Tak lama setelah acara potong rambut selesai, para undangan dipersilakan mengambil hidangan yang disediakan. Tak banyak yang diundang. Hanya keluarga, tetangga, dan beberapa sahabat.

"Vira udah agak gede, jadi bisa lo gendong." Ucap Siska ketika Jihan baru selesai mengambil makanan.

"Aku makan dulu, Sis. Laper." Jawab Jihan enteng. Kemudian mencium kening dan pipi Vira setelah dihadiahi pelototan sahabatnya.

"Jadi anak yang berbakti sama orang tua. Jadi keponakan cantik tante. Kamu harus punya mimpi yang tinggi ya, nak. Semoga sifat kamu mirip ayahmu. Mamamu kalau marah kaya godzila. Cantiknya kaya mama ya. Amin." Kemudian mencium kening Vira kembali.

"Makasih." Ucap Siska tulus.

"Gue kesana dulu, lo makan yang banyak. Nanti kalau udah selesai makan, lo gendong anak gue. Oke." Lanjut Siska.

"Iya." Jawab Jihan.

°•°

Dan disinilah Jihan. Terdampar diantara undangan yang ingin bertemu dengan sosok kecil Vira. Beberapa memang Jihan kenal. Selebihnya dia buta nama mereka.

Tak lama kebanyakan dari mereka sudah pamit karena memang hari sudah sore. Hanya tinggal keluarga dan beberapa kerabat saja yang ada.

"Sini kugendong Viranya." Ucap Jihan yang menghampiri Siska. Disana ada Imran dan seorang pria yang Jihan tak kenal.

"Iya nih. Sama tante ya nak." Ucap Siska sambil memberikan Vira pada Jihan.

"Han. Duduk sini deh. Duduk disebelah Siska." Kata Imran.

"Kenalin ini namanya Pandu. Pandu Artasena. Dia temenku waktu kuliah dulu. Dia lajang." Lanjut Imran

"Jadi gini, Bang. Konteks kita kan lagi aqiqahan, kayanya lucu deh kalau dibuat acara makcomblang-.. Aduh!! Sakit Sis." Candaan Jihan dihentikan oleh keplakan Siska dipundaknya.

"Berhenti jadi moodbreaker! Sini Vira. Aku mau taruh dikamar. Ayok mas!" Cerocos Siska pada Jihan. Kemudian pergi dengan Imran.

"Duluan ya, Du. Kalian ngobrollah. Nanti aku kesini lagi." Pamit Imran.

Sepeninggal keduanya, baik Jihan dan Pandu hanya diam.

"Namamu Jihan?" Tanya Pandu.

"Iya." Jawab Jihan.

"Kata-katamu tadi buat Imran keren." Kata Pandu tanpa melihat Jihan.

"Kenapa kamu enggak lihat aku, pas kamu ngajak ngomong aku?" Tanya Jihan.

"Jadi menurutmu saya harus memandangmu begitu?" Balas Pandu.

"Bukan begitu. Pandangan pertama adalah rezeki."

"Iya hanya untuk pandangan pertama. Bukan setelahnya."

"Kamu mau kenal sama aku?" Tanya Jihan.

"Ini udah kenal kan? Berapa usiamu?" Tanya Pandu.

"25 tahun. Kamu?"

"27 tahun."

"Kerja?"

"Iya."

"Oh iya. Kamu dokter? Di RSCM?"

"Iya kok tahu?"

"Siska yang ngasih tau."

Obrolan mereka terhenti ketika Imran datang.

"Gimana udah ngobrol?" Tanya Imran.

"Udah." Jawab Pandu.

"Han, saya mau tanya sama kamu. Kalau ada seorang pria memintamu pada ayahmu. Bahkan kau belum mengenalnya bagaimana tanggapanmu?" Tanya Pandu pada Jihan yang sedang bermain ponselnya.

"Karena pria itu sudah menemui ayahku, maka dia sudah memenuhi satu kriteriaku. Tak mungkin aku dan pria itu langsung menikah. Aku lebih memilih taaruf saja. Permisi. Sudah hampir maghrib. Aku pamit pulang. Sampaikan salamku pada Siska." Papar Jihan.

"Diantar Pandu, Han." Kata Imran.

"Tak ada ikatan diantara kami. Aku naik taksi. Lebih aman. Assalamualaikum." Pamit Jihan.

"Waalaikumsalam." Ucap kedua pria itu.

"Gimana, bro?" Tanya Imran. Dan hanya dibalas senyuman tipis oleh Pandu.

"Mau kemana, Du?" Tanya Imran.

"Pulang." Jawab Pandu memakai jaketnya.

"Maghriban disini aja." Kata Imran.

"Dijalan aja. Terimakasih untuk undangannya. Aku pamit. Assalamualaikum." Pamit Pandu kemudiab berjalan menuju motornya diparkir.

"Waalaikumsalam." Jawab Imran kemudian masuk kedalam rumah.

🙏
Holkaycincay

Tak Butuh Pujangga ✔️Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora