Zen Amar

89 10 11
                                    

Sebulan setelah kesepakatan antara aku dengan Zen, akhirnya ibu bisa kembali ke rumah sakit itu. Dirawat dengan baik dan penuh tanggung jawab oleh para perawat dan dokter.
.
Kios yang kujadikan tumpuan mencari penghasilan, tak ditutup sepenuhnya. Meskipun pundi-pundi rupiah terus mengalir ke rekening pribadiku.
.
Pekerjaanku kini menjadi seorang penulis berita. Lebih tepatnya berita kebohongan. Aku berada di bawah naungan sebuah koran lokal ilegal di kotaku. Setiap minggu, keuntungan hingga puluhan juta rupiah masuk ke dalam rekening sang pendiri. Siapa lagi kalau bukan Zen?
.
Tak heran jika dia memiliki mobil mewah dengan harga fantastis, di usianya yang baru menginjak 23 tahun. Tiga tahun lebih tua dariku. Tapi aku tak berniat memanggilnya dengan embel-embel 'kakak'. Ck, itu menjijikan.
.
Aku merasa berdosa setiap kali mengingat ibu dan pekerjaan ini. Uang perawatannya di rumah sakit, kupenuhi dari hasil kebohongan.
Pekerjaan seperti ini baru kuketahui setelah dua hari pertemuanku dengan Zen tempo hari.
.
Ya, hari kedua itu dia mengirimkanku rincian pekerjaan. Tak ada celah untuk mundur. Karena aku terlanjur menandatangani kontrak dengannya.
Cih! Aku merasa benar-benar dibodohi oleh makhluk bernama Zen.
.
Pemuda bertopeng menyeramkan, yang telah menjerumuskan orang sepertiku ke dalam lembah pekerjaan haram ini.

"Bagaimana berita yang kuminta? Apa sudah beres?" tanya Zen, saat berada di ruang kerjaku. Mata beringasnya menyelidik ke arah laptop.

"Sudah," jawabku, sedikit risih dengan sikap sok detektifnya itu.

"Mudah, bukan?" cibirnya seolah menjadi jawara.

"Aku butuh uang tambahan untuk Ibu," lanjutku memutar kursi kerja ke arahnya.

"Uang? Itu bukan persoalan penting bagiku. Asal kau mengikuti persyaratan yang kuajukan." Zen menyeringai. Aku mengernyitkan dahi dan menebak pekerjaan haram apa lagi yang akan dilimpahkannya padaku.

"Apa?"

"Kau harus menulis sebuah artikel tentang keluargamu. Ibu yang gila, Ayah yang dibunuh, dan Kakakmu yang bunuh diri. Aku yakin ... Jika artikel itu ditulis, kau akan mendapatkan pemasukan jauh lebih besar dari saat ini." Mata hitamnya mengerling dan dia tersenyum seolah mengejek.

Mendengar permintaan gilanya itu, seluruh amarahku seketika mengisi hati. Di mataku, Zen bukanlah manusia berhati mulia. Melainkan sebuah patung yang mati, seperti hati nuraninya.

"Mengapa rona wajahmu berubah menjadi seperti itu?" katanya, mengulum senyum.

"Aku tak mau jika harus melakukan hal sebodoh itu! Itu sama saja dengan menghancurkan nama baik keluargaku sendiri," tolakku tanpa banyak berpikir.

"Haha ... Dalam keadaan seperti ini saja, kau masih memikirkan nama baik keluargamu?" kekehnya mengisi seantero ruangan.

"Kau itu bodoh atau tak memiliki otak?!" lanjut Zen memekik tepat di hadapan wajahku.

Aku menutup mata karena pekikannya begitu kuat. Sebisa mungkin, aku mencoba menahan amarah yang sudah naik di ubun-ubun. Tanganku terasa panas karena mengepal sejak awal. Benci! Aku membenci pemuda di hadapanku ini!

"Apa yang kau inginkan dariku?" Aku membentaknya dengan sisa tenaga. Mataku terasa berair dan sebentar lagi mungkin akan menangis.

"Suatu hari nanti, kau pasti tahu apa yang kuinginkan darimu. Untuk sekarang, bekerjalah dengan baik. Lakukan apa yang kuperintahkan dan jangan membantah! Kau harus ingat jika ada kontrak yang telah kau tanda tangani. Begitu, bukan Aresha?"

Zen berlalu membanting pintu. Aku menghempaskan diri di atas kursi kerja. Beban ini seolah semakin bertambah dengan perintah gilanya itu.
.
Beginikah seharusnya aku diperlakukan? Untuk menyembuhkan ibu saja, aku harus mengorbankan seluruh kekuatanku.
.
Sikap Zen benar-benar tak bisa kupercaya. Saat pertama kali bertemu dengannya di restoran, kukira dia adalah pemuda yang baik. Penuh kasih sayang, pengertian, dan perhatian. Tapi ternyata penilaianku tak ada yang benar.
.
Rasanya harga diri ini sudah diinjak-injak olehnya. Seenaknya dia menyuruhku mengerjakan apa yang disukainya, tanpa memikirkan perasaanku sebagai wanita.  Jika memang dia tak bisa mengerti perasaan seorang wanita, setidaknya mengertilah sebagai seorang manusia yang memiliki hati.

Gadis yang TerbelengguWhere stories live. Discover now