Dua Puluh Enam

3.5K 237 12
                                    

Jessi sedang berkutat di dapur kecil di apartemennya. Dirinya sibuk memasakkan sesuatu untuk Brian. Ck, dia berdecak pelan ketika mengingat Brian kembali menolak makanan yang dimasakkannya, kemarin siang. Selama satu minggu ini belum pernah sekalipun Brian memakan makanan yang dimasakkannya.

Jessi kembali mengingat-ngingat apa sekiranya yang bisa cepat membuat Brian kembali mengingatnya. Tapi sekeras apapun otaknya berpikir, ia masih tidak mengetahui jawabannya. Padahal dulu ketika masih kuliah di kedokteran, dirinya tidak pernah menemui kesulitan yang berarti.

Satu minggu ini dia sudah menjadi sangat menyebalkan untuk Brian. Jessi merecoki kehidupan Brian setiap waktu, sama seperti yang pernah dilakukan Brian terhadapnya. Tapi tetap saja, Brian masih belum mengingatnya meskipun satu kali.

"Nggak boleh menyerah, Jess." Dia menyemangati diri sendiri.

Tangan terampil Jessi menata makanan yang telah masak ke dalam beberapa kotak tupperware. Brian sangat menyukai makanan sehat dan ala rumahan. Makanya, hari ini dia memasakkan tumis kangkung, pergedel kentang, tempe goreng, dan semur ayam. Serta terakhir adalah nasi putih. Dia tersenyum senang, sekaligus mendengus kesal saat terbayangkan bagaimana reaksi Brian nanti.

Setelah membersihkan peralatan memasaknya, Jessi menanggalkan apron pink miliknya dan bergegas ke rumah sakit sebelum terlambat.

***

Brian tidak lagi terkejut melihat kehadiran Jessi di dalam ruangannya. Dan diatas meja tamunya sudah terletak paper bag yang ia yakini berisi makanan.

Dia menghela napas kesal sebelum bertanya datar, "Ada apa lagi, dr. Jessi?"

Jessi menutupi nada kecewanya karena mendengar nada suara Brian, "Makan siang." Ucapnya sambil tersenyum riang.

"Untukku?" Brian berjalan melewati Jessi menuju meja kerjanya.

"Untuk suamiku."

"Kenapa kau membawanya kemari?!"

"Karena kamu adalah suamiku."

Brian mengusap wajahnya kasar, dokter yang katanya jenius ini hampir membuatnya gila. Jika saja ia tidak melihat kejeniusan Jessi saat melakukan operasi dua hari yang lalu, mungkin Brian tidak akan segan-segan menendangnya dari rumah sakit ini.

Setiap hari, Jessi akan mengantarkannya makan siang. Bahkan setiap malam Jessi selalu menghubunginya untuk menanyakan ia ingin makan apa untuk makan siangnya. Meskipun teleponnya selalu diabaikan Brian, Jessi tidak menyerah dan beralih untuk mengiriminya pesan singkat. Ini sungguh sangat mengganggu, bahkan ketika dia sedang bersenang-senangpun, Jessi sangat menganggu.

"Omong kosong apalagi ini?" Brian menatap kesal kepadanya. "Kau memiliki suami yang telah tiada, dokter? Dan wajahnya sangat mirip denganku?"

Jessi terkejut mendengar anggapan dan pertanyaan Brian. Dia merasakan dejavu, kata-kata ini pernah diucapkannya saat pertama kali Brian besikeras memanggilnya dengan sebutan wife dulunya.

"Aku tidak pernah menikah. Dan aku tidak akan menikah, kecuali kamu yang menikahiku."

"Kau begitu terobsesi kepadaku, dokter."

"Ini bukan obsesi."

Brian tersenyum sinis. "Ini obsesi, dokter. Keluarlah, aku sangat sibuk."

"Berhentilah bekerja, Brian. Demi Tuhan, kenapa kamu berubah menjadi workaholic semenjak bangun dari koma dan mengalami amnesia sialan itu?!!" Jessi berteriak kesal di hadapannya.

Brian merasakan sakit kembali menghantam kepalanya. Suara Jessi membuatnya merasa sangat pusing.

"Suaramu luar biasa, dokter. Menulikan telingaku, dan kepalaku pusing." Brian mengeluh.

Me and BrianWhere stories live. Discover now