Aku, Si Gadis Malang

Start from the beginning
                                    

"Mau ke mana?" Aku menggamit tangannya. Mencegah Zen pergi.

"Masih ada urusan yang lebih penting dari ini," serunya tanpa melirik ke arahku.

"Aku mau."

Keputusan akhir itulah yang diambil. Aku menerima pekerjaan itu bukan hanya karena hasilnya yang menggiurkan. Tapi rencanaku, semata-mata karena ibu. Ya, selalu. Apa yang kulakukan hanya untuk ibu.

"Bagus. Besok kita bertemu di sini lagi," ajaknya, lantas berlalu dari bangku itu.

Aku membuang napas yang dipenuhi dengan keraguan. Menjalani pekerjaan yang tak pernah bersinggungan denganku, rasanya sangat mustahil. Ck, tak ada pilihan lain. Aku harus melakukannya.

***

Gerimis menyambut kepulanganku di rumah. Seluruh baju yang kukenakan nyaris basah semua. Rumah sengaja dikunci agar ibu tak bisa ke mana-mana. Aku melirik jam, sudah jam 12. Dua jam lamanya aku meninggalkan ibu di rumah.
.
Hening. Masih tak ada tanda-tanda kehidupan saat aku menaiki anak tangga menuju kamar ibu. Perasaan ini seolah berubah seketika saat aku melihat ibu meringkuk di sudut kamar.

"Ibu?"

Aku bersimpuh memeluknya. Bunyi gemelatuk gigi dengan peluh yang menuruni kening, jelas menandakan jika ibu ketakutan. Tapi kenapa?

"Ayah mana, Aresha? Kakakmu mana?" Lagi-lagi, hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulutnya.

Rasanya aku sudah bosan harus berbohong dalam menjawab pertanyaannya. Tapi bagaimana lagi? Kesulitan ini selalu kurasa setiap kali ibu bertanya seputar dua orang itu.
.
Akhirnya aku memilih diam saja. Mengajak ibu kembali ke tempat tidur. Entah akan seperti apa nasibnya setelah ini. Ck, aku berjanji akan membawanya kembali ke rumah sakit. Janji.

"Makan ya, Bu." Aku menuangkan bubur yang kumasak pagi tadi.
.
Ibu masih terus menatap kosong ke arah luar jendela. Satu suap, dua suap, aku terus menyuapi ibu. Hatiku teriris melihatnya terus-terusan seperti ini. Hidup tapi mati. Terang tapi gelap. Ramai tapi sunyi.
.
Kira-kira seperti itulah penjabaran hidup ibu sekarang. Tak ada gertakannya lagi, ketika melihatku ngeyel. Bahkan kata-katanya pun masih sangat terbatas.

Dreeet ...

Ponsel yang bergetar membuyarkan seluruh penerawangan piluku. Aku merogoh saku celana untuk melihat siapa yang menghubungiku.
.
Setelah kulihat, ternyata Sakti yang sedang menunggu teleponnya diangkat. Sudah empat hari aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Kurasa, dia benar-benar sibuk.

"Halo?"

"Apa kau ada di rumah?" tanyanya.

"Ya, aku di rumah. Kenapa?" tanyaku, masih terus menyuapi ibu.

"Aku akan ke sana. Kebetulan, hari ini aku tidak bekerja."

"Hm, baiklah ... Aku tunggu," seruku lantas menutup sambungan telepon.

Begitulah Sakti.
.
Dia selalu menyempatkan waktu untuk ke rumah. Meskipun empat hari tidak ke sini, bukan berarti dia melupakan dan mengacuhkanku. Ya, aku tahu betul seperti apa wataknya itu.
.
Ketika dia memedulikan seseorang, maka kepeduliannya akan terus mengalir. Selama dia merasa jika orang itu pantas untuk dipedulikan. Begitu pula sebaliknya.

***

"Kau bekerja dengan Zen?"
Mata Sakti membelalak setelah mendengar ceritaku. Aku menggigit bibir bawah. Mengamati rona wajahnya yang memerah. Bukan merah karena tersipu malu, tapi itu sebuah amarah.

"Apa ada yang salah?" tanyaku memberanikan diri. Sakti menjatuhkan dirinya di sofa. Masih tidak ada jawaban yang diberikannya untuk pertanyaanku. Hingga aku mengulangi pertanyaan itu.

"Dia berbahaya. Kau tak boleh dekat dengannya," tandas Sakti menatapku seolah sedang meyakinkan jika kata-katanya itu benar.

"Berbahaya apa maksudmu? Aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan," decakku mengalihkan tatapan ke arah dapur.

"Jangan bekerja dengannya, Re. Kumohon ... Jika kau membutuhkan pekerjaan di rumah, aku bisa membantumu. Kau bisa membuka jasa jahit baju."

Memang, aku bisa menjahit baju. Karena sejak SMP, ibu sudah mengajarkan cara menjahit padaku. Yang membuatku penasaran, bukanlah tentang jahitan itu. Tapi Zen. Ada apa sebenarnya dengan Zen? Mengapa Sakti begitu terlihat khawatir setelah mendengar ceritaku?

"Zen baik. Dia orang baik," ujarku meyakinkan Sakti. Dia menggeleng-gelengkan kepala dan kembali membidik wajahku.

"Mengapa kau seyakin itu? Kau tahu? Ibunya yang telah merusak rumah tangga orang tuaku. Ayahku berselingkuh dengan Ibu Zen," tegasnya.

"Jadi, kau melarangku bekerja dengan Zen hanya karena Ibunya adalah selingkuhan Ayahmu, begitu?" cibirku. Sakti mengangguk pelan.

"Lantas, apa hubungannya denganku? Mengapa kau mengaitkan urusan orang tuamu dengan hidupku? Percayalah, Sak. Zen tak sejahat apa yang kau kira."

Kalimat terakhir yang kukatakan, terlalu serat di tenggorokan. Aku tahu, itu hanyalah sebuah pembelaan agar Sakti tak merasa khawatir padaku.
.
Tentang Zen, aku tak ingin mengatakan hal yang sebenarnya pada Sakti. Karena jika aku melakukannya, secara otomatis aku akan kehilangan pekerjaan dari Zen.
.
Pekerjaan dengan hasil yang menggiurkan. Sebuah kesempatan emas yang tak akan kudapatkan dari siapa pun. Berpenghasilan sebanyak itu dalam waktu seminggu adalah hal mustahil jika aku hanya mengandalkan kios kecil ini atau sekadar menjadi pelayan restoran.

"Kau egois."

"Aku tak punya pilihan. Maaf ...," ujarku kecewa pada diri sendiri yang terhimpit oleh keadaan.

"Jaga dirimu baik-baik. Jika memang kau yakin dengan pekerjaan yang diberikan Zen, maka lakukan sepenuh hati. Tapi jika sebaliknya, berhentilah sebelum kau terlambat," ingat Sakti mengelus bahuku. Aku mengangguk pelan menimpali ucapannya.

Di saat aku sudah mengecewakannya, Sakti masih tetap memikirkan tentang kebaikanku. Betapa egoisnya diri ini. Seluruh keegoisan bertumpu pada jiwa yang tak berdaya dengan keadaan.
.
Tapi bolehkah aku melakukan pembelaan? Keegoisan ini bukan berarti rasa tak peduli pada persoalan yang menimpa kehidupan Sakti. Ini semua demi ibu. Berulang kali kuutarakan, semua demi wanita terkasihku.
.
Aku hanya gadis yang malang. Hidup dalam beban yang mengekang, seolah tak ada celah untuk kebahagiaan bertandang. Berjuta kali, kurapalkan seluruh harapan pada langit malam. Namun sang pemilik waktu, kurasa masih menunggu rintihan kelelahan diri.
.
Haruskah kupatahkan segala mimpi yang perlahan memudar? Tentang ibu, tentang hidupku. Raga ini tak lebih kokoh dari sebuah batu besar di pegunungan. Pun tak setegar penghuni laut yang terhempas ombak. Tidak!
.
Karena aku hanya gadis malang, yang memiliki harapan untuk kesembuhan wanita yang kusayangi. Jangankan harta berlimpah. Mimpi pun, sedikit demi sedikit kupatahkan.
.
Hidup ini hanya tentang ibu. Wanita yang kuperjuangkan sepenuh hati agar dia bisa kembali normal. Menjalani kehidupan, menatap luasnya dunia dengan segala kefanaannya. Itu saja.

Gadis yang TerbelengguWhere stories live. Discover now