Bab 7: De Ja Vu

128 35 21
                                    


            Dan di sinilah kami. Dua anak manusia menyusuri jalan setapak di bawah tudung bayang-bayang pepohonan. Malam tadi, setelah menghabiskan waktu seharian di sekolah dengan tambahan pelajaran khusus, sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal. Hampir saja aku melempar ponsel ke kasur jika sedetik kemudian tidak masuk pesan dari nomor itu yang memberitahukan bahwa itu Dion.

            "Oh.. Jadi selama ini kamu tinggal sendirian?"

            Aku mengangguk. Sedari tadi, kami berbicara banyak hal. Tentang masa depan, impian, dan cita-cita kami. Masa lalu juga, tentunya. Tidak, bukan masa lalu tentang kehilangan yang harus kuceritakan padanya.

            Rasa-rasanya masih berat untuk menceritakan semua itu. Lebih baik aku mengunci dan jika mungkin melenyapkan kenangan itu, menulis harapan baru di atas lampion lalu menerbangkannya. Berharap satu dua orang melihat harapan itu di kelamnya cakrawala. Jika saja bisa.

            Aku menoleh ke sebelah kiri, membiarkan mataku menjelajahi lapangan luas tempat anak-anak bermain dan puluhan pasangan lalu lalang, sibuk meninggalkan jejak kenangan di atas rumput-rumput kering. Aku menarik napas. Menghembuskannya bersamaan dengan sebuah pemikiran: Sayangnya, setiap harapanku tidak pernah menjadi realita, hingga aku muak dengan imajinasi yang bernama: HARAPAN.

            Dion menoleh ke arahku ketika aku mengeluarkan ponsel dengan tergesa-gesa, menatap ponsel lalu beralih ke sepasang matanya yang seolah bertanya: ada apa? Aku menggeleng cepat. Aku hanya melihat kalender di ponsel.

            Hari kedua di bulan April. Saat-saat di mana mahluk hidup menyemai hari baru yang menandakan musim semi di belahan dunia yang lain. Di penghujung musim, aku harus menemui wanita itu.

            "Hei, kamu tahu sekarang di Korea musim apa?"

            "Entahlah. Kenapa tiba-tiba berbicara tentang itu?"

            "Enggak kenapa-kenapa sih, cuma dulu Mamaku sangat menyukai Korea. Dulu Mama bertemu dengan cinta pertamanya di sana. Tepat di hari keempat musim semi."

            "Cinta pertama itu apa?"

            Dion memutar badan menghadapku. Pupilnya menatapku dalam.

            Dheg.

            Sebuah perasaan aneh menjalariku, membawa pikiranku seakan menerawang di suatu masa. Di tempat entah di mana aku melihatnya, mendengarnya, dan merasakannya. Tapi di mana? Perasaan ini membawaku pada sekelabat kenangan.

***

            "Kak Alena, kenapa?"

            Bau amis darah menyapa hidungku, menyeruak ke tenggorokkan hingga aku merasa mual. Di hadapanku, seseorang tergeletak dengan darah semerah saga membanjiri baju putihnya.

            Anak remaja usia delapan belas tahun yang tidak lain adalah kakakku sendiri, memeluk lutut, wajah pucatnya mendongak dengan bulir-bulir keringat membanjiri kening hingga turun ke pipinya. Matanya menerawang mataku,  tepat ke pupil mataku, mencari-cari ketenangan di dalam tatapan mata itu.

Di sudut ruangan, di bawah rak-rak piring, pisau yang tadinya bersih tanpa noda kini tertutup sempurna oleh darah. Kak Alena menyembunyikan tangannya, meski gerak-gerik serta darah di bajunya telah menjawab segalanya. Aku berteriak, sesaat kemudian Mama dan Papa datang.

            Hari itulah harinya. Ketika rumah itu menjadi sarang teror, ketika kasus kematian pengasuh keluarga besar Gloria ditutup-tutupi sedemikian rupa. Dan berikutnya, diikuti oleh kehilangan dan kematian secara misterius pengasuh, sopir, hingga adik kecil kami, Deandra. Jika saja aku tidak datang ketika ia berteriak di suatu sore. Sayangnya, Deandara masih terlalu kecil kala itu, untuk menceritakan apa yang terjadi, dan ketika aku datang tidak ada siapa-siapa.

            Suatu waktu, ketika malam semakin larut, aku berlari-lari kecil melewati kamar Kak Alena. Ia tak pernah lagi bermain denganku, sejak kejadian pembunuhan itu. Aku mendengar Kak Alena berbicara, menyanyikan lagu, lalu berhenti ketika bunyi engsel pintu yang kudorong menarik perhatiannya.

            Tatapannya membuatku bergidik ngeri, cekungan hitam di bawah matanya terlihat jelas di bawah terang lampu. Sebuah gitar menemaninya.

            "Cinta pertama itu... Apa?"

            Ia bergumam, sementara air matanya menetes dengan seulas senyum pahit di wajahnya.

            "Kak..." aku memanggilnya lirih. Namun, tangan Mama memeluk lengan ku ketika aku hampir menggapai ranjang Kak Alena. Ditariknya aku hingga keluar kamar dan ditutupnya pintu kamar Kak Alea hingga bunyi pintu terkunci membuat isakan tangis Kak Alea terdengar.

             Besok paginya, ketika aku sedang sarapan, seorang dokter datang ke rumah kami. Aku membenci dokter itu, dia yang memvonis Kak Alena terkena kelainan. Sehingga memiliki suatu sifat, yang ia sebut: Psikopat. Esoknya, Kak Alena pergi tanpa membawa sehelai baju pun, lolos dari balik jendela, pergi dengan sebuah mobil hitam entah ke mana.

            Aku hanya melihat seorang lelaki di mobil itu, tersenyum ketika Kak Alena datang dengan tergesa-gesa. Wajahnya tidak terlihat jelas, namun dari mobilnya, dapat kutebak itu adalah pacarnya. Sia-sia aku berteriak, bahkan hingga suaraku habis tepat ketika mobil itu hilang ditelan hujan.

            Berminggu-minggu kemudian, setelah Papa menyewa orang bayaran untuk menelusuri ada apa dengan Kak Alena, kami mendapat kabar jika Kak Alena terjaring oleh suatu perkumpulan mafia. Di balik semua itu, Papa menduga, Fian, lelaki yang dicintai Kak Alena sebagai dalangnya, malangnya, semua itu ternyata benar.

            Sejak awal Kak Alena membawa Fian datang ke rumah, Papa mencium bau aneh dari gerak-geriknya. Ia sering berbicara bisik-bisik dan pernah sekali masuk ke kamar Kak Alena. Lelaki itu bahkan tidak pernah menyebut identitasnya secara lengkap kepada Papa. Sejak kenal dengannya, Kak Alena jadi aneh, hingga pada kasus pembunuhan itu.  

            Satu tahun kami bertahan, di tahun berikutnya kami pindah ke rumah yang lebih sederhana, meninggalkan jejak misteri di rumah itu. Dan Kak Alea, kakak tertua kami tidak pernah dicari, kami kehilangan harapan terlebih ketika mendengar bahwa perkumpulan mafia itu memiliki jaringan yang luas dan cukup kuat.  

***

            "Rin, kamu gak apa-apa?"

            Aku mengerjap. Es krim yang dari tadi kupegang meleleh, membanjiri tanganku yang bergetar. Nafasku memburu tidak teratur.

            Akh! DE JA VU!

            "Cinta pertama itu... Apa?"

Kenapa Hujan?Kde žijí příběhy. Začni objevovat