[001] Kamar Angker

3.1K 221 17
                                    

AKU menghela napas. Memindai seluruh isi kamar di rumah salah seorang perangkat desa yang untuk satu bulan ke depan kami-anak KKN salah satu universitas negeri Madura-tempati.

Adzan magrib sudah berkumandang sejak beberapa menit yang lalu, dan teman-temanku memilih berjamaah di mesjid terdekat. Aku yang sedang berhalangan salat tentu saja ditinggal sendiri.

Bosan menatap ponsel yang sepi dari notifikasi, aku meraih tumpukan baju yang siang tadi kucuci. Merapikannya untuk kugantung di belakang pintu kamar.

Tak ada keanehan yang kurasa malam ini. Aku sudah terbiasa sendiri dan mendengarkan bunyi mereka. Mahluk lain yang sebenernya dekat sekali dengan manusia.

Tidak. Aku tak bisa melihat jin atau hantu, hanya bisa mendengar samar-samar dan merasakan kehadirannya saja. Abah bilang, aku memiliki darah berbeda yang sangat mereka sukai, makanya beliau memberiku cincin batu, agar tak ada mahluk halus yang bisa menggangguku.

Baju lipatanku tinggal satu. Aku meraihnya dan memasukkan pada gantungan berbahan besi yang kubawa dari rumah, bersamaan dengan suara kasak-kusuk yang kudengar dari luar. Ah, pasti teman-teman sudah datang. Detik kemudian, pintu kamar terjeblak membuka.

Keget, aku mendongak. Mendapati Lina dan Efa yang menatap horor padaku yang nyaris jantungan dibuatnya.

Aku hendak protes. Memperingati keduanya agar berlaku sopan di rumah orang dan tidak berbuat keributan. Namun semua kosa kata di ujung lidah, kembali harus kutelan paksa kala mereka berseru dengan napas memburu, "Lili, ngapain kamu di sini? Dari tadi kami cari-cari!"

Aku jelas kebingungan. Kutatap mereka bergantian. "Dari tadi aku, kan, emang di sini. Mau di mana lagi?" tanyaku setengah tak mengerti.

"Bukannya tadi kamu di kamar?" Air muka Lina kian horor. Ia menelan ludah sembari menatap sekeliling kami.

"Lho, iya. Ini aku di kamar, kan?" sekali lagi, kupandang Lina dan Efa lekat. Tak mengerti arah pembicaraan mereka. Bahkan dua kunyuk itu masih berdiri di depan pintu, seolah enggan masuk mendekatiku.

"Lili ...," ada getar ketakutan dalam suara Efa, "ini kamar saudara perempuan Pak Sekdes," lanjutnya lirih.

Aku terhenyak di tempatku, bersamaan dengan detak jantung yang seketika menemukan titik henti selama satu denyut nadi.

Mencengkram baju yang berada di atas pengkuan, aku memutar kepala pelan, meliarkan pandangan pada seluruh kamar yang baru kusadari ternyata sedikit remang-remang.

Dan mereka benar. Aku tak lagi berada di kamar kami.

Sejak kapan ... aku kemari? Dan bajuku juga hanya tinggal satu, yang kupegang saat ini. Juga ponselku? Kenapa tidak ada?

Cepat-cepat aku berdiri dan melangkah tergesa menghampiri keduanya. Aku bukan penakut, tapi kejadian ini sukses membuatku ngeri. Aku jelas sadar sesadar-sadarnya tidak pernah berpindah dari posisi saat adzan magrib tadi.

Kami saling pandang sesaat, kemudian secara serempak berlari menuju kamar yang berada di ujung rumah Pak Sekdes.

Sekali lagi aku dibuat terkejut. Gantungan bajuku sudah tertata rapi di balik pintu kamar kami, pun ponselku yang masih tergeletak manis atas bantal.

Lantas, siapa yang memindahkanku hingga bisa berada di kamar yang dikenal angker itu?

Kamar mendiang adik Pak Sekdes yang meninggal dua tahun lalu.

Satu kesadaran menghantamku seiring dengan desau angin yang masuk melewati celah ventilasi, praktis membuat bulu romanku berdiri.

Ini ... malam jumat legi!

•••

Esto bhule dhin dhika, Cah😘

Oretan (tak) BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang