beberapa drum untuk menyembunyikan tubuh Yuri.

"Kemana dia?"

"Ah, itu-itu dia lari kesana ...!"

Yuri duduk meringkuk menyembunyikan tubuhnya saat mendengar suara seruan diikuti oleh suara-suara langkah sepatu yang semakin mendekat ke tempatnya.

Yuri mulai menahan napas ketika mereka semua melewati tempatnya sambil terus berseru. Tetapi rasa penasaran membuatnya nekad mengintip. Ia mulai menghitung jumlah orang-orang yang tengah mengejar Yoshi.

"Sebelas?" lirihnya kaget, "ada apa sebenarnya ini?" tanyanya sambil kembali meringkuk.

Hatinya semakin gelisah. Ia terus memanggil nama Ryu dalam hati, berharap suaminya itu baik-baik saja dan segera datang menjemputnya.

***

Early weddingWhere stories live. Discover now