Knowing More

6.4K 834 73
                                    

Lobby The West, 21.10

Gue baru aja mau nge-tap kartu akses gue ketika tiba-tiba gue denger suara bernada kecewa dari sebelah lift. Akhirnya gue memutuskan untuk mundur lagi dan tersenyum ke satpam yang tadinya udah siap menyambut gue dan bilang, "Malam, pak Reksa, hati-hati di jalan."

Ternyata itu suara kecewanya Sasha.

"Gitu ya, yaudah deh. ... . Gakpapa kok, Ta. ... . Palingan naik Uber, masih banyak kok jam segini. ... . Iya, ngerti, semangat nulisnya ya, semoga editor lo nggak bawel-bawel terus. ... . Gakpapa, dah."

Hmm, kasian, kayaknya dia kehilangan supir jemputannya.

Maksud gue sepupunya yang sering bolak-balik gedung ini cuma buat nganterin dia sampai gue kira itu pacarnya.

Karena sibuk sama pikiran gue, gue sampai nggak sadar kalau Sasha udah jalan mendekat ke arah gue. Untungnya gue sadar sebelum dia tau keberadaan gue, nggak lucu kan kalau gue ketauan nguping obrolan bawahan gue sendiri.

Gue langsung mundur mendekat ke pintu lift dan pura-pura baru keluar tepat saat Sasha ngelewatin gue.

"Sasha?" Nggak ada yang tau betapa besar usaha gue untuk nggak terlihat seperti orang yang habis nguping.

"Pak." Dia membalas dengan simpel kemudian jalan lagi buat nge-tap kartu aksesnya.

Gue pun melakukan hal yang sama dan sok basa-basi, "Pulang naik apa?"

"Uber, Pak."

"Malem-malem gini? Gakpapa emangnya?"

"Udah biasa kok."

"Rumah lo masih yang dulu?"

Akhirnya, setelah menghindari kontak mata sama gue, kali ini dia nengok, "Yang dulu?"

"Inget kan kita satu TK? Rumah lo dulu pasti deket sama TK kita kan? Nggak mungkin dong anak TK sekolahnya jauh dari rumahnya."

"Mungkin aja, keponakan saya TK nya jauh dari rumah."

Sasha ini, masih aja menyebalkan, dingin, nggak tau caranya ngobrol dengan baik sama orang, persis Sasha waktu TK.

Tapi sayangnya gue nggak mudah dipatahkan sama sifat-sifat kayak gini.

"Tapi rumah lo deket kan sama TK kita?"

"... Iya."

Tepat setelah dia bilang iya, mobil gue pun tiba di depan lobby, dibawa sama petugas parkir gedung. Corporate officer privilege.

"Bareng gue aja, rumah kita deketan berarti, Uber masih surge pricing pasti, ntar mahal."

Tanpa memikirkan kebaikan gue barang sedetikpun, dia langsung menggeleng, "Gakpapa, ada uangnya kok. Makasih, Pak."

Nggak, gue gak bakal nyerah. Ini bukan demi modusin dia, gue cuma pengen memperoleh maaf dari dia atas kejadian 22 tahun yang lalu.

"Udahlah, gue maksa. Lagian kita kan pernah jadi temen."

"Pernah." Katanya tajam. "Gue nggak tau Wiraditya Bahuraksa tumbuh menjadi orang seperti apa. Gue juga nggak tau apakah Pak Reksa yang terhormat ini orang baik atau brengsek."

Coat yang gue tenteng nyaris jatuh ke lantai saking gue kaget, entah kenapa jari-jari gue langsung melemah untuk sepersekian detik karena kata-katanya.

Gue otomatis langsung ngelirik satpam di sebelah gue yang sepertinya udah siap menjauhkan Sasha dari gue karena Sasha mungkin terlihat seperti ancaman besar sekarang.

Sebelum satpam ini megang tangan Sasha, gue langsung megang duluan, dan memasang wajah tersinggung--ya itu nggak sepenuhnya pura-pura, gue separuh tersinggung karena udah dibilang brengsek sama bawahan.

InsentientTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang