PARA makhluk pucat bersahutan di balkon lantai dua. Mereka saling berdebat dalam intonasi cepat. Artikulasinya tidak jelas. Aku hanya bisa mendengar nama Kristoff berkali-kali disebut.
Salah satu di antara mereka bersuara paling nyaring, adalah sosok laki-laki yang tadi pertama menunjuk arahku. Seruan hebohnya berhasil mengalihkan perhatian seisi rumah mewah ini. Pertarungan Aiden dan Kristoff terhenti.
Tapi, kengerian belum sepenuhnya berhenti.
Kristoff masih mengintimidasi. Ia berada di antara aku yang mundur perlahan dan Aiden yang mengatupkan rahang. Ia jelalatan pada kami bergantian.
Hingga akhirnya, Kristoff memutuskan melangkah menuju arah yang berbahaya.
Ke arahku.
Aku pun terang-terangan menjauhinya, berjalan hati-hati ke arah sembarangan, menghindar darinya sambil menutup wajah berdarahku dengan tudung jaket. Sulit mengalihkan tatapan dari mata merah penuh teror itu.
Langkahnya perlahan dan statis. Entah bagaimana ia selalu berhasil memangkas jarak denganku.
Tumit sepatu kets-ku terantuk balok kayu, hasil kekacauan beberapa menit yang lalu. Segera kuambil balok itu. Dengan kekuatan tak terduga aku mengayunkannya ke kepala Kristoff.
Bunyi remuk kayu memecah keheningan, disusul gemerencing tawa ejekan para lich di balkon. Balok patah jadi dua. Kuayunkan lagi apa yang tersisa hingga tanganku memerah. Kristoff bahkan tidak berkedip.
Kakiku yang mati rasa terus menyeret langkah, meski hanya berkeliling dan kembali lagi ke satu titik yang sama di lantai dasar. Menjadi hiburan bagi teman-teman Dokter Nightshade.
Kristoff berjalan tanpa suara. Keringat dingin membanjiri keningku. Entah apa yang akan terjadi andai ia menyergapku.
Sampai ketika punggungku membentur sesuatu, kupikir inilah akhir segalanya. Tapi bukan membentur dinding yang keras. Aku berpaling. Jantungku berdegup sangat kencang. Aiden tepat berada di belakangku.
Bola mata Aiden merah.
*
Entah bagaimana ekspresi wajahku, aku berjengit bagaikan baru tersentuh api.
Ketika berusaha menjauh, tangan sedingin es Aiden menangkap tanganku dan menarikku. Tubuhku terhuyung. Bahuku membentur lengannya.
Aku menggertakkan gigi, memberontak, menyentakkan tanganku sekuat tenaga. Berusaha melepaskan diri.
Karena ia membuatku takut.
"Sudah cukup, eksperimen selesai," kata Aiden dingin.
Aku mendongak bingung. Ia bukan berbicara padaku.
Lich kurus berambut merah menarik salah satu sudut bibir. Mendesis. Taringnya berkilauan.
"Kau tidak dengar, Kristoff? Eksperimen selesai!" tegas Aiden. Cengkeramannya erat menahanku, seolah-olah aku sanggup lari ke mana-mana. Ia menatap para penonton kami. "Keinginan kalian untuk menjadikan gadis ini kelinci percobaan dadakan, sudah selesai. Seperti yang kalian lihat, Kristoff mampu mengendalikan diri."
Aku mengerti. Itulah inti perdebatan dengan artikulasi tidak jelas para lich tadi.
Cukup menjelaskan mengapa Aiden tidak mencegat Kristoff dan membiarkannya.
Tiba-tiba aku merasa kecil, pengecut, dan menyedihkan. Ada sesuatu di dalam diriku yang mengharap perlindungan orang lain.
Aku mencoba mengangkat kepala, mendongak lebih tinggi. Rasanya berat dan sulit, seperti berusaha bangun dari mimpi buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
RECURRENCE
FantasiGenre : fantasi - misteri - fiksi remaja Manipulasi kematian tahap awal: hilangkan bukti. Manipulasi kematian tahap akhir: membuat alibi. Sementara korban hanya diberi pilihan terbatas: hapus ingatannya, atau diasingkan. Mackenzie Rosenberg sempat...
