FILE 03 | PRIMITIF

2.1K 297 61
                                        

"APA YANG KAU bicarakan?"

Aku harus memastikan apakah tidak salah dengar. Pengisap darah katanya? Apa aku perlu memeriksakan telinga ke dokter?

Ia tidak mengulanginya, justru berlari lebih cepat. Angin dingin menampar wajahku dan mengobrak-abrik rambutku. Jantungku memukul-mukul tulang rusuk, seperti mau meledak.

"Hey, turunkan aku sekarang! Aku bisa berlari sendiri!" aku meronta. Berusaha melepaskan sepasang lengan yang mengunci lututku. "Halo? Kau dengar, tidak?"

"Tidak akan," sahutnya.

Ia berbelok arah tanpa mengurangi kecepatan lari. Perutku serasa bergejolak. Terpaksa aku mengalungkan tangan erat-erat di depan leher orang yang menyebalkan ini agar tidak jatuh.

"Bagaimana kalau aku turun dan kita jalan kaki saja?" bujukku.

"Waktuku terbuang hanya untuk menuntun nenek tua berjalan."

Ingin sekali aku mencekiknya. Ia bilang lebih lambat dari seekor siput. Sekarang nenek tua. Sempurna.

"Kau berniat membunuhku, ya?" Ya. Tak menutup kemungkinan dari caranya berlari seperti orang gila (ia pasti sengaja pamer kecepatannya, atau jangan-jangan justru ia seorang atlet?) membuatku ingin memuntahkan seluruh makan siangku.

"Tidak. Aku menyelamatkanmu."

Dalam hati aku berdoa agar ia tidak tersandung, atau menabrak pohon, atau yang lebih parah dari itu. Mataku tak bisa menangkap apa pun kecuali keremangan, sementara ia berlari penuh keyakinan seolah menghafal seluk-beluk hutan arboretum ini ....

Tanpa peringatan, ia tiba-tiba melompat ....

Aku tidak bisa berpikir. Perutku melambung. Jantungku seperti ikut melompat keluar.

Mungkin ada batang pohon besar tumbang menghalangi, atau yang lebih mengerikan, jurang! Ia mendarat tanpa kesulitan.

Menyelamatkan apanya? Yang ada, aku benar-benar ingin muntah.

Tidak ada tanda-tanda ia akan berhenti berlari. Padahal bobot tubuhku 53 kilogram.

Bulan purnama kembali muncul. Cahaya putih menembus kanopi hutan, jatuh ke permukaan tanah membentuk pola-pola bundar kecil. Mulai terlihat beragam jenis tanaman di sekitarku.

"Turunkan aku sekarang juga! Jika tidak, punggungmu akan sakit."

Begini, aku tidak ingin bertanggung jawab jika itu terjadi. Dulu waktu kelas 10, aku pernah menyebabkan Judy sakit punggung saat pelajaran olahraga.

"Aku bisa berlari cepat. Dan aku tahu jalannya. Sekarang cepat turunkan aku!" lanjutku, pantang menyerah.

"Kau bakal tersesat." Ia terkekeh.

Baik. Remehkan saja aku. Aku yakin aku bisa keluar dari hutan buatan ini meski harus merangkak.

"Banyak tanaman berduri dan bebatuan. Itu berbahaya. Kau jangan terluka," lanjut Aiden serius. Langkahnya tiba-tiba memelan. Seperti baru sadar cara berlarinya justru lebih berbahaya.

Memang benar. Meski hutan buatan, ada beberapa tumbuhan mencondongkan duri, beranting tajam, dan semak-semak liar. Di bawah sepatu lari Aiden mungkin terdapat batu yang bisa menggores kulit. Cukup membuka mata bagi seseorang sepertiku yang belum pernah kemping di alam bebas.

"Tapi kita kan sudah berada sangat jauh dari ... dari ...," gumamku, menggantung. Kembali gemetaran.

"Lich," desisnya, istilah untuk sosok yang kumaksud.

"Lich," aku meniru dengan nada sumbang.

"Sebenarnya lich sudah ada sejak ratusan tahun silam. Masyarakat di seluruh dunia yakin makhluk pengisap darah itu hanya mitos."

RECURRENCE Where stories live. Discover now