2: Membawa Kabar

1.5K 138 11
                                    

jangan lupa mainin musiknya👉

"Ke mana?"

Ia membuang wajahnya ke arah berbeda. Tak ingin menatap mataku lagi seperti yang ia lakukan beberapa detik yang lalu. Lalu ia menggerakkan bibirnya sedikit-sedikit seperti akan membuka mulutnya untuk mengeluarkan barang sepatah-dua patah kata, "Kamu," jawabnya pelan.

Aku mencoba mencari kedua manik matanya yang kini sedang ia sembunyikan, mencari fakta-fakta nyata dari semua ucapannya.

Apa yang ia maksudkan?

"Maksudnya?" tanyaku berupaya mencari jawaban atas jawaban yang ia keluarkan semenit yang lalu.

Ia menoleh sesaat. Hidungnya menghembuskan nafas sebentar sementara tangannya bergerak perlahan, menuntun tanganku lalu meraihnya lembut.

"Ada apa? Kenapa?" ucapku mengurai tanya.

Ia menatapku teduh seakan-akan aku dituntunnya untuk berlindung padanya selagi awan yang kini berwarna kelabu pertanda hujan akan segera turun, "Maaf."

Aku dapat melihat jelas pada kedua manik matanya bahwa perasaannya kini kalut dan kelabu bak langit yang kini mulai menghadirkan petir yang menyambar-nyambar sore ini. Kalut dalam apa?

"Maaf? Buat apa?"

Ia menatapku lamat-lamat lalu mulai mengeluarkan suara setelah detik ke-enam, "Maaf, aku bohong."

"Bohong apa?"

Perlahan ia memajukan tubuhnya sampai hanya berjarak beberapa centi dari tubuhku. Hangat tubuhnya menempel pada tubuhku, samar-samar aku dapat mencium wangi tubuhnya yang kini berbaur dengan bau rintik air hujan yang jatuh ke tanah.

Sementara aku terdiam, ia memelukku lebih erat seakan ia ingin menunjukkan sebongkah rindu yang berat.

Aku tentu tahu diri.

Aku mendorong tubuhnya untuk menjauh dan melepaskan pelukannya namun semakin aku memberontak, semakin erat pula pelukannya.

"Din, lo kenapa sih?" tanyaku dengan suara yang entah mengapa menjadi parau. Sesak ini tiba-tiba merajalela kembali seperti empat minggu yang lalu.

"Maaf aku udah bohongin perasaan aku sendiri," ia terdiam sejenak seperti menahan kata-kata yang hendak keluar dari bibirnya.

Sepuluh detik kemudian ia melanjutkan, "Aku cinta...," ia menjeda perkataannya lagi, "...sama kamu."

Aku rindu. Rindu ini menggebu-gebu, menyeluruk lorong jiwaku untuk mencintaimu lebih lama lagi.

Aku menatap rintikan air hujan yang kini sudah membasahi teras rumah lantas menenggelamkan kepalaku ke dadanya.

Aku larut. Larut dalam perasaan yang entah akan bermuara ke arah mana.

Kamu mengeratkan tubuhmu ke tubuhku untuk mendekapku lebih dalam lagi. Samar-samar aku dapat mendengar debaran itu.

Debaran di dada itu sama seperti debaran yang kini menggebu-gebu di dalam dadaku. Debaran ini ingin aku sampaikan, namun kepada siapa?

"Kamu mau maafin aku nggak, Mor?"

Suaranya terdengar kembali. Lirih-lirih kudengar ia mengucapkan satu kalimat tanya itu.

Lalu aku bertanya dalam hatiku sendiri, 'Salahkah aku jika hati ini masih menyimpan rasa yang sama?'

"Ini bukan masalah permintaan maaf lo, Din. Semestinya lo sadar diri dan tau apa yang lo lakuin sekarang adalah hal yang sangat amat salah."

Sore itu ia datang membawa kabar bersama rintik hujan yang mulai berjatuhan pada permukaan tanah di teras rumah. Membiarkan tubuhku bertumpu sejenak padanya sembari menunggu hujan pulang dan kembali ke tempat peraduannya.

***

(a/n)

alhamdulillah bisa update ehehehe.

btw tadi aku abis ulangan fisika yang mbulet. kasihani dong😂😂😂

AM-PM 3: TimerrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang