10: Malam Itu

1K 103 17
                                    

"Nggak."

Radin mengepal tangannya, frustasi. Kepalanya menengadah ke atas selang sebentar matanya kembali menatapku, "Aku udah korbanin semuanya dan kamu dengan egoisnya bilang 'enggak'?"

Aku terdiam.

"Aku nggak sebercanda itu, Mor."

"Semestinya kamu ngerti apa yang kamu lakuin dari awal itu salah."

Radin mengacak rambutnya kasar, "Salah apa sih? Aku udah ngorbanin semuanya cuma buat kamu. Paham nggak sih?!"

"Aku nggak minta kamu ngelakuin semua itu! Aku bahkan nggak pernah bilang kalo aku cinta sama kamu, tapi kamu bertindak seolah-olah aku mau sama kamu. Kamu mikir dong gimana perasaan istri kamu yang kamu tinggalin gitu aja. Perasaan kamu sebagai seorang suami dimana? Auree lagi hamil 4 bulan terus kamu main tinggal gitu aja?!"

Radin membeku, "Auree... hamil?"

"Hah? Auree hamil, kamu nggak tau? Kamu suami macem apa, Din?" tanyaku mencerca.

Radin terdiam.

"Masalah kita udah clear, jadi aku udah nggak ada lagi urusan sama kamu. Aku minta maaf kalo salahku ke kamu selama ini banyak. Dan aku harap setelah ini kita lebih baik nggak berhubungan lagi," ucapku lalu berdiri dari bangku ruang tunggu rumah sakit yang sudah sepi, "Aku pamit pulang."

Radin menarik tanganku, "Aku anterin kamu."

Aku menoleh lalu menatapnya tajam ke arah tangannya yang menggenggam tanganku erat, "Lepas, aku bisa sendiri."

"Udah tengah malem, di luar hujan. Apa sih yang kamu cari? Kamu lagi capek, aku ngerti Mor, kamu jaga dari pagi tadi sampe semalem ini. Kamu gantiin dokter lain yang nggak bisa jaga kan?"

Aku menggeleng, "Udah lah, aku udah biasa. Aku nggak selemah itu."

Radin memijit keningnya pertanda dirinya yang mulai kelelahan, "Ya udah."

Aku mengangguk.

"Hati-hati, jangan ngebut," itu kalimat terakhir yang aku dengar dari mulut Radin hingga aku beranjak pergi dari ruang tunggu rumah sakit.

Sampai di parkiran, aku langsung menyalakan mesin mobil namun tidak langsung mengemudikannya. Ntah, aku ingin berdiam sebentar.

Tiba-tiba ada suatu perasaan yang membuatku tidak nyaman...,

...resah?

atau hal lain?

Rasanya pikiran ini nggak nyaman, perasaanku pun kacau. Tidak tau apa penyebabnya.

Beberapa menit kemudian aku mengecek jam di handphone.

01.17

Langit masih setia dengan hujan lebatnya. Petir pun juga sama, masih tidak ingin beranjak dari tempatnya menyambar-nyambar.

Aku kira hujannya akan berhenti dalam beberapa saat. Namun setelah aku menunggu hampir satu jam, hujannya belum juga reda, malah bertambah deras.

Kalau begini, aku tidak jadi pulang.

Maka dari itu aku membulatkan tekadku untuk segera pulang sekarang karena jika tidak, nanti hujan akan bertambah beras. Pikirku.

***

Jalanan sudah sepi.

Bahkan lebih sepi dari biasanya.

Aku mengemudikan mobilku lebih cepat agar semakin cepat juga aku sampai di rumah.

Arel.

Ntah kenapa nama itu terlintas di pikiranku saat ini. Mengingatnya membuatku merasakan pilu.

Rel, seandainya kamu tau kalo kehilangan kamu itu nggak ada obatnya. Semakin aku inget kamu sudah nggak ada, semakin aku ngerasain sakit.

Ada nggak sih cara buat ngilangin rasa sakit ini, Rel?

Jawab aku, Rel, kamu liat mata aku yang bengkak setiap hari gara-gara udah terlalu sering nangisin kamu.

Bahkan aku udah lupa kapan terakhir kalinya mataku normal tanpa bengkak sedikit pun.

Aku harus gimana, Rel, biar bisa lupain kamu?

Aku harus gimana, Rel, biar bisa nggak ketergantungan lagi sama kamu?

Aku...harus gimana?

Apa aku harus ketemu kamu biar kamu bisa jawab semua pertanyaan aku?

Tapi, gimana caranya biar aku bisa ketemu lagi sama ka—?

BRAK!

Seketika aku merasakan rasa sakit yang sangat luar biasa.

Pikiranku kosong, melayang-layang ntah kemana.

Aku bingung.

Namun teriakan orang-orang menyadarkanku, bahwa aku...,

...tidak lama lagi akan bertemu dengan kamu, Rel.

***

AM-PM 3: TimerrowWhere stories live. Discover now