Pernyataan Sakti

66 8 0
                                    

"Makanlah! Setiap hari kau hanya menangis saja. Apa kau tidak lelah, Nona?" Pertanyaan mencibir dengan diikuti decakan itu tak terlalu kuhiraukan.

"Tak perlu so memerhatikanku. Bagaimana mungkin aku tidak menangis? Sedangkan tuduhan itu menyeretku ke tempat buruk ini." Aku balik bertanya pada petugas polisi berusia sekitar 50 tahun itu.

Silalahi. Begitulah nama yang kudapati di seragam kepolisiannya.

"Kau tahu, Nona? Seharusnya pembunuh dibayar dengan dibunuh. Bukan hanya dipenjara." Matanya mendelik, dengan bibir menyeringai. Cih!

Aku memilih diam saja. Rasanya kata-kataku akan percuma jika meladeni orang sepertinya. Dia seperti tak memiliki hati sama sekali. Mencibir pada seorang gadis berusia 22 tahun, yang hampir gila ini.
.
Kebungkamanku membuatnya berhenti menceracau dan beringsut meninggalkan sekitar sel-ku. Air mata kembali terjatuh hangat menuruni pipi. Menyekanya tak pernah henti. Namun, dia pun mengalir lebih deras. Lagi, dan lagi.
.
Sulit memang, jika harus meminta keadilan. Tak ada orang yang mau menolong gadis sepertiku. Ta-tapi, di mana Sakti? Biasanya dia selalu menjadi malaikat yang membantuku. Menyelami beban demi beban hingga aku kembali menepi.
.
Sudah sangat lama--sejak ditahan--Sakti tak mengunjungiku. Aku tak meminta banyak padanya. Meski hati kecil meronta memohon agar dia bisa mencarikan pengacara untukku. Ya, untuk merobek seluruh ketidakadilan ini.
.
Harapanku pada Sakti, dia datang menjenguk. Membawa kabar gembira tentang ibu. Haha! Aku ingin tertawa gila saat kembali mengingat ibu. Sudah cukup lama usahaku untuk mendapatkannya. Tapi tak pernah ada hasilnya. Muak!

***

Bulan kedua hidup sebagai tersangka pembunuhan. Hm, lebih tepatnya tuduhan pembunuhan. Masih tak ada orang yang menjengukku. Mungkin saja mereka sudah jijik pada gadis ini.
.
"Nyonya Aresha, ada yang ingin mengunjungimu." Seorang polisi mendekat ke arah tempatku. Aku bangkit dari sudut penjara.

"Siapa?" tanyaku, penuh keheranan.

"Tuan Sakti."

Mendengar nama itu, dahiku mengkerut penuh. Mata terasa panas seperti tertusuk cabai. Benarkah nama yang disebutnya? Sakti menjengukku setelah sekian lama dia menghilang. Menghempasku seperti debu jalanan.
.
"Apa kabar?" tanya Sakti dengan senyum mengembang.

"Ke mana saja selama ini, Sak? Akhirnya kau menemuiki juga. Aku takut," akuku, sembari menahan tangis.

"Aku sibuk, Re. Maaf baru sempat menjengukmu." Sakti menatapku lekat.

"Aresha ...," lanjutnya.

"Hm, kenapa?"

Ada sesuatu yang berbeda dari binar matanya. Binar yang tak pernah kulihat sebelumnya. Apa ada sesuatu yang serius? Hatiku begitu bertanya-tanya.

"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu," kata Sakti, menggenggam tanganku.

"Katakan saja," balasku.

"Ini tentang Zen."

"Ada apa dengan orang itu? Apa dia sudah mengakui jika dia mengambil Ibuku? Atau dia menemuimu dan mengatakan jika dia menyesal telah memenjarakanku?" Aku berdecak membayangkan wajah Zen. Cih!

"Sebenarnya ... Zen bukanlah orang yang sudah membawa Ibumu lari, Re. Melainkan aku. Ya, aku, Sakti."

"Tak perlu bergurau, Sakti."

"Aku sama sekali tidak bergurau. Aku serius, Re. Dan soal kau dipenjara, semuanya memang sudah aku rencanakan. Bukan Zen pelakunya. Tapi aku, Re. Aku!"

Plaaakk!!

Aku menampar Sakti sekeras mungkin. Tamparan yang tak seberapa dibandingkan dengan pengakuan menjijikannya itu. Tanganku mengepal menahan amarah. Entah ... Rasanya aku sudah dikhianati oleh makhluk yang satu itu.

"Tampar saja aku sepuasnya. Kau berhak menghukum sikap burukku itu. Tampar aku, Aresha!" Sakti mencengkeram tanganku. Namun aku menepisnya.

"Aku tak ingin menampar orang yang sudah mengecewakanku. Sekarang, jelaskan semuanya! Aku ingin tahu alasan apa yang kau punya," tantangku dengan tanpa berhenti menatapnya tajam.

"Oke, aku akan menjelaskan semuanya. Aku tak ingin kau menyukai Zen. Bahkan, aku ingin kau membencinya mati-matian." Kata-kata itu masih sulit kupercaya. Argh!

"Kenapa, Sak? Kenapa kau seperti ini?" Aku menarik kerah kemejanya. Air mata sudah memenangkan pertempuran.

"Karena Zen ... Dia adalah ...."

Gadis yang TerbelengguWhere stories live. Discover now