Bab 9: Permainan Hukum

84 19 4
                                    

           Suara ketukan pintu membuatku mengangkat kepala dari buku bacaanku. Terbersit rasa bimbang ketika aku hendak beranjak untuk membuka pintu. Lagipula bisa jadi itu cuma pegawai PLN atau penagih iuran televisi. Dengan langkah gontai, akhirnya aku turun dan membuka pintu. Dan... Nah, siang bolong begini aku malah dipertemukan dengan lelaki berjas hitam dengan rambut klimis.

            "Perkenalkan, saya-"

            "Anda Bramantyo Harris, pengacara pribadi Alena Gloria, putri tertua keluarga Gloria."

            Lelaki itu tersenyum, menyimpan kekesalan karena aku memotongnya tadi. Aku hendak membanting pintu di depan muka si Pengacara itu, namun dengan lincah tangannya memegang tegas gagang pintu. Ia berdeham, membuatku muak melihatnya.
            "Bisa kita bicara sebentar?"
***
            Di sinilah aku, restoran mewah kelas atas dengan lelaki tua berjas hitam di hadapanku yang sedang memesan makanan. Belum cukup merusak siangku, orang tua ini akhirnya menjebakku di sini.

            "Langsung to the point saja, klien saya sebagai putri tertua harusnya mengambil bagian paling banyak dari saham yang dimiliki keluarga Gloria," ia membuka lembaran pertama dokumen yang dibawanya.

            "Tapi, dalam hal ini, klien hanya menuntut enam puluh lima persen dari saham tersebut dengan alasan Anda akan lebih membutuhkannya untuk biaya perkuliahan nanti, meskipun secara logika, lima belas persen dari saham saja sudah lebih dari cukup jika hanya untuk masalah studi."

            Aku tidak bodoh. Pengacara ini pasti mengetahui identitas asli Kak Alena, dan jelas ia tahu untuk apa Kak Alena hanya meminta enam puluh liam persen saham. Tapi, uang seola-olah membuatnya tidak tahu.

            "Maaf, tapi di surat wasiat yang ditulis Papa saya, Andre Gloria, sama sekali tidak disebutkan nama klien Anda, maka ia tidak berhak atas saham tersebut, meski hanya nol koma sekian persen."

            Ia berdeham, mencoba tetap tenang menghadapiku.

            "Tapi, secara hukum pembagian tersebut tidak adil."

            "Anda mengenal hukum?"

            "Tentu, saya seorang pengacara."

            "Saya rasa Anda bahkan lebih mengenal permainan hukum."

            Kerutan di dahinya menunjukkan lelaki tua ini bingung dengan maksud perkataanku.

            "Maksud Anda?"

            "Anda lebih mengenal permainan hukum dengan uang sebagai pionnya."

            Skak mat. Pengacara tua itu menghela napas, sejenak tidak ada percakapan. Satu dua orang berlalu lalang dengan percakapan ringan mengisi keheningan di antara kami. Orang seperti ini sudah tentu dipermainkan dengan uang. Logika saja, bagaimana bisa seorang pengacara yang (seharusnya) mematuhi hukum, memihak pada klien yang jelas-jelas adalah seorang mafia pelanggar hukum?

            Pelayan datang mengantarkan pesanan. Senyum ramahnya bahkan tidak ditanggapi oleh pengacara sewaan kakakku itu. Suasana begitu menegangkan beberapa detik. Jangan kira seorang anak SMA tidak bisa berpikir luas, beberapa dari remaja itu kadang ditempa oleh hidup, sepertiku.

            Lambat laun, hidup memberiku banyak pelajaran, meski beberapa di antaranya dengan kekerasan. Tapi, dari situlah aku mampu belajar untuk mencapai kedewasaan. Keadaan memaksa demikian.

            "Dunia hukum itu bukan dunia kotor... Hanya saja figur seperti Anda inilah yang membuatnya menjadi ranah kotor."

            Aku beranjak, meninggalkannya bersama makanan yang tersaji di meja kami tadi. Ia bergeming.

            "Jaga mulut Anda, anak angkat keluarga Gloria!" teriakannya terdengar ketika aku sudah setengah perjalanan menuju pintu keluar. Di meja dekat pintu itu, seorang bertopi merah dengan jaket hitam menyeruput kopinya.

            "Luar biasa, gadis manis..."

            Suara itu membuat langkahku melambat sekaligus membuatku merinding. Bunyi gelas kaca yang membentur piring terdengar samar-samar di tengah keramaian restoran. Suara ini milik dalang di balik semua ini. Kak Alea. Beberapa detik kemudian aku menyadarkan diri dan mempercepat langkahku tanpa menggubris wanita itu.

Aku merasakan air mengenai pipiku ketika aku keluar. Tolong jangan hujan. Hujan selalu datang di saat yang tidak tepat. Aku benci itu. Aku mempercepat langkah, menerabas rinai yang kian menjadi-jadi.

Kenapa Hujan?Where stories live. Discover now