The Way

2.9K 538 30
                                    

Sasha

"Jadi tersangkanya bukan bos lo kan?"

"Ya."

"Jadi siapa?"

"Makanya lo tuh dateng dong ngurusin kasus lo sendiri."

"Ya mana bisa, pinter."

"Hhh, udah ah. Gue banyak kerjaan nih. Cepet sembuh kek, bokek gue naik Uber mulu."

"Yang suruh lo naik Uber siapa? Bareng Aska lah! Gratis."

"Ck." Capek. Gue langsung menutup sambungan teleponnya dan memijat kepala gue. Sekarismatiknya Nagata saat menulis atau saat menjelaskan pemikirannya tentang suatu hal, tapi saat berargumen sama gue, semuanya langsung luntur. Cuma ada Nagata yang kekanakan dan menyebalkan, bahkan lebih dari Abi, lebih dari Aska yang sekarang lagi mainan gelembung sabun di dalam ruangan.

"Ska, sumpah, itu tuh nanti meja lo licin." Ujar gue pelan, berusaha keras membujuknya supaya berhenti bersikap kayak anak kecil, tapi dia tetap aja sibuk meniup gelembung-gelembungnya.

"Niup gelembung tuh bisa mengurangi stress." Katanya sambil tersenyum lebar menatapi gelembung-gelembung yang beterbangan di atas kepalanya, bahkan ada yang udah sampai ke meja anak-anak lain, tapi anehnya mereka nggak protes--malah ikut memandangi dengan antusias.

"Aska, plis."

"Ih, Mir. Liat! Gelembungnya hinggap di jari gue hehehehe."

Melihat ekspresinya yang penuh sama kebahagiaan murni yang sederhana, akhirnya gue menyerah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Melihat ekspresinya yang penuh sama kebahagiaan murni yang sederhana, akhirnya gue menyerah. "Iya, iya. Hinggap." Udah lama juga nggak lihat Aska sesenang itu sejak Mamanya sibuk bolak-balik rumah sakit. "Nyokap lo udah baikan, Ska?"

"Hah?" Dia akhirnya menoleh ke arah gue dan membiarkan gelembung kecilnya meletus. "Iya udah, udah mendingan banget."

Pantes aja dia sebahagia ini. "Gelembungnya beli dim--"

Kata-kata gue tiba-tiba aja terputus waktu gue melihat pemandangan yang nggak seharusnya bikin gue speechless, karena, ya ngapain aja gitu. Nggak penting juga untuk gue, mungkin gue kaget aja karena baru pertama kali melihat intimacy yang seperti itu di kantor.

"Lo liatin apa sih?" Samar-samar gue dengar suara Aska yang mulai grasa-grusu bangun dari kursinya. "Ohhhhh. Hehehe. Cemburu nih ye."

"Apaan sih. Mulai deh lo."

"Lo mancing mulu sih."

"Siapa yang mancing, gak ada danau disini."

"Dih??" Aska langsung berlari kecil dan duduk di meja gue, seperti biasa, demi memperhatikan gue lekat-lekat. "Amira Sahasika baru aja bikin lelucon??"

"Lelucon apaan." Gue langsung mendorong bahunya supaya dia sadar kalau dia udah melewati batas jarak aman, lagian lagi ada jerawat di pipi kanan gue, gue nggak suka kalau jerawat gue keliatan jelas di mata orang. "Bener kan, nggak ada danau, ngapain mancing."

Aska pun langsung mengeluarkan tawa yang sama sekali nggak natural sebelum kemudian menepuk punggung gue pelan. "Mir, lo tuh kapan sih nggak keliatan stres? Santai dikit kenapa menjalani hidup?"

"Alah, ngomong aja sama kaca lo, Ska." Gue langsung menatapnya tajam. "Kalau sendirinya masih kompetitif dan ambisius nggak usah nyuruh gue hidup santai."

"Ye, seenggaknya gue menjadi seseorang yang kompetitif dan ambisius dengan cara yang asik." Jawabnya sambil mulai mengaduk botol gelembung sabunnya lagi. "Btw ya, Mir, jangan denial mulu lah."

"Siapa yang denial sih? Denial tentang apa pula."

Aska cuma menggerakkan dagunya ke arah ruangan Reksa yang kosong--karena orangnya baru aja lewat tadi, entah mau kemana, pulang mungkin. "Your feelings for him, I can see it really well that you're now into him."

"Please explain." Tantang gue. Ya kalau memang dia melihatnya seperti itu maka gue mau tau sikap yang mana aja yang bisa diinterpretasikan demikian, karena gue sendiri merasa udah cukup jahat ke Reksa, apalagi di pertemuan terakhir kita waktu itu dimana gue marahin dia demi belain Aska. Mana ada ceritanya gue 'suka' sama Reksa?

"Nanti juga lo sadar sendiri, Mir. Nggak perlu lah gue yang sadarin."

"..."

"Alright, the way you look at him. That already explains a lot."

"Cuma karena itu?"

"Lo paham, Mir." Nada bicara Aska tau-tau jadi serius, dia juga udah meletakkan botol kebahagiaan tadi jauh dari sisinya.

"Apanya?"

"Lo, seharusnya, paham kenapa gue bisa tau semuanya dari tatapan lo."

"Kenapa?"

Aska bukan orang yang sabar, sama sekali bukan. Meski sering bercanda, dia juga pernah marah, bahkan sama sering dengan intensitas bercandanya. Dan mungkin kali ini dia bakal marah sama gue. Gue bisa lihat dari caranya mulai menyibak rambut ke belakang sambil memejamkan mata dan menghela napas berat, sebelum kemudian menatap gue lurus-lurus.

"Sekarang gue makin yakin kalau lo bener-bener fall head over heels for him."

Gue sering nggak ngerti omongan Aska karena kadang dia mengambil cara yang terlalu sulit untuk mengkomunikasikan sesuatu, dan ini adalah salah satu momennya. Gue cuma bisa mengerutkan dahi karena sibuk memikirkan maksud kalimat Aska.

"Maaf ya, Ska. Bukan maksud mau bikin lo marah." Seumur-umur gue nggak pernah melunak kayak gini ke orang lain kecuali ke orangtua gue dan adik gue. Tapi sekarang Aska lagi menyeramkan banget, jadi gue rasa gue harus begitu. "Tapi gue beneran nggak ngerti maksud lo."

Aska akhirnya turun dari meja gue dan menepuk puncak kepala gue pelan. "Nanti, kalau lo udah admit, gue kasih tau maksud gue apa. Atau kalau waktunya tepat."

Ketika Aska akhirnya pergi dari hadapan gue, gue langsung terdiam dan sibuk dengan pikiran gue sendiri. Memikirkan kenapa Aska bisa tau cuma dari tatapan gue, emang gimana cara gue menatap Reksa? Rasanya biasa aja?

Tepat saat gue memikirkan hal tersebut, Reksa lagi-lagi lewat, kali ini sambil membawa kantong plastik besar yang sepertinya berisi makanan, dan dia sempat menoleh ke arah gue untuk menyunggingkan sedikit senyum yang sayangnya nggak gue balas karena gue sibuk berpikir.

Berpikir kenapa matanya yang kelihatan sayu karena monolidded itu bisa-bisanya memancarkan keceriaan yang lebih dari gue, yang ukuran matanya sedikit lebih besar dan double-lidded pula.

Berpikir kenapa badannya yang nggak terlalu tinggi dan nggak terlalu buff itu masih bisa menunjukkan kesan tegas.

Berpikir kenapa bibirnya yang tipis itu bisa menunjukkan senyum yang hangat sementara gue selalu aja kelihatan jahat saat tersenyum dengan bentuk bibir yang kurang lebih sama.

Berpikir kenapa gue memperhatikan sedetil itu sebelum kemudian menoleh lagi ke Aska yang sekarang udah mulai terlihat seperti staf Finance biasa lagi, bukan anak kecil yang main gelembung tadi.


Mungkin, mungkin gue paham sekarang apa maksud Aska.

Mungkin. Gue nggak yakin juga karena mungkin aja Aska memikirkan hal yang lain.

InsentientWhere stories live. Discover now