Better Stop It All

2K 405 35
                                    

Sasha

Seumur-umur selama gue hidup, nggak pernah sekalipun gue bayangkan kalau gue bakal terlibat dalam kisah sedrama ini. Kisah yang biasanya cuma gue saksikan di layar kaca, layar lebar, atau mungkin sekedar barisan tulisan di internet serta kumpulan gambar dalam komik online, sekarang malah terjadi di dalam hidup gue.

Kejadiannya memang udah berlalu dua hari yang lalu, tapi tetep aja, adegan dramatis saat Aska dan Reksa menoleh ke arah gue tepat setelah pertandingan basket selesai terus menerus menghantui pikiran gue.

Nggak, gue nggak merasa affected dengan adegan tersebut ataupun kelakuan kekanakan mereka di hari itu. Gue justru malah merasa kesulitan, konsentrasi gue buyar karena mikirin rencana apa yang sebenernya mereka buat di belakang gue. Ditambah lagi perkataan Kania waktu itu juga ikutan terngiang-ngiang di telinga gue setiap ada kesempatan.

'They're betting on you.'

Seriously, if they really are betting on me, gue rasa gue nggak bisa tinggal diam dan harus cepat-cepat menghadapi mereka sebelum semuanya berjalan terlalu jauh. Karena sesungguhnya gue bukan barang yang bisa dijadikan taruhan, bukan pertandingan yang biasa mereka tonton. My love life isn't something to be joked on. It's a serious and private stuff.

"Ah, gila." Gue akhirnya menyuarakan pikiran gue setelah beberapa menit diganggu dengan pikiran tersebut sampai akhirnya beberapa temen kantor menoleh ke arah gue.

"Kenapa lo, Mir?"

"Gakpapa." Jawab gue singkat sambil memberikan senyum tipis sebelum kemudian berdiri dan beranjak meninggalkan kursi gue untuk pergi ke rooftop. Gak cuma untuk menghirup udara segar, tapi juga buat menyelesaikan hal yang terus menerus bikin gue merasa nggak nyaman ini.

Sambil jalan gue mengirim pesan singkat ke Aska dan Reksa untuk segera menemui gue disana secepatnya, yang untungnya direspon positif, dan gue yakin gue nggak perlu menunggu lama-lama.

-

Sekitar delapan menit kemudian, Aska dan Reksa muncul di depan gue, mereka keliatan bingung karena pertemuan ini karena terus memperhatikan satu sama lain.

"Kenapa, Mir?" Aska jadi yang pertama bergerak buat mengklarifikasi tujuan gue mengundang mereka berdua, keliatan ada ekspresi bingung sekaligus khawatir di wajahnya. "Gue kira cuma mau ngobrol sama gue aja."

"Enggak. Gue mau ngomong sama kalian berdua." Ucap gue dengan tegas. "Can you both be honest to me?"

"Tentang apa?" Giliran Reksa sekarang yang angkat bicara. Mendengar pertanyaannya, gue cuma bisa memberikan pandangan yang gue harap dia mengerti apa artinya. "Apa, Sha. Ngomong dulu. Gue nggak bisa nebak-nebak gitu."

"Oke." Gue menarik napas dalam-dalam demi meredam emosi yang udah mulai bikin dada gue sesak. "Lo berdua ada rencana apa sih sebenernya?"

"Rencana?" Aska keliatan bingung sekarang, dan entah kenapa gue merasa dia bener-bener bingung dan nggak paham apa maksud omongan gue.

"Alright, gue nggak tau kalian bikin rencana atau nggak, atau gue nggak tau kalian bikin perjanjian apa terkait gue. Tapi gue mohon hentikan, apapun itu. Tolong banget."

"Is it because of  the basketball game?"

"Nggak -- oke, iya, tapi tingkah kalian juga udah bikin gue curiga."

"Mir, I seriously didn't mean to. Lo tau sendiri kan setiap tahun juga gue selalu ikut basket." Jawab Aska sebelum kemudian menoleh ke Reksa. "Gak tau kalau Reksa."

"Terus?" Gue mengalihkan pandangan gue ke Reksa yang keliatannya lagi sibuk mencari-cari jawaban. "Reksa? Lo punya jawaban nggak?"

Ada sekitar 30 detik penuh dia terdiam sebelum akhirnya memberikan jawaban yang bikin gue memutar bola mata karena jengkel.

Reksa

"Gak ada, gue cuma main aja kok, disuruh sama CEO."

Iya, cuma itu jawaban yang bisa gue berikan buat Sasha. Karena gue yakin opsi lainnya akan membuat dia melempar balok kayu terdekat ke arah gue, dan gue masih mau hidup.

Opsi lain tersebut adalah nanyain dia soal pilihan antara gue atau Aska untuk yang kedua kalinya.

Sepenasaran-penasarannya gue terkait jawaban tertulus Sasha, gue sadar betul pertanyaan tersebut bener-bener menjengkelkan kalau ditanya lebih dari satu kali bahkan dalam jangka waktu yang berdekatan. Apalagi Sasha adalah tipe orang  yang cepet merasa jengkel.

"Lo yakin?" Tanya Sasha yang sekarang udah menatap gue sambil menyilangkan kedua lengannya. Tatapannya kali ini bener-bener penuh tuntutan dan gue nggak pernah melihat tatapan seintimidatif itu seumur gue dari perempuan manapun.

"Emangnya lo mau denger jawaban jujurnya?"

"Ya, Reksa, gue nanyain lo kayak gini bukan dengan harapan gue bisa denger jawaban yang udah lo modifikasi sedemikian rupa. Lo nggak liat apa gue udah secapek ini sama lo berdua?"

Gimana dong? Apa gue bener-bener harus mengambil resiko dilempar pake balok kayu sekarang? Gue jadi agak benci sama diri gue sendiri karena belakangan ini udah berpikir dengan tidak matang, gue merasa mundur, merasa balik ke masa remaja dimana pikiran gue cuma dipenuh hal-hal bodoh yang, seharusnya, sekarang udah gue pahami betul bagaimana nggak bagusnya mikirin hal sepele kayak gitu.

"Oke. Kalau gue tanya untuk kedua kalinya, lo milih gue atau Aska? Lo mau jawab nggak?"

"Astaga." Itu dia jawaban yang keluar dari mulut Sasha, bersamaan dengan ekspresi nggak percaya yang lebih parah dari waktu pertama kali gue menanyakannya. Aska pun menunjukkan ekspresi yang sama dan gue yakin dia sekarang berpikir yang aneh-aneh tentang gue, mungkin menuduh gue sebagai anak kecil yang terjebak di dalam tubuh seorang pria dewasa di dalam hatinya.

"Lo nanya apaan sih, Sa." Ujar Aska, yang diikuti helaan napas berat dari Sasha.

"Gue udah jawab kan waktu itu? Aska."

"Hah?" Masih Aska yang keliatan kaget dan nggak dibuat-buat. "Mir? Ini milih apaan sih? Milih buat nganterin pulang? Milih buat pergi ke Dufan bareng? Milih apaan?"

"Ska, jangan pura-pura bodoh gitu deh." Cetus Sasha sebelum kemudian menatap gue lagi. "Kenapa sih lo nanyain itu terus? Lo lupa?"

"Nggak, Sha. Gue mau tau jawaban lo lagi. Dan kali ini bukan karena siapa yang paling butuh, tapi berdasarkan perasaan lo sendiri."

"Ya buat apa? Untungnya apa buat lo?"

"Lo mau gue dan Aska berhenti bersikap aneh begini karena lo kan? Lo harus stop bikin gue dan Aska bingung."

"Bingung?"

"I know you know what I mean, Sha."

Sama seperti reaksi gue waktu dia menanyakan jawaban gue atas pertanyaannya, Sasha juga mengambil beberapa saat untuk berpikir, mungkin kali ini lebih lama karena gue mulai merasa gelisah -- mungkin Aska juga, atau malah lebih parah.

Selama Sasha berpikir, gue pun ikut terdiam karena sibuk menganalisis, kenapa segitu susahnya Sasha menentukan siapa yang dia pilih diantara gue dan Aska? Apa dia bener-bener menyimpan perasaan buat kami berdua? Atau justru, mungkin, dibalik sikap tak acuhnya, sebenernya dia termasuk orang yang sangat memikirkan perasaan orang lain? Mungkin dia nggak mau melukai perasaan salah satu dari kami? Apalagi Aska. Gimana kalau sebenernya dia milih--

"Nggak. Gue nggak akan jawab yang ini."

Astaga.

"Kenapa?"

"Gue mohon kalian berhenti aja 'bersaing' buat gue. Sesederhana itu, kalian bisa kabulin kan?"

"Mir." Aska tau-tau megang tangan Sasha yang baru aja mau beranjak pergi. "Gue janji gue bakal memperjelas semuanya supaya lo nggak pusing lagi, tapi lo sabar, oke?"

Gimana maksud Aska?

Memperjelas apa...?

 Astaga, kenapa gue nggak mengerti sama kisah gue sendiri sih? Sebenernya siapa tokoh utama disini? Siapa yang sebenernya memulai cerita ini sih?

InsentientWhere stories live. Discover now